EMPAT PULUH SEMBILAN

65 6 0
                                    

SEBUAH bingkisan berukuran cukup besar dijinjing oleh Inka di tangannya yang ramping. Sore itu, ia baru saja pulang dari rumah Abipraya, mengambil titipan dari abangnya yang hendak diberikan kepada Arum.

Sehari sebelumnya, sangat disayangkan sekali karena Arum tidak sempat untuk bertemu dengan Abipraya. Di hari itu, Abipraya pergi dan memutuskan untuk merantau. Padahal, Abipraya berharap sekali kalau ia dan Arum dapat sempat bertemu walau sebentar. Apa mau dibuat karena Arum tak ada kabar sama sekali hari itu, baik pada Inka, atau Abizar. Apalagi kepada Abipraya.

Setelah mengambil bingkisan untuk diberikan pada Arum, Inka bergegas menuju kantor dan segera menemui Arum di sana. Arum yang sedang sibuk menggeser-geser mouse untuk mencari referensi yang bagus untuk desainnya, akhirnya menyadari kedatangan Inka.

"Mbak, baru pulang dari kampus, ya?" Kata Arum.

"Iya. Aku nyari kamu di kampus gak ada. Ternyata kamu enggak masuk." Kata Inka sembari menyimpan satu-satu tas dan barang yang ia bawa di tangannya. "Ini udah mau magrib loh, Rum. Mau begadang lagi?"

"Iya, Mbak. Aku sendiri begadangnya, gak apa-apa kan, Mbak?"

"Ih, kamu ini. Harusnya aku yang tanya. Memangnya kamu berani begadang sendirian di sini? Jangan terlalu malem, ya. Kalo bisa, jangan begadang aja sekalian sih, Rum." Pesan Inka pada Arum.

Inka mengambil bingkisan yang akan diberikan kepada Arum.

"Gak apa-apa, Mbak. Besok kelasku hanya satu aja kok pas siang hari." Arum menggeser kursinya agar bisa lebih dekat dengan Inka.

"Yah... syukurlah kalau begitu." Inka memberikan bingkisan tersebut kepada Arum. "Ini. . . ada titipan bingkisan dari Mas Abi."

Alis Arum bertautan bingung, "Pak Abi?" Arum menatap bingkisan tersebut dan juga menatap wajah Inka secara bergantian, mengharapkan sebuah jawaban yang akan meneranginya.

"Iya. Dibuka, ya. Aku penasaran." Kata Inka sembari tertawa kecil. Ia pun menarik satu kursi untuk duduk berhadapan dengan Arum.

Arum tersenyum canggung. "Wah, ini apa ya, Mbak?" Seketika wajah Arum berubah seperti tak enak karena telah merepotkan semua orang.

"Feeling aku sih itu laptop, ya. Oh, jangan lupa. Kayanya ada suratnya juga. Nanti dibaca di rumah aja." Kata Inka.

"Waduh, kok. . ." Arum semakin bertanya-tanya dengan cemas sembari mulai membuka bungkus dari bingkisan tersebut. Hal yang membuatnya makin cemas adalah kenyataan bahwa bingkisan tersebut diberikan padanya oleh Abipraya. Arum juga bingung karena Inka menyebut bahwa ada surat yang juga dititipkan untuk dirinya.

"Aku buka ya, Mbak." Perlahan Arum merobek kertas coklat polos yang membalut keseluruhan bingkisan. Begitu terkejut ketika Arum membuktikan ucapan Inka. Isi dari bingkisan tersebut adalah sebuah laptop.

"Mbak. . ." Arum berkaca-kaca. "Ini ada apa, Mbak? Boleh aku baca suratnya sekarang?"

Tanpa ba-bi-bu Inka mengangguk, mengabulkan permintaan Arum. "Iya. Tidak apa-apa. Kalo gitu, aku ke ruanganku dulu, ya. Mau buat popmie kuah. Kamu mau gak?"

"I-iya. Boleh, Mbak. Makasih banyak ya, Mbak Inka." Kata Arum yang masih bengong, membelalak matanya saking terkejut.

Inka mengangguk lagi kemudian pergi meninggalkan Arum sendirian. Disimpannya laptop yang masih terbungkus rapi dalam kotaknya di meja. Arum meraih sepucuk surat dari dalam tas jinjing itu.

Arum,

Ketika kamu membaca surat ini, saya harap kamu sedang baik-baik saja dan bahagia.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang