TIGA PULUH EMPAT

134 5 2
                                    

ABIPRAYA memuji rambut baru Abizar habis-habisan, sampai ia lupa bahwa Abizar ingin Arum juga merapikan rambut kakaknya itu. Abizar yang bahagia tak bisa berhenti berkaca melalui kamera ponselnya, bangga dengan hasil karya Arum. Tak lupa, Inka tentunya sangat lega berhasil karena Arum telah menyapu bersih kekacauan yang Inka ciptakan.

"Mbak, tolong fotoin Bizar dari belakang, ya." Pinta Abizar seraya menyerahkan ponselnya pada Inka. "Ambilnya agak miring gitu ya, Mbak. Ala-ala foto barbershop."

"Kamu itu harus diam sebentar, Bawel. Aku gak bisa ambil foto kalau kamu gak bisa sit still." Protes Inka.

Abipraya memerhatikan wajah Arum yang berseri melihat interaksi antara Abizar dan Inka. Arum pun melirikkan pandangannya pada Abipraya. Mata mereka bertemu. Seperti sihir, sepasang mata milik Arum itu membuat dada Abipraya tidak keruan.

Keduanya saling membuang muka, mengalihkan pandangan karena tak mau lama-lama bertatapan. Tak lama dari itu, Abipraya memberanikan diri menghampiri Arum dan berdiri di samping perempuan itu.

Abipraya mengusap kepalanya canggung. "Kamu bisa... rapikan rambut saya juga?" Tanya Abipraya pada Arum.

Arum menoleh lalu mengangguk pelan. "B-boleh." Lidahnya kelu, ia terkejut karena tak menyangka bahwa Abipraya akan mengajaknya bicara.

Abizar sadar akan interaksi Abipraya dan Arum. Ia tersenyum lega dan kembali menyibukkan diri dalam sesi potretnya dengan Inka.

Abipraya mendudukkan diri lalu melepaskan kaos yang ia pakai dari tubuhnya. Ketika Abipraya melakukan itu, Arum merasa tak enak, seperti ia tak seharusnya melihat Abipraya bertelanjang dada.

Arum lagi-lagi terpesona dengan tato bergambarkan pohon hayat yang menyelimuti lengan hingga ke salah satu sisi pada dada Abipraya. Tak hanya ilustrasi dari tree of life, Arum juga melihat satu tato kecil bertuliskan 'Bella' di sekitar pundaknya. Ketika Arum membaca nama itu, Arum termenung penuh makna.

"Maaf... saya tidak mau rambut saya menempel di pakaian." Ucap Abipraya pelan.

"T-tidak apa-apa." Arum segera mengerjakan tugasnya untuk memberikan Abipraya sebuah potongan rambut yang layak.

Arum merasa bahwa tekanan yang ia terima ketika memangkas rambut Abipraya lebih besar dibandingkan ketika ia memangkas rambut Abizar. Arum berusaha untuk tidak terlalu membuat perubahan yang banyak yang dapat mengubah penampilan ataupun bentuk wajah Abipraya. Perempuan itu hanya membuat sedikit fade mengikuti potongan awal dari Inka.

Tak sampai tiga puluh menit, Arum sudah selesai. Memang, hasil pangkasan Arum tidak seprofesional ahlinya. Akan tetapi, ia memberikan penampilan yang layak dan cukup baik untuk Abipraya dan Abizar.

"Akhirnya, gak sia-sia aku beli peralatan cukur yang mahal ini ya, Mas." Ucap Abizar menyindir Inka.

Inka pun terlihat cemberut namun ia segera tertawa karena sindiran dan tingkah adiknya itu. "Mulai besok kamu bayar makan siang sendiri, ya Abizar Rashid." Ancam Inka mengundang tawa semua orang.

"Bagus sekali, Rum. Terima kasih, ya." Lirih Abipraya yang tersenyum kecil, masih berusaha untuk menjaga image-nya.

"Iya, loh. Kenapa sih kamu bisa sampai selihai itu, Rum? Pernah kerja di barbershop, ya?" Tanya Inka.

"I-iya, Mbak. Dulu pernah ikut pelatihan... sewaktu masih SMA." Jawab Arum, memilih untuk menyampaikan kisah palsu.

"Keren, loh." Puji Inka sembari mengusap-usap rambut Abipraya sekaligus merapikan sisa-sisa potongan rambut. "Mas, gak sekalian dibersihkan berewoknya? Gak terlalu berantakan, sih. Tapi, mumpung ada Arum... gitu."

Abipraya menatap Arum. Ia mencoba mencari jawaban melalui wajah perempuan itu. Lalu  Abipraya menggelengkan kepalanya pelan. "Hm... nanti saja." Jawabnya.

"Sekalian saja. Boleh kan, Rum?" Sambung Inka. "Awas ya, Mas. Jangan lupa tuh Arum kasih apa untuk balas jasanya."

Arum terkekeh kecil.

Abipraya duduk termenung seolah sedang menunggu jawaban dari Arum, dan begitulah kebenarannya.

Arum terdengar sedang mendengung lirih seraya berpikir. "Ya sudah... karena Abizar sudah beli alat yang lengkap ini, saya sekalian rapikan yang lainnya."

Abipraya menggaruk keningnya canggung. "Hm... oke."

Arum langsung menyesuaikan peralatan yang akan ia pakai untuk membersihkan berewok Abipraya yang sebenarnya tidak terlalu tebal. Arum hanya akan merapikan bentuknya saja.

Ketika Arum mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Abipraya, ia merasa seolah seluruh tubuhnya membeku dingin. Sepertinya Abipraya juga sadar bahwa tangan Arum menjadi dingin dan bergetar. Pria itu semakin tak keruan. Ia tak bisa menjaga agar pandangannya tetap lurus ke depan.

Arum meminta izin untuk memegang kepala Abipraya sekali lagi. Perempuan itu memiringkan wajah Abipraya agar lebih memudahkannya. Seketika, Arum teringat pada momen ketika ia mabuk dan berbicara seenaknya serta sejujurnya pada Abipraya.

Arum memerhatikan bola mata Abipraya yang bergerak ke sana ke mari dengan gelisah. Dada Arum terasa sakit dan nyeri, matanya juga berkaca-kaca. Tangannya semakin gemetar ketika air mata mulai menggenangi matanya.

Inka dan Abizar yang menyaksikan dengan was-was. "Hm... Mbak, aku mau ke Ibu dulu, ya. Mau minta jus buat kita semua." Kata Abizar mencoba menghangatkan suasana. Abizar pun lekas meninggalkan tempat.

"Hm... iya iya. Aku mau gulanya sedikit." Kata Inka yang ikut menyusul Abizar.

Abipraya mengembuskan napasnya dengan amat sangat berat. "Maafkan saya." Lirihnya, jakunnya naik turun ketika merasakan ada yang sakit di dalam tenggorokannya.

Arum yang sedang melakukan pekerjaannya berhenti sejenak tanpa melepaskan tangannya dari wajah Abipraya. Airmata kemudian mengucur dari mata Arum yang sedih.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Abipraya tanpa menggerakkan kepalanya sama sekali.

Keheningan menguasai keduanya lagi. Keheningan kali ini terasa sangat intim, seolah dunia sedang menyudutkan mereka berdua. "Bagaimana ujian tengah semester kamu?"

Arum menelan ludahnya susah payah. Tenggorokannya tercekat dan terasa sakit sekali. "Semuanya lancar. Terima kasih sudah... bertanya, Pak Abi."

Abipraya tersenyum kecil. Rasanya bahkan terlalu naif jika menyebutnya sebagai sebuah senyuman. Senyuman itu lebih terlihat seperti penyerahan diri. Seperti daun kering yang terbawa riak air sungai.

"Mas Abi... Nak, Bella ada di sini. Baru sampai sekali. Dia bawa ponakannya yang masih kecil." Seru Marwah yang memanggil dari dapur. "Rum, ayo makan dulu, yuk. Kalau sudah selesai cuci dulu tanganmu ya, Nak."

Arum melepaskan tangannya dari wajah dengan perlahan. "Pak Abi bisa... selesaikan sendiri." Lirih Arum tanpa beranjak dari tempatnya.

Abipraya pun mengangguk dan setuju. Pria itu berdiri, membuat Arum terlihat sangat kecil di hadapannya. Abipraya dan Arum berhadapan dengan menyisakan jarak setengah sepanjang setengah meter saja. Arum merendahkan pandangannya menatap rerumputan.

Sembari menatapi puncak kepala Arum, Abipraya berkata, "Terima kasih." Abipraya merogoh kaosnya dan lekas memakainya kembali di hadapan Arum.

Arum menggeser tubuhnya untuk menjauh dari Abipraya. Perempuan itu kemudian berjalan menuju taman yang luas yang langsung terhubung pada pintu yang bisa diakses untuk memasuki lahan kontrakannya. Taman itu juga yang dulu pernah menjadi saksi bisu ketika cinta mulai tumbuh merambat di ruang hatinya.

Melihat Arum pergi, Abipraya tak bisa melakukan apa-apa. Ia begitu berharap bahwa Arum bisa tinggal sebentar menghabiskan waktu di sana.

Arum membalikkan tubuhnya dan melihat bahwa Abipraya masih berdiri di sana untuk menyaksikan kepergian Arum.

"Pak Abi... tolong sampaikan maaf pada Ibu karena saya tidak bisa bergabung. Terima kasih." Arum tersenyum singkat.

Abipraya memasang wajah pasrahnya seraya berkacak pinggang seakan tak terima bahwa Arum akan pergi. Arum yang tak menerima jawaban apa-apa dari Abipraya kemudian melanjutkan langkahnya.

To be continued...

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang