SEMBILAN BELAS

144 5 1
                                    

ABIZAR menutup pintu mobil dan menyusul Arum yang menunggunya. Arum dan Abizar mulai berjalan bersama-sama tanpa mengeluarkan sepatah kata. Abizar dan keluarganya sudah melarang Arum untuk masuk kelas dan bekerja. Tapi Arum tetap bersikukuh untuk melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Seakan tak pernah ada kejadian malam tadi. Abizar sampai tak percaya akan kokohnya pendirian Arum. Abizar bahkan meminta tolong pada Ibunya untuk membujuk Arum agar bisa istirahat. Semuanya tak ada yang berhasil.

Di kelas pertama, Arum bertemu dengan Abipraya. Arum sempat melirikkan pandangannya se per sekian detik pada Abipraya ketika pria itu melenggang memasuki kelas. Mereka melakukan kontak mata dengan canggung. Abipraya masih setia mengenakan tas yang dibelikan oleh Arum. Pikiran Arum menekan tombol kilas balik menuju momen ketika dirinya memberikan tas itu pada Abipraya.

Kilas balik itu membuat hatinya berdebar dan berdesir hangat serta lirih. Rasanya cukup sesak tapi ia senang dengan kehadiran rasa sesak itu. Sesak yang tidak menyakitkan, hanya membuat hatinya terasa penuh dan hangat. Hatinya balapan, berdegub kencang tak punya pendirian, pipinya merah merona, dan telapak tangannya berkeringat. Begitu tersiksa jiwa Arum ketika kebingungan akan perasaan yang ia rasakan melanda jiwanya.

Abipraya masih mencerna semuanya. Ia ingin menyelesaikan urusannya dengan Arum namun di sisi lain ada sebagian hatinya yang merasakan gejolak dari luapan emosi yang bahkan terlalu sulit untuk dielaborasi. Satu-satunya hal yang terlintas dalam pikiran Abipraya adalah bahwa ia ingin menghilang ditelan bumi. Tidak, bukan karena ia tidak ingin bertanggung-jawab. Apa yang menjadi masalah adalah Abipraya merasa tak layak untuk merasakan gejolak dalam dadanya.

Hari itu Abizar meminta Arum untuk duduk di sebelahnya dan Arum menurut pada Abizar. Arum mencorat-coret buku catatannya yang harganya tak seberapa itu. Pikirannya dan hatinya sungguh kacau. Arum bahkan tidak bisa mengikuti kuliah dengan baik. Semua ucapan yang keluar dari mulut Abipraya melayang di udara, enggan memasuki pikiran Arum bahkan untuk melintas saja begitu sukar. Arum hanyut dalam angan-angannya.

Seketika Abizar mengetuk kesadaran Arum. "Arum?"

Arum sedikit terhenyak. "Iya?" Arum menoleh pada Abizar.

"Habis ini ada kelas apa?"

Arum memalingkan wajahnya untuk menatapi coretan dalam bukunya seraya membalas Abizar. "Setelah ini harus kembali kerja di tempat Kak Inka."

Abizar ber-oh-ria kemudian memfokuskan kembali dirinya pada kuliah yang sedang berlangsung.

"Ada apa?" Arum menoleh lagi pada Abizar.

Tiba-tiba Arum tersadar. Ia kembali menatapi catatannya seraya terhanyut dalam lamunannya. Melintas di pikirannya bahwa mungkin perasaan yang ia rasakan itu adalah sebuah respon alami. Respon alami ketika pada akhirnya ada seseorang yang mau membantunya dan membimbingnya seperti yang Abipraya lakukan.

Arum berpikir bahwa ia mungkin saja tidak jatuh hati. Arum bergidik ngeri dan menggelengkan kepalanya memikirkan hal itu. Arum merasa sangat tak layak jika harus jatuh hati pada seorang Abipraya. Ia merasa sangat-sangat-sangat tidak layak.

"Kenapa?" Abizar, keduanya alisnya menukik tajam dan heran.

Arum menoleh dengan cepat. "Apa?" Mata Arum membulat bingung.

"Kamu geleng-geleng kepala barusan." Bisik Abizar. "Kamu tidak apa-apa?"

Arum membuang napasnya singkat. "Tidak. Tidak apa-apa."

"Arum dan Abizar saya bisa dengar kalian berdua. Mau berbagi dengan teman-teman apa yang sedang kalian diskusikan?" Tanya Abipraya membuat seisi kelas menjadi mencekam. "Suara kita jadi overlapping, mungkin kalian mau berbicara duluan?"

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang