DUA PULUH

159 4 0
                                    

ABIPRAYA menahan serangan tinju yang hendak diarahkan ke wajahnya. Abizar meraih kerah kaos abu-abu gelap milik pria ceking yang sepertinya bernafsu sekali untuk menghabisi abangnya. Tapi pria ceking itu berhasil menepis tangan Abizar. Di sisi lain, pria asing yang tambun terlihat tidak menginginkan perkelahian di antara mereka. Dia sama kepayahannya dengan Abizar dan Abipraya yang ingin menyelesaikan apapun itu dengan kepala dingin.

Abizar ketakutan kalau-kalau satpam sampai mendengar kericuhan yang disebabkan. Abipraya menggigit sudut bibirnya yang berdarah. Ia menyiapkan diri, menghela napasnya yang panjang. Abipraya melayangkan tinjunya ke bagian perut pria ceking kemudian ia membuat kuncian di leher pria ceking itu hingga membuat pria ceking itu hampir kehabisan napas. Abizar berbisik-bisik penuh tekanan agar Abipraya menyudahi semuanya.

"Mas... jangan seperti ini, Mas. Ayo kita ke atas lagi. Tolong dengarkan Bizar, Mas." Abizar mengacak-acak rambutnya dengan penuh kecemasan.

Pria ceking itu menyerah, ia menepuk-nepuk lengan Abipraya pertanda dirinya sudah menyerahkan diri. Abipraya ingin memuaskan dirinya. Ia menunggu hingga bisa melihat wajah si pria ceking memerah hingga ungu membiru kehabisan napas.

Abipraya melepaskan kunciannya. Pria ceking itu terlihat memegangi leher dan bagian tubuhnya yang lain untuk mengecek keadaannya sendiri sambil kesusahan untuk mengatur napasnya.

"Sebelum kalian jelaskan siapa kalian dan apa yang kalian inginkan dari saya... atau adik saya, satu hal yang mesti kalian ketahui... kalian akan menyesal jika kalian ingin mencari masalah dengan saya. Sebelum terlanjur, silahkan pergi tanpa bicara apapun." Tegas Abipraya. "Silakan pergi dan jangan pernah kalian muncul lagi di pandangan dan hadapan saya... atau adik saya."

"Kami keluarga Arum." Ucap pria tambun lirih.

Dada Abipraya seakan meledak. Ia dilanda oleh kebingungan, rasa bersalah, amarah, dan emosi lain yang tak bisa diwakilkan oleh kata. Ia begitu kebingungan dengan apa yang terjadi. Abipraya dan Abizar ingin menjaga pikiran mereka agar tetap positif. Tetapi Abipraya dihantui oleh asumsinya yang didasarkan pada ketakutan. Ketakutan akan Arum yang akan dihantui marabahaya jika dikelilingi orang-orang asing tersebut yang ternyata adalah ayah dan abang Arum.

Dengan kecepatan kilat Abipraya membayangkan kembali sikap Arum yang penuh misteri, ucapan Arum yang mengatakan bahwa ia tak mau berbagi masalahnya dengan orang lain, tentang Arum dan luka-luka yang menghiasi tubuhnya yang membuat Abipraya sedih dan marah, tentang Arum yang dulu sempat mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal. Semuanya mengarah pada tanda tanya yang besar.

Abizar yang masih terguncang masih tak menyangka dengan situasi tersebut. Abizar tak pernah menyangka akan didatangi dua orang yang merupakan keluarga Arum itu. Rasanya seperti tidak nyata baginya.

Abipraya mengedarkan pandangannya seraya mengusap rambut-rambut tipis di rahangnya dengan asal-asalan. "Bapak... ayah dari Arum?" Tanya Abipraya masih diliputi amarah yang bercampur lebur dengan bingung.

Pria tambun yang merupakan ayah Arum itu mengangguk. "Benar. Dan ini... adalah kakaknya. Kakak tertua Arum."

"Saya..." Abipraya membuka mulutnya masih dalam kondisi tak percaya. "Saya tidak paham. Apa yang Bapak dan Mas permasalahkan dengan saya?"

"Saya tidak terima Anda bawa adik saya tanpa sepengetahuan kami. Sekarang, di mana Anda sembunyikan adik dan ibu saya?" Abang Arum membuka mulutnya.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang