LIMA PULUH

75 7 3
                                    

SEMINGGU sudah Abipraya berada di Jakarta. Ia masih disibukkan dengan berbagai wacana seni. Mulai dari fotografi, patung hingga riset. Abipraya masih mencari-cari posisi yang ia rasa paling cocok dengan pilihannya. Adapun satu tawaran posisi di salah satu institusi yang sedang ia pertimbangkan untuk terima.

Di satu sisi, Arum cukup mampu melanjutkan hari-harinya yang semakin terasa membosankan. Baru saja seminggu, rasanya ia ingin cepat-cepat menyelesaikan studinya. Banyak hal yang ingin ia sudahi sesaat setelah Abipraya meninggalkannya. Ada sebuah rasa lelah yang luar biasa yang ia rasakan ketika satu-satunya orang yang menyalakan kembali semangat hidupnya pergi.

Pada siang hari yang terik, Arum tengah mengerjakan tugas penelitiannya di ruang tengah rumahnya. Laptop yang digunakannya merupakan laptop keluaran baru dengan spesifikasi yang mumpuni. Arum begitu hati-hati dalam memakainya, tak ingin sampai si pemberi kecewa.

"Mas Abi. . . ke Jakarta, ya?" Tanya Munirah sembari menghampiri anaknya. Bicaranya sudah mulai normal kembali setelah menerima beberapa terapi dan perawatan dari dokter. Begitupun kaki Munirah yang sekarang tidak terlalu sering sakit.

"Eh, Ibu. Sini, Bu." Arum menepuk-nepuk karpet memberi tanda agar Munirah duduk di dekatnya. "Iya, Pak Abi pergi merantau. Ibu dengar dari Bu Marwah?"

Munirah mengangguk. "Bu Marwah nangis. Khawatir. . . Mas Abi dan istrinya. . . Mbak Bella." Kata Munirah.

Arum dengan spontan mengerutkan kedua alisnya. Ia tidak kaget dengan kabar itu karena dirinya sudah tahu jauh-jauh hari. Melainkan, Arum cukup terkejut karena Bu Marwah berani menceritakan ini ke orang lain, ke ibunya. "Oh, begitu, ya? Bu Marwah cerita banyak ke Ibu?"

"Iya." Jawab Munirah singkat.

"Cerita apa lagi beliau?" Arum ingin tahu lebih banyak dari kacamata Marwah, ibu dari Abipraya.

Munirah awalnya ragu untuk bercerita, namun akhirnya ia mengabarkan juga. "Kabarnya mau cerai, tapi. . . alhamdulillahnya tidak jadi." Sambung Munirah.

Arum terdiam selama beberapa detik. Dadanya langsung berdenyut seperti sedang menerima aliran listrik. "Syukurlah." Lirihnya. Arum masih tak percaya dengan kabar itu.

Berbagai asumsi mulai berlalu-lalang di dalam pikirannya. Arum mulai memikirkan ucapan yang dituliskan Abipraya di dalam surat, bahwa ia harus merefleksikan masa depannya, demi kebaikan dirinya dan Isabella. Setidaknya, itu yang dapat Arum cerna dari isi surat tersebut.

"Sudah baikan." Kata Munirah sembari senyum. "Kasihan. . . Mas Abi orang yang baik."

"Iya. Pak Abi baik. Orang yang baik pantas untuk bahagia." Kata Arum sembari tersenyum. Meski senyuman membingkai di wajahnya, ada bagian di dalam dadanya yang berdenyut sakit. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Mbak Bella juga mau nyusul ke Jakarta. . . kata Bu Marwah." Lanjut Munirah yang ternyata belum selesai bercerita.

Arum mulai merasa tak nyaman karena membicarakan rumah tangga Abipraya. "Oh, begitu?"

"Iya." Kata Munirah. "Kamu sudah pamit ke Mas Abi waktu itu, Nak?"

Arum menoleh pada Munirah seraya tersenyum. "Sudah, Bu. Mana mungkin Arum lupa. Beliau sudah sangat membantu kita." Matanya berkaca-kaca. Senyuman Arum menghilang dari wajahnya.

Arum mulai berasumsi kalau kepindahan Abipraya ke Jakarta adalah untuk mengakhiri semua drama yang berhubungan dengan dirinya. Arum yakin Abipraya telah kembali menemukan kebahagiaannya dengan Isabella. Maka dari itu, Abipraya memilih kota Jakarta untuk memulai kembali kehidupannya dengan Isabella.

Kecil kemungkinannya Arum mendapatkan kabar tentang Isabella dari Inka ataupun Abizar. Setahu Arum, Inka dan Abizar jarang sekali membicarakan kakak iparnya tersebut.

Ketika matahari mulai menjemput sore, Arum pamit untuk pergi ke toko untuk belanja keperluan makan minum. Arum membeli lima kilogram beras, setengah kilo telur, satu liter minyak, lima buah mie instan rasa soto kesukaannya, sebungkus teh, setengah kilo gula putih, tiga buah ikan kaleng, dan bumbu-bumbu dapur lainnya untuk memasak.

Di akhir pekan, Arum tidur seharian tanpa makan dan minum di ruang tengah. Munirah begitu khawatir akan kondisi anak bungsunya. Pada akhirnya, setiap kali Munirah meminta Arum untuk makan ataupun membersihkan diri, Arum selalu menolak. Sebagai gantinya, Arum tak mau dibangunkan dari tidur panjangnya.

Suatu malam, Munirah mendengar isak tangis dari Arum di tengah rumah. Ketika Munirah hendak mengecek kondisi anaknya itu, Munirah kebingungan sekaligus sedih setengah mati karena Arum demam tinggi sekali. Di tengah demam tingginya, Arum kehilangan kesadaran, mengigau, dan menangis lirih. Arum menyebutkan nama Abipraya berkali-kali. Airmatanya berderai banyak hingga membasahi bantal tidur. Akhirnya, Munirah paham bahwa anaknya jatuh hati dengan Abipraya. Kepergian Abipraya menyisakan kesedihan yang luar biasa bagi Arum.

Pagi hari setelah semalam mengalami demam tinggi, Munirah menyiapkan sup ayam dan nasi hangat. Selain itu, ada air kelapa yang Munirah pikir sangat Arum butuhkan untuk memulihkan kondisi anaknya itu.

"Bagaimana? Sudah enakan?" Munirah merasa bersalah, kebingungan, dan tak tahu harus melakukan apa, mengetahui fakta bahwa anaknya itu telah jatuh cinta pada seorang Abipraya.

Arum melepaskan kantong gel penurun panas dari keningnya yang ditempelkan oleh Munirah semalam tadi. "S-sudah." Arum bangkit perlahan dan mendudukkan dirinya.

"Makan dulu, ya. Ibu mau tukar buah-buahan dulu ke Bu Marwah." Kata Munirah, bersiap pergi untuk mencarikan buah-buahan untuk Arum.

"Terima kasih banyak ya, Bu." Lirih Arum.

Munirah pergi. Arum menyantap makanannya seakan-akan ia tak pernah makan selama seribu tahun. Dilahapnya ayam, nasi, dan sayuran di depan matanya. Satu, dua, tiga, empat suap, tiba-tiba bayangan mengenai Abipraya melintas di pikirannya.

Arum benci situasi ini, ketika ia melihat dirinya sendiri yang menyedihkan. Arum benci karena ia merasa layak untuk ucapan selamat tinggal yang lebih baik dari Abipraya. Ia benci karena harapan tingginya terhadap Abipraya telah melambungkannya ke langit dan menjatuhkannya ke dasar bumi. Semuanya terasa menyakitkan sekarang, seolah tak kurang dari sepuluh menit lagi, ia akan mati karena patah hati.

Diraihnya ponsel dengan kasar. Jemarinya dengan cepat mencari kontak Abipraya di aplikasi pesan singkat. Setelah menemukan nama Abipraya, Arum memilih opsi untuk memblokir kontak Abipraya. Kemudian, Arum pergi menuju kontak telepon biasa di ponselnya untuk memblokir lagi nomor yang sama.

Dua hari setelah Arum mengalami demam tinggi, Abipraya memanggil Inka melalui telepon video. Di panggilan video itu, terlihat Abipraya sedang berada di sebuah coffeeshop, menikmati sepotong kue dan kopinya. Sementara itu, Inka terlihat sedang mengerjakan sesuatu di depan komputernya di kamar tidur. Abipraya bertanya kemungkinan Arum mengganti nomornya kepada Inka. Ia memberitahu adiknya kalau Abipraya sedikit kesusahan untuk menghubungi Arum.

"Memangnya ada apa, Mas? Mas Abi mau bilang atau titip sesuatu?" Tanya Inka. "Aku kebetulan lagi buka WhatsApp."

"Oh, begitu, ya?" Dahi Abipraya berkerut, agak bingung dengan situasi sekarang. "Boleh kamu cek apa Arum sedang online?"

"Oke, ini Inka cek dulu, ya." Inka melihat kalau Arum sedang online. Tetapi, tak lama dari itu, tulisan online pada aplikasi pesan singkat itu menghilang. "Loh, barusan online. Kayanya Arum sudah tutup WhatsApp-nya."

"Tapi. . . berarti dia tidak ganti nomor, kan?" Tanya Abipraya. "Mas making sure aja."

"Iya, enggak kok. Ini masih aktif nomornya." Kata Inka menegaskan.

Abipraya berterima kasih pada Inka lalu pamit karena ia harus segera pergi. Inka sedikit kebingungan tapi tidak mau berlarut-larut memikirkannya. Di akhir panggilan, Inka berpesan agar Abipraya tak lupa untuk menelponnya setiap hari.

"Besok telfon lagi ya, Mas." Kata Inka berpesan.

"Iya. Baik-baik di sana ya, Mbak Inka." Abipraya menutup telepon tersebut.

To be continued...

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang