DUA PULUH DELAPAN

120 6 0
                                    

ARUM menarik tas kecilnya ke pangkuannya dan ia mendudukkan diri dengan nyaman di kursi penumpang. Di sampingnya, ada Abipraya. Di depan, Abizar mengemudi dengan tenang dan terkendali seperti riak air di atas danau.

Sejak Arum memasuki mobil, Abipraya belum mengutarakan isi pikirannya. Arum juga tak mau repot-repot membuang ludahnya kalau Abipraya saja tak mau berbicara dengannya, pikirnya.

"Hmm. . . jadi, nanti setelah selesai kuliah umum kita mau ke mana?" Tanya Abizar yang awalnya canggung tapi menjadi antusias di akhir kalimatnya.

Arum menggeleng tak tahu.

"Hmm. . . belum tahu. Memangnya kamu mau ke mana, Zar?" Tanya Abipraya seraya mencoba untuk meraih ponsel dari tasnya.

Ya, tas pemberian Arum masih ia pakai dengan setia. Meskipun tampilan usang dan bekasnya tidak sepenuhnya hilang, Abipraya sangat sangat menyukai tas itu.

"Bagaimana menurut kamu, Rum?" Tanya Abipraya dengan canggung dan datar.

Arum merasa bahwa mood Abipraya dalam pesan teks singkat dan mood-nya di dunia nyata berbeda sekali. Dan Arum sedikitnya menganggap itu menggemaskan—apalagi ketika Arum mengingat emoji peace sign dan emoji tersenyum dengan mata melengkung dari Abipraya pagi tadi. Gejala-gejala orang introvert memang seperti itu, canda Arum dalam hatinya.

"Abizar ada rekomendasi rumah makan baru, Mas. Ada tengkleng!" Kata Abizar. Ia membuat batuk-batuk palsu ketika melanjutkan kalimatnya, "Tapi, ya. . . semuanya kembali lagi pada donatur."

Abipraya berdecak seraya tersenyum kecil mengiyakan. "Bagaimana menurut kamu, Rum?"

Arum melirikkan pandangannya pada Abipraya dengan canggung. Ia pun mengangguk tak tahu malu. Makanan adalah kelemahannya, tentu saja.

.  .  .


Arum mengisyaratkan pada Abizar untuk menjaga kursi duduknya agar tetap kosong sembari ia permisi untuk pergi ke kamar kecil. Abizar kemudian meminta Arum untuk menyimpan tas kecilnya di atas kursi agar tidak ada yang menempati kursinya.

Ketika Arum menuruni tangga, ia terhenyak mendapati Abipraya dan Isabella bergandengan tangan selama menaiki tangga. Wajah Arum tampak kaget dan kecewa melihat kedatangan Isabella. Namun, ia paham bahwa ia tidak berhak untuk bersikap demikian.

Dalam sekian detik, Arum menghapus raut kekecewaan di wajahnya sebelum Abipraya menyadari keberadaannya.

"Pak Abi." Sapa Arum pelan seraya berpapasan dengan Abipraya dan Isabella. Arum memberikan seulas senyuman kecil untuk Isabella dan Isabella tersenyum tulus seraya menganggukkan kepalanya dengan anggun.

Abipraya terlihat sedikit gelisah tapi ia memutuskan untuk tidak melepaskan tangannya dari Isabella. "Mau ke mana, Rum?"

Arum menghentikan ayunan langkahnya dan membalikkan badan untuk menghadapi Abipraya dan Isabella. "Saya. . . mau pamit pulang duluan, Pak Abi." Balasnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"Ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?" Tanya Abipraya dengan kekhawatiran yang terlukis dalam wajah tampannya.

"Maaf, Pak Abi. Kakak saya menelpon dan mengajak bertemu, jadi saya harus segera pergi, Pak Abi." Jelas Arum. "Kalau Pak Abi berkenan, tolong sampaikan maaf saya pada Abizar karena saya tidak jadi ikut setelah kuliah selesai. Terima kasih banyak sebelumnya."

Abipraya mengangguk canggung, mempersilahkan Arum pergi. Arum pun kembali menuruni tangga dengan derap langkah yang lebih cepat. Sulit sekali rasanya, lirihnya dalam hati.

Matanya berlinang-linang. Napasnya mulai berembus tak beraturan. Dadanya sesak dan pengap sampai-sampai ia perlu menarik napas lebih lama dari biasanya untuk mendapat pasokan udara yang cukup bagi dadanya yang berdenyut linu. Tiupan napasnya membuat pundaknya berguncang rapuh. Arum merogoh masker wajah dari saku celananya dan lekas memakainya.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang