DUA

260 10 0
                                    

SELEPAS kelas, Arum mengunjungi tempat peristirahatan para penjaga kebersihan di sebuah warung kecil di samping tempat parkir kampus. Arum menemui pria muda yang mungkin lebih tua darinya dua tahun dan meminjam kunci menuju rooftop. Setelah selesai berkuliah, Arum selalu menghabiskan sore dan malamnya di rooftop bangunan fakultasnya. Pria bernama Agus itu akhirnya mau meminjamkan kunci tersebut dengan ditukar dua batang rokok dari Arum. Agus tertawa sumbang ketika melihat Arum merogoh sebungkus rokok dari saku kemeja lusuhnya. Arum mengetuk-ngetuk sebungkus rokok itu pada punggung tangannya kemudian mengeluarkan dua batang rokok miliknya dan diberikannya rokok itu pada Agus. Agus berterimakasih sekaligus mengingatkan Arum untuk tidak banyak merokok apalagi Arum perempuan dan masih muda, pikir Agus.

"Jangan khawatir, saya lebih sehat dari akang sih kayanya, Kang." Ucap Arum seraya berlalu dengan kunci di tangannya. Ucapannya itu rupanya mengundang tawa seluruh petugas kebersihan yang tengah melahap makan siang mereka.

Seketika ayunan kaki kecil Arum terhenti. Ia merasa ada yang aneh dengan sepatunya. Arum mengangkat sepatunya dan mencebik pelan. Sol sepatunya terbuka dan rusak. Arum harus menabung untuk membeli sepatu baru dan itu butuh banyak waktu serta uang pastinya. Akhirnya, Arum berbelok arah menuju warung.

"Bu, ada lem untuk menambal sepatu?"

Si Ibu pemilik warung mengangguk. "Paling yang kecil, Neng. Satu aja?" Tanya Ibu Warung seraya mengacungkan lem kecil dengan tutup panjang mengerucut berwarna merah.

Arum mengangguk. Setelah membayar lem itu, Arum membungkukkan tubuhnya dan mengolesi tiap sisi sol sepatunya dengan lem dan menungguinya sampai merekat sempurna. Setelah itu, Arum pergi meninggalkan warung dan langsung bergegas menuju rooftop bangunan fakultasnya. Rooftop tersebut berada di lantai dua belas. Sedangkan kelas Arum berada di lantai lima. Arum senang menghabiskan waktunya di tempat sepi di mana tidak ada orang lain selain dirinya sendiri.

Arum mengeluarkan dua botol kecil dari tasnya. Dua botol itu berisi minuman keras yang abangnya pesan pagi sebelumnya. Arum membalikkan botol itu dan memukul bagian bawah botol yang sekarang terbalik sebanyak tiga kali menggunakan sikut tangannya. Kemudian Arum langsung meneguk sebagian kecil dari minumannya. Tak lama dari itu, Arum merentangkan tangannya ke udara, menikmati udara yang semakin dingin. Arum memejamkan matanya. Ia masih dibayangi oleh pertanyaan dosennya, Abipraya, yang sekarang mengganggu pikirannya.

Arum berjalan menuju tepi bangunan. Ia terduduk di sana dengan kaki yang melayang di udara. Kebiasaan Arum tersebut sungguh sangat mengancam nyawanya sendiri. Meskipun begitu, tak ada sedikitpun ketakutan yang melintas di benaknya. Kalau saja si penjaga kebersihan mendapatinya merokok sekaligus meminum minuman beralkohol di area kampus, Arum dipastikan akan mendapat masalah yang sangat besar.

Namun ia sama sekali tidak memikirkannya. Apa yang ia pikirkan saat ini adalah kerinduannya pada kakak perempuannya, Arin. Arum menyimpan rokoknya, ia merogoh ponsel android seri jadulnya kemudian mencari kontak Arin dan lekas memencet tombol panggil.

"Assalamualaikum... ada apa, Rum? Kamu di mana?"

"Arum di kampus, Kak." Arum menengadahkan kepalanya memandangi langit sore yang kian menggelap. "Arum boleh ke rumah kakak tidak akhir pekan nanti? Arum capek, mau istirahat dan ngerjain tugas. Kalau boleh, Arum mau bawa Ibu juga."

Ada sedikit jeda dari Arin sebelum ia mengatakan, "Rum... maaf ya. Mas Candra hari Sabtu dan Minggu ada di rumah. Sama, mau istirahat juga katanya."

Mendengar bahwa abang iparnya akan ada di rumah Arin pada hari Sabtu dan Minggu, begitu menyakiti hati Arum. Arin sama tak berdayanya seperti dirinya. Arin dipaksa suaminya untuk pisah rumah dengan keluarga Arin dan Arum. Suaminya tidak tahan dengan sikap keras mertuanya, Harun, ayah Arum dan Arin. Selain tidak tahan dengan sikap kerasnya, Candra dan Arin merupakan orang yang tidak bisa mentolerir orang yang gemar berjudi dan bermaksiat lainnya. Candra juga tak suka dengan Arum. Alasannya ialah karena Arum merupakan gadis yang dingin dan selalu tidak mendengarkan Candra ketika Arum diminta untuk beribadah.

"Ya sudah, Arum mau nginep di rumah temen lagi. Kak Arin lagi apa?"

"Rum... Mas Candra sudah pulang, sudah dulu, ya. Jangan lupa makan, jangan lupa salat."

"Iya." Jawab Arum singkat.

Kedua mata Arum memerah dan berkaca-kaca. Pandangannya kabur. Namun airmatanya enggan membasahi pipinya. Sudah terlalu lelah untuk menangis, pikir Arum. Setelah menikmati sebatang rokoknya, Arum melirik jam di ponselnya. Sudah cukup malam dan Arum harus kembali ke rumah untuk menyerahkan pesanan Hendri. Arum bangkit, ia menggosokkan rokoknya ke lantai beton rooftop untuk mematikannya. Arum memasukkan puntung rokoknya ke dalam saku celana. Tak lama dari itu, ia memasukkan kembali kedua pesanan Hendri ke dalam tas kuliahnya.

.
.
.

"Lagi mikirin apa, Mas?" tanya Isabella seraya memotong buah apel yang begitu merah.

Abipraya berdecak pelan. "Ada mahasiswi yang sedang kena masalah. Sepertinya besok dosen-dosen mau membicarakan soal mahasiswi itu."

Isabella mengangguk pelan mendengar penjelasan suaminya. "Namanya Arum, bukan? Anak itu memang bermasalah sepertinya, Mas. Aku pernah ketemu sama anak yang tidak sopan itu di lift. Aku kasih dia senyum dan sapaan, dia malah memalingkan mukanya ke arah lain. Aku dan dosen lain dikacangin, loh, Mas."

"Oh, begitu ya?" tanya Abipraya memastikan. "Sudah siap apelnya?"

"Sudah," Isabella membawakan semangkuk apel segar ke meja makan. Ia menyodorkannya pada Abipraya seraya melanjutkan ceritanya tentang Arum. "Aku heran ada anak yang bisa begitu ke orang yang lebih tua. Aku jadi penasaran gimana orang tuanya mendidik anak itu."

Abipraya mendengarkan semua cerita yang Isabella sampaikan tentang Arum. Abipraya semakin tertarik untuk memecahkan masalah mahasiswinya itu. Di kelas Abipraya sendiri, Arum jarang terlihat memperhatikan kuliahnya. Abipraya sesekali menegur Arum ketika Arum kedapatan melamun ke arah jendela. Bahkan Abipraya ingat betul ketika ia meminta Arum ke luar dari kelasnya untuk membasuh wajahnya, berharap itu dapat mengembalikan konsentrasi Arum. Ternyata usaha itu sia-sia, Arum masih mengantuk ketika kelasnya berjalan. Untung saja Abipraya adalah orang yang sabar dan toleran. Kalau tidak, Arum dapat diusir dari kelasnya. Seperti diusir dari kelas-kelas dosen lain karena tidak memperhatikan kuliah.

"Mungkin dia punya masalah di rumah." Ucap Abipraya, mencari sudut pandang baru. Abipraya sering kali memergoki Arum membaca sebuah buku di berbagai kesempatan, tentunya di luar jam kuliah dan di tempat-tempat tak biasa seperti di tangga darurat. Abipraya menelusur ke masa lampau ketika ia mendapati Arum yang tengah membaca buku dengan headset terpasang di telinganya di tangga darurat ketika Abipraya tengah mengangkat telfon dari seseorang.

Istrinya mengembuskan napas beratnya. "Kalau terus-terusan begitu, aku yakin dia akan putus kuliah, Mas. Ada kabar kalau dia memang sudah memutuskan untuk berhenti kuliah setelah selesai UAS."

Kabar itu membuat Abipraya terhenyak. "Putus kuliah?"

"Iya, Mas. Aku dengar dari bagian keuangan dan kemahasiswaan. Arum tidak memperpanjang beasiswanya karena nilainya di semester kemarin tidak memenuhi syarat. Dia juga menunggak akibatnya."

"Kasihan sekali." Lirih Abipraya.

"Kalau aku jadi dia, aku pasti akan fokus mengejar nilai supaya beasiswaku tetap jalan, Mas. Aku akan simpan masalah-masalah yang melanda di belakang pundakku."

Abipraya bergeming, ia hanyut dalam pemikirannya. Ia merasakan ada sesuatu yang salah dengan Arum. Sesuatu yang menjebaknya dalam situasi yang sulit untuk dipecahkan sendirian. "Tapi kita tidak tahu bagaimana kondisinya di luar kampus. Kita tidak bisa menyamaratakan mental seseorang."

Isabella diam membeku mendengar ucapan suaminya. "Dimakan dulu apelnya, Mas." Ucap Isabella seraya menyodorkan mangkuk berisi apelnya lebih dekat pada suaminya.

"Besok kami akan mendengarkan penjelasannya langsung dari Arum," tutur Abipraya. "Mumpung baru selesai UTS, kita mungkin bisa mengubah pemikiran Arum soal rencana putus kuliahnya."

"Wah, dia beruntung sekali, ya. Dosen-dosen di departemen kamu memang selalu perhatian, Mas."

"Meskipun mahasiwa di program studiku sedikit, mereka tetap berharga dan patut diperjuangkan." Jelas Abipraya yang kemudian melahap apel merahnya.

.....
Wattpad pertamaku di tahun 2021
Semoga kalian suka, semoga ada banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari kisah Arum.

To be continued
Jangan lupa tekan bintangnya dan bubuhkan komentar di mana saja :)
Edited Thu 15 December 2022

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang