DELAPAN BELAS

147 6 0
                                    

ARUM mondar-mandir dengan kebingungan yang sangat hebat. Matanya berkeliaran mencari ojek yang bisa diminta pertolongan. Malam itu, perutnya yang keroncongan sampai tak dirasa sama sekali. Sudah pukul sebelas malam dan di tempat ia tinggal sudah sangat sepi. Maka dari itu, cukup sulit baginya untuk mencari pertolongan.

Dari kejauhan terlihat sorotan cahaya dari sepeda motor yang muncul dari balik tikungan. Arum melambaikan tangan sembari mengusap air matanya yang deras.

"Pak.. Pak... tolong jemput ibu saya." Pinta Arum ketika sepeda motor tersebut berjalan melaluinya.

Seorang laki-laki seusia ayahnya kemudian menghentikan sepeda motornya. "Ada apa, Nak? Kamu baik-baik saja?"

Arum kehilangan kendali atas emosinya. Arum ambruk di atas jalanan berasal sembari menangis tanpa suara. "Tolong saya... antar ibu saya ke sini. Ibu tidak bisa jalan." Pintanya lirih tak berdaya.

Seketika beberapa orang mulai berdatangan menghampiri Arum dan lelaki bersepeda motor itu.

"Nak... tolong jelaskan dulu ada apa. Kamu bukan penipu, kan?" Lelaki itu berusaha meyakinkan.

Arum menyeka hidungnya. Seorang nenek penjaga warung di sekitar kemudian datang mendekati dan menyela obrolan. "Pak... saya tahu anak ini. Tolong dibantu, Pak. Nak Arum, ada apa, Nak?"

Nenek itu melihat luka memang di pergelangan tangan Arum. Nenek itu kemudian berkata, "Astagfirullah... ini pasti ulah ayahnya. Pak cepat Pak tolong jemput ibunya di rumah warna biru di ujung jalan ini, Pak." Dirangkulnya tubuh Arum oleh si nenek.

"Ayo, Pak... saya antar dulu ke rumah Pak RT. Biar kita bisa mendatangi rumah Nak Arum sama-sama." Kata lelaki lain yang khawatir dengan kondisi Arum dan ibunya.

"Jangan..." Arum masih menangis. "Tolong jemput ibu. Kasihan ibu."

Dari kejauhan, Abizar mencermati keramaian di bawah lampu jalan yang temaram. Abizar tahu bahwa daerah itu adalah daerah tempat tinggal Arum. Ada sekitar enam orang yang berkerumun. Abizar pikir sedang ada seseorang yang mengalami kecelakaan. Namun ketika Abizar akan membelokkan mobilnya memasuki gapura perumahan, Abizar menemukan wajah Arum di antara keramaian itu.

Abizar menahan pedal gasnya. "Mas. Itu Arum!"

Abipraya yang fokus pada ponselnya kemudian mengangkat wajahnya dan menyembulkan kepala ke sana ke mari mencari sosok Arum dari kaca depan mobil.

"Tolong parkirkan mobilnya di sana, Zar." Pinta Abipraya seraya mengarahkan telunjuknya ke bahu jalan yang sudah sangat sepi. "Ayo, kita turun dulu." Abipraya mencoba tetap tenang.

Abizar memarkirkan mobilnya dengan hati-hati. "Ayo, Mas cepat turun dulu."

Keduanya keluar dari mobil dan segera menerobos keramaian. Abipraya berkata, "Ada apa, Pak Bu?"

Arum tersadar akan kehadiran Abipraya. "Pak Abi."

"Arum!" Seru Abipraya. Tercekat hatinya tatkala ia melihat Arum menangis sejadi-jadinya. Diraihnya tubuh Arum dengan penuh rasa khawatir. "Saya dosen Arum, Pak Bu. Dan ini adik saya sekaligus teman kuliah Arum."

"Pak Dosen, tolong bantu Nak Arum." Ucap beberapa orang.

Abipraya meraih kepala Arum dan menggiring tubuhnya untuk direngkuhnya. Arum menangis sejadi-jadinya, pertahanan dirinya rubuh. Airmata membanjiri wajahnya yang kini memerah sembab. Abizar merasakan kekhawatiran dan rasa kasihan mengalir di dalam darahnya ketika melihat Arum yang begitu tak berdaya dan dipenuhi memar di tangannya. Abizar lebih khawatir lagi menyaksikan rahang Abipraya yang mengetat menahan amarah. Abizar tahu tatapan itu. Abipraya mengusap-usap punggung Arum mencoba memberikan ketenangan.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang