DUA PULUH ENAM

122 5 0
                                    

ARUM mengelap satu per satu piring putih dan menumpuknya di atas meja makan. Marwah, ibu dari Abipraya, Abizar, dan Inka—senang karena Arum ada untuk membantunya memasak. Marwah sesekali bertanya agar ia bisa semakin dekat dengan Arum. Selain itu, agar Arum dapat mengerti bahwa ia sangat diterima dengan baik oleh keluarganya.

"Ibu kamu sudah makan, kan?" Tanya Marwah penuh perhatian. "Nanti ayam kecap kamu angetin saja buat besok pagi ya, Nak."

"Sudah, Bu." Arum tersenyum tulus dan lebar. "Iya, Bu. Makasih banyak."

Setelah semua piring itu bersih, Arum membantu Marwah menatanya satu per satu. Satu piring untuk Marwah, Arum, Abizar, Abipraya, Inka, dan Isabella. Kursi-kursi di meja makan masih kosong. Marwah sudah habis tenaga untuk memanggil anak-anaknya. Abizar masih sibuk mengobrol via FaceTime dengan kekasihnya di kamar. Inka masih sibuk dengan skincare rutinnya.

Arum meraih wadah besar berisi sop ayam dan membawanya ke atas meja makan panjang yang terbuat dari kayu dengan aksen resin hitam dan emas. Setelah ia menaruhnya di atas meja, seketika ujung matanya menangkap pemandangan yang membuat dadanya pengap dan berdenyut.

Di bawah binar langit sore, Arum menyaksikan Abipraya tengah memeluk Isabella dari belakang dan mengistirahatkan dagunya di puncak kepala Isabella melalui jendela besar ruang makan yang tembus ke kolam ikan. Di sisi kolam itu, Abipraya dan Isabella berceloteh sambil berpelukan mesra. Tubuh mereka bergoyang dihembuskan angin ke kiri dan ke kanan.

Sudah delapan hari semenjak Abipraya memberikan buku dan katalog pameran padanya di rooftop. Delapan hari semenjak mereka gagal untuk makan bersama karena Isabella menuntut tanggungjawab suaminya, untuk mengantarnya membeli kebutuhan dapur—rumah tangga. Semenjak itu pula, Abipraya tidak pernah berbicara lagi pada Arum, pun hanya mengirim teks seperti biasa. Pria itu menjauhi dan menghindari gadis itu sama sekali. Abipraya juga tidak repot-repot meminta bantuan Arum untuk men-setting seluruh karya di pamerannya.

Marwah meminta Arum untuk menyusul Inka dan Abizar di kamarnya masing-masing. Bukan kenapa-kenapa, Marwah meminta tolong pada Arum agar Arum merasa ada di rumah. Marwah ingin menciptakan lingkungan yang familiar untuk Arum.

"Nak, sekalian minta Abizar ambilkan tissue baru sebungkus, ya. Ada di lemari lantai dua deket televisi. Minta Abizar ambilkan karena lemarinya tinggi."

"Iya, Bu." Sahut Arum pada Marwah, sesaat sebelum ia menaiki tangga menuju lantai dua. Hati Arum menghangat, terharu lebih tepatnya. Kebaikan Marwah begitu menggetarkan jiwanya.

Abipraya mendengarkan obrolan ibunya dan Arum. Padahal Ibu bisa minta saya untuk bantu Arum ambil tissue. Pikir Abipraya yang memasuki ruang makan bersama istrinya.

Abipraya mencuri pandang untuk menyaksikan Arum mengayunkan kakinya satu per satu menaiki anak tangga. Isabella melihat suaminya memperhatikan Arum dengan penuh perhatian. Tatapan suaminya itu begitu lekat sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa istrinya sedang memperhatikannya.

Abipraya kemudian menarik punggung kursi dan menjatuhkan dirinya di samping Isabella. Tangannya merogoh gawai di saku celananya kemudian proyeksi layar gawai itu lekas menyinari wajahnya yang menawan.

"Mas, kamu mau nginep di sini?" Tanya Isabella pada Abipraya. Sebagian besar hatinya berharap agar Abipraya menjawab tidak.

"Di sini aja dulu, Nak. Lagipula besok kan libur, ya?" Sela Marwah.

"Gak tahu, Bu. Saya masih ada kerjaan. Besok mesti pergi ke pameran juga, ada wicara seniman dan ada kuliah umum." Balas Abipraya tanpa memindahkan pandangannya dari gawainya.

Isabella tersenyum samar.

"Tapi, boleh juga. Saya sudah lama gak nginep juga ya, Bu." Sambung Abipraya seraya menolehkan wajahnya pada Marwah dan menaruh gawainya di atas meja. Ia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada dan bertanya pada istrinya. "Bagaimana? Aku boleh nginep? Pengen main monopoli sama adik-adik. Kalau kamu mau, kita nginep di sini aja."

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang