EMPAT PULUH

249 11 1
                                    

ARUM dan Abipraya saling menatap kedua mata mereka. Arum menurunkan pandangannya ke bibir Abipraya, lalu mengedarkan pandangannya ke setiap inci wajah Abipraya untuk menemukan  kebenaran dari setiap ucapan Abipraya.

"Jangan berbicara sebagai seorang dosen. Berbicaralah sebagai seorang Abipraya." Tegas Arum. "Tolong katakan tentang apa ini. Begitu banyak hal yang harus dicerna. Apakah rencana kepindahan itu berkaitan dengan saya? Apakah saya penyebabnya?"

Saya jatuh hati dengan kamu, Arum. Rasa sayang ini sudah tidak terbendung lagi, membuat saya berharap di setiap ujung malam yang gelap, berandai-andai kalau saja kita bertemu di waktu yang tepat, di kehidupan yang lain, lirih Abipraya dalam batinnya. Jika saya terlahir kembali nanti, saya akan menunggu kamu di atas gedung ini. Di waktu yang sama, dengan perasaan yang juga tetap sama.

Abipraya tersadar bahwa lagi-lagi, ia telah melewati batas. Tindakannya ia rasa sudah tidak masuk akal dan tidak pantas. Abipraya memalingkan wajahnya sembari membuang napas yang amat berat. "Maafkan saya. . . maaf."

Arum menghela napas, menata kembali rongga dadanya yang sempat dibuat sesak. "Ada apa, Pak Abi? Bicaralah yang jelas. . . jelaskan semuanya pelan-pelan." Kedua matanya memohon agar Abipraya dapat membawa cahaya terang padanya.

Abipraya kembali menatap Arum. "Saya ingin bicara tentang dua hal dengan kamu." Lirihnya.

"Baik. . ." Ucap Arum pelan.

"Pertama, saya senang karena kamu sudah punya seseorang yang peduli dengan kamu. Kedua, saya ingin mengabari kamu tentang rencana kepindahan saya."

Arum bergeming. Butuh beberapa menit untuknya mencerna kabar-kabar itu. Perempuan mungil itu memalingkan wajahnya dari Abipraya, merasa dikhianati begitu hebat. Dadanya kembali terasa sesak dan begitu ngilu.

Arum tersenyum penuh ironi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalau ini soal Richard. . . saya ingin Pak Abi tahu kalau kami tidak sedang dalam kemungkinan apapun seperti yang Pak Abi bayangkan. Lebih jauh lagi, kalau memang Pak Abi ingin agar kita bersikap bijaksana dan wajar, harusnya Pak Abi tidak akan mengurusi kehidupan pribadi saya." Jelas Arum perlahan namun tenang.

Abipraya, hatinya, berdenyut sakit. "Saya berbicara seperti ini sebagai. . . seorang kakak."

Arum menggigit bibirnya seraya menahan tangis, kesal dengan gimmick Abipraya yang menganggap dirinya sebagai seorang adik.

"Kedua, saya sangat menyayangkan terhadap rencana Pak Abi. Pak Abi sangat diperlukan di departemen dan fakultas ini karena peran Pak Abi sangat membawa pengaruh." Lirih Arum yang hampir mengucurkan airmata lagi. "Hampir semua forum seminar internasional dimoderatori oleh Pak Abi. Pak Abi bahkan banyak mengundang rekan seniman untuk menjadi dosen tamu. Begitu banyak gebrakan baru lainnya. Posisi Pak Abi sevital itu. Maka, akan susah sekali untuk mencari seorang pengganti."

Abipraya menundukkan wajahnya. "Maafkan saya kalau saya terdengar. . . dan bersikap gegabah." Ucapnya.

"Pak Abi, saya akui bahwa ini tidak layak dan terlalu berlebihan." Lirih Arum. "Saya tidak tahu apa pemicunya. Yang jelas, saya akan memaklumi jika memang keadaan Pak Abi sedang tidak baik-baik saja."

Hati Arum kacau-balau. Perkataannya cukup meyakinkan bahwa Arum bersikap tegar, tegas, dan kuat. Kenyataannya, Arum menyadari kecemburuan Abipraya. Semua rencana kepindahan Abipraya itu terpicu oleh kedekatan Arum dan Richard, di samping permasalahan rumah tangga yang sudah sejak lama dilakoni Abipraya. Hati Arum terasa begitu berat dan sesak melihat Abipraya seperti ini.

"Maafkan saya. . . sungguh." Ucap Abipraya, meminta maaf untuk kesekian kalinya hingga membuat Arum sebal.

Arum terdiam, menunggu Abipraya untuk menyampaikan kebenaran. Tentang semuanya. Tentang mereka. Namun, Abipraya tak kuasa oleh luapan emosi yang begitu besarnya. Abipraya tidak mau terlena. Sebuah gagasan tentang dirinya sebagai seorang pengajar yang sudah memiliki istri, yang kemudian jatuh hati pada mahasiswanya sendiri, ia pikir sangat tidak indah untuk sampai ke telinga orang-orang.

Arum masih menunggu. Abipraya masih hanyut dalam renungannya.

"Pak Abi. . . Pak Abi baik-baik saja?" Tanya Arum yang benar-benar khawatir.

Abipraya mengangguk, begitu malu untuk melihat ke dalam mata Arum.

"Bicarakan tentang kepindahan ini pada Mbak Inka, Ibu, dan Abizar. Jika memang ini harus dilakukan dengan kebaikan Pak Abi, saya akan mendukung penuh. Bagaimanapun juga, Pak Abi layak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih indah." Kata Arum sembari mengeluarkan sebatang rokok.

Perempuan itu mengambil korek. Seketika, api membakar gulungan tembakau kering hingga mengeluarkan asap. Perempuan itu lalu menawari Abipraya. "Supaya Pak Abi tidak gelisah lagi." Katanya, sambil mengulurkan tembakau di tangannya.

Abipraya mengambil rokok Arum lalu mengisapnya. "Terima kasih."

Ini kali pertama Arum memberikan rokok pada seorang Abipraya. Arum kemudian mengambil sebatang rokok lain kemudian mereka berdua merokok bersama.

"Kenapa Pak Abi berpikir kalau Richard peduli dengan saya?" Tanya Arum pelan dan santai.

Abipraya meniupkan asap ke udara. "Apakah kita masuk ke sesi di mana orang-orang membicarakan persoalan. . . cinta?"

"Oh. . ." Kata Arum. "Ya Tuhan. . . kenapa rasanya aneh sekali."

Arum dan Abipraya terkekeh-kekeh pelan. Abipraya bahkan telah berani untuk kembali melirikkan pandangannya ke pada Arum.

"Apa yang kita pikir sebagai jatuh cinta bisa saja sesungguhnya hanyalah rasa ingin tahu dan obsesi. Adapun jatuh cinta yang sesungguhnya, menurut saya adalah ketika kita sudah tidak mengharapkan apapun dari mereka. Kita hanya ingin menyayangi, merawat, mengasihi mereka seolah-olah mereka adalah diri kita sendiri, dan kita adalah mereka." Tutur Abipraya. "Jatuh cinta yang sesungguhnya. . . terjadi tanpa kita menyadarinya. Ia datang dan tumbuh begitu saja."

"Saya senang sekali dengan pandangan itu." Kata Arum. Seketika, Arum mengingat kembali masa-masa ketika Abipraya menunggui Arum yang sedang sakit. Kemudian Arum menghela napasnya dengan susah payah, sadar bahwa ia sudah harus terlepas dari semua memori itu. "Lalu, kalau kita harus mengaitkannya dengan Richard? Bagaimana pendapat Pak Abi?"

Hati Abipraya masih terasa berdenyut ketika mendengar nama laki-laki itu. "Oh. . . Richard. Saya belum kenal baik dengan dia. Tapi, ia punya kepribadian yang cukup menarik terlepas dari statusnya sebagai anak wakil rektor."

"Kenapa. . . Pak Abi berpikir kalau Richard peduli dengan saya?" Wajah Arum kembali terlihat serius, dan ia benar-benar ingin tahu alasan Abipraya berucap demikian.

Abipraya terdiam sebentar, menyiapkan hati untuk menjawab pertanyaan Arum. "Saya melihat ketulusan dalam matanya ketika ia berbicara tentang kamu. Apa yang saya lihat darinya. . . sepertinya anak itu dulunya sangat banyak berulah. Tapi, sekarang. . . dia sedang dalam masa penemuan jati dirinya yang sebenarnya. Dia sedang berontak dari zona nyamannya, dan itu hal yang bagus."

Arum terdiam sejenak untuk mencerna jawaban Abipraya. Lalu, ia melanjutkan dengan pertanyaan, "Bagaimana cara menemukan ketulusan dari mata seseorang?"

Kedua mata Arum yang terlihat lelah, seketika berair.

Abipraya, tak berani menatap Arum, karena tahu bahwa Arum hanya akan menemukan kebohongan dan kesedihan di matanya.

Abipraya menghisap rokoknya sebelum akhirnya bertatapan dengan Arum. "Itu datang pada hati kita. Jika kita melihatnya dengan seksama, maka kamu akan dapat merasakannya dengan mudah."

Hati keduanya menghangat. Arum dan Abipraya saling bertukar sebuah senyuman. Sebuah senyuman yang tulus, yang mengirimkan desiran lirih yang menghangatkan nurani.

"Saya berdoa agar kamu bahagia. . . dengan apapun yang menjadi pilihan kamu." Ucap Abipraya dengan mantap.

"Terima kasih. . . saya yakin doa Pak Abi akan dikabarkan ke pada alam semesta dan akan selalu datang kembali ke pada pemiliknya." Lirih Arum.

To be continued...
Hai, teman-teman pembaca. Semoga kalian tidak marah dan kesal karena aku lama sekali update-nya. Semoga kalian menikmati part ke-40 ini, ya. 😘😚

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang