LIMA PULUH LIMA

91 11 3
                                    

ABIZAR memerhatikan ke dalam mata Arum dan ia langsung tahu kalau Arum menangis karena hal lain. "Mas Abi ada ngomong apa ke kamu?"

"Enggak, Zar. Enggak ada omongan apa-apa. . . serius." Arum tertawa sumbang.

"Ya sudah. . . sebelum ke Mbak Inka, benerin dulu makeup-nya di toilet kamar yang tadi, ya. Aku ada perlu ke Mas Abi dulu. Tenang aja, aku gak akan bilang apapun." Abizar mengusap-usap pundak Arum mencoba menenangkan. "Ambil napas dulu sampai kamu siap, ya. Aku ke Mas Abi dulu sebentar. Kamu enggak usah buru-buru, Rum."

Arum menganggukkan kepalanya paham lalu berjalan gontai menuju kamar tadi.

Abizar berjalan rusuh untuk menemui abangnya. Sesaat setelah Abizar sampai di taman, dilihatnya Abipraya yang sedang terduduk lesu sembari menumpuk kedua sikutnya di kedua lutut. Sebatang rokok bertengger di antara dua jemarinya. Dihisapnya rokok itu oleh Abipraya dengan gemetar.

"Mas." Abizar datang dengan membawa suasana tegang.

Abipraya duduk tegak menyapa adiknya. "Kenapa, Zar? Ada apa?"

Abizar dengan samar-samar memutar bola matanya karena kesal lalu duduk di samping Abipraya untuk menasihatinya.

"Mas, empat tahun itu bukan waktu yang sebentar. Abizar tahu. . . Arum sangat berharap agar bisa menghabiskan waktu sama Mas Abi. Mas Abi sama sekali gak bisa lihat itu? Empat tahun menghilang tanpa kabar lalu tiba-tiba datang, tentu saja gak mudah mengingat apa yang dia alami selama ini." Kata Abizar panjang lebar, tanpa basa-basi. Kekesalan yang ia rasakan untuk Abipraya sudah mencapai puncaknya. Meskipun cukup kesal, Abizar mencoba tetap tenang dan menjaga nada bicaranya.

"Abizar bukannya mau mengatur. Tapi, rasanya. . . banyak yang sudah terjadi di kehidupan Arum. Dan satu-satunya orang yang bisa mendengarkan Arum, yang Arum harapkan bisa menenangkan dirinya sendiri, ya Mas Abi."

Abipraya tak diberikan waktu untuk memotong omongan Abizar.

"Abizar tau kok. . . selama beberapa tahun ini Mas Abi ke sana-sini cari kontak Arum. Abizar gak pernah mau tau urusan itu, gak pernah mau ikut campur. Yang jelas, apapun keperluan Mas Abi dengan Arum, selesaikan sekarang." Tegasnya.

Abipraya menelan ludah mendengarkan adiknya bicara. Dimatikannya rokok yang sedang ia hisap. "Zar. . . jujur saja, Mas Abi takut untuk membayangkan segala kemungkinan di depan. Mas Abi perlu sekali encouragement dari kamu."

Abizar mengangguk, merasa lega karena Abipraya dapat menerima omongannya. "Abizar tahu ada beberapa urusan yang belum selesai antara Mas Abi dan Arum. Abizar tidak pernah tanya, baik ke Mas Abi apalagi ke Arum. Sekarang, semuanya kembali ke Mas Abi untuk menyelesaikan semuanya, supaya semuanya tuntas. Jangan takut. Kalau tidak diselesaikan sekarang, semuanya akan jadi mimpi buruk yang datang lagi di kemudian hari, Abizar bisa jamin itu."

"Baik, kalau begitu. . . Arum ada di mana sekarang?"

"Kamar Abizar. Semoga aja masih ada di sana."

Abipraya berdiri dengan cepat, mengusap kepala adiknya dengan penuh rasa terima kasih, lalu mengayunkan langkahnya menuju kamar yang sebelumnya digunakan Abizar untuk makan untuk menemui Arum.

"Arum." Pintu kamar sedikit terbuka. Abipraya mengintip dan melihat sedang ada crew yang mengantarkan makanan untuk Arum. Dilihatnya Arum sedang duduk sembari mengusap-usapkan tissue ke wajahnya.

"Arum." Kata Abipraya, memasuki kamar.

Crew bernama Karina itu menyapa Abipraya dengan ramah dengan satu kali anggukan kepala. Abipraya tersenyum dan berterimakasih karena Karina telah mengantarkan makanan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang