TIGA PULUH TUJUH

143 7 0
                                    

DERAP langkah Abipraya mengundang perhatian para karyawan yang sedang melakukan pengemasan di area gudang. Abipraya bertanya pada salah satu karyawan di sana perihal keberadaan Arum dan Inka. Namun, Patrick yang kenal cukup dekat dengan Abipraya segera menghampiri Abipraya untuk mengabari bahwa Inka mengantar Arum ke klinik. Abipraya pun berterima kasih dan sedikit terlihat lega. Rahangnya sudah tidak terlalu ketat seperti sebelumnya.

Abipraya berterima kasih lagi sekaligus berpamitan untuk menyusul Inka dan Arum. Setelah memasuki mobil, Abipraya menancap pedal gas dengan gesit dan segera berkendara dengan penuh kehati-hatian.

Beberapa jam sebelumnya...

"Mas Abi, aku mau bilang sesuatu..." ucap Inka melalui sambungan telepon.

Desahan kecil dengan suara khas telepon keluar dari Abipraya. "Kenapa? Abizar gak pulang ke rumah?"

Inka menimbang keputusan sekali lagi. Awalnya, ia tak mau memberitahukan ini pada Abipraya yang tengah sibuk berpameran solo di Jakarta. Namun, mengingat betapa nyawa Arum terancam oleh kakak laki-lakinya, Inka yakin bahwa ada hal yang mesti diluruskan dan ia memerlukan bantuan Abipraya.

"Bukan... ini tentang Arum. Aku bingung harus mulai dari mana. Aku gak rela kalau Arum terus-terusan dihantui oleh abangnya yang berengsek itu." Tak terasa, air mata kembali mengucur dari mata indah nan bulat milik Inka.

Abipraya mendengarkan dengan lekat, mengizinkan adiknya itu menenangkan diri untuk melanjutkan kata demi kata.

"Kemarin sewaktu dia ambil kartu identitas ibunya, abangnya lempar speaker ke punggung Arum-" Inka tak kuasa menahan tangisnya yang sudah pecah. Tenggorokannya terasa begitu sakit ketika berusaha menyampaikan kejadian dengan jelas pada Abipraya. "Punggungnya... aku liat punggung Arum yang mulai berwarna hijau dan ungu, memar-memar."

Hati Abipraya tercekat. Tapi, ia tahu bahwa ia tidak boleh terbawa suasana. "Oke... kamu sudah tahu harus bagaimana?" Pun ketika pria itu terlihat tenang, pipi Abipraya memerah, menyala akan panasnya amarah yang ia rasakan di dadanya.

Inka mengangguk, suaranya sudah tidak bergetar lagi. "Iya. Aku sudah bawa Arum ke klinik. Dia sedang tukar resep dulu di apotek. Mas, kapan pulang? Apa masih lama di Jakarta?"

"Baguslah kalau sudah langsung ke dokter." Abipraya mengusap bibirnya. Helai per helai kumis dan jambang sudah menghiasi wajahnya, menambah kesan maskulinnya. "Kalau ada urusan urgent seperti ini, Mas coba pulang dua jam lagi, ya. Apa bisa tolong carikan tiket? Mas mau beres-beres dulu untuk langsung pulang."

"Makasih ya, Mas. Aku carikan dulu tiket sambil tunggu Abizar yang lagi on the way ke sini sama temennya."

Entah kenapa hati Abipraya terasa cukup kesal, bingung, dan campur aduk ketika mengetahui bahwa teman Abizar, yang sudah pasti adalah Richard, akan ikut menjemput Arum. "Ibu Arum apakah ikut juga?" Tanya Abipraya penasaran.

"Engga... Arum mau tetep rahasiakan ini, Mas."

"Abizar bawa temen? Atau bawa pacarnya?"

"Temen, sih. Namanya Richard." Jawab Inka tanpa curiga.

"Oh, begitu." Kata Abipraya. "Ya sudah ini Mas mau siap-siap, dulu. Kamu yang tenang, ya. Makasih sudah bantu Arum."

"Iya, Mas. Habis ini kami mau beli makanan ringan dulu untuk di rumah Arum nanti. Mas Abi hati-hati, ya."

🕸🕸🕸

Arum sudah bisa bercengkrama seperti tidak pernah ada peristiwa pelemparan itu di rumah lamanya. Ibunya, Munirah, tengah membantu Marwah yang sedang memasak untuk menjamu semua orang. Kedua ibu yang penuh perhatian itu sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada Arum. Mereka hanya tahu bahwa teman-teman Arum, Inka, dan Abizar sedang bertamu.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang