DUA PULUH DUA

106 6 0
                                    

ABIPRAYA mengecek ponselnya. Alisnya mengerut gelisah sejak tadi siang. Pria itu belum melihat batang hidung Arum sejak tadi pagi. Itu sedikitnya membuat Abipraya gelisah dan khawatir. Sering kali pria itu mencoba menyanggah perasaan-perasaan semacam itu yang ia rasakan terhadap Arum. Terkadang ia merasa geli terhadap dirinya sendiri. Ia tak pernah segelisah ini selain kepada adik-adiknya dan kepada istrinya, Isabella, sewaktu mereka pacaran.

16.12
Adikku Inka
Belum liat lagi, Mas. Tadi pulang kerja pas makan siang aja, sih. Mungkin lagi ngerjain tugas di mana gitu??

Abipraya mendengus. Bukan itu jawaban yang ia inginkan. Abipraya menggigit bibirnya dilanda dilema. Apakah ia perlu menelpon Arum atau tidak perlu. Abipraya pun berpikir jika ia menelpon Arum, ia harus repot menjelaskan pada istrinya kenapa ada kontak Arum dalam log panggilan keluarnya.

Memikirkannya saja sudah membuat Abipraya mendelikkan matanya malas. Ia juga tak mau repot-repot menghapus log panggilan keluar karena jika ia menghapusnya, itu akan membuatnya heran sendiri seperti ia menyembunyikan sesuatu. Kenyataannya, tidak ada yang perlu ia tutup-tutupi.

"Pak Abi."

Suara itu seperti menarik seluruh udara dari rongga pernapasan Abipraya. Abipraya merasa lega seketika. Pria itu membalikkan tubuhnya dan mendapati Arum yang sedang menutup pintu rooftop itu. Arum tersenyum samar sembari menundukkan kepalanya, menyapa.

"Kamu dari mana saja, Rum?" Tanya Abipraya dalam nada yang ia jaga agar tidak memberikan kesan posesif. Karena jika ia terdengar demikian, itu akan membuat semua situasi menjadi aneh di antara mereka berdua.

"Saya... dipanggil bagian keuangan tadi. Hasil pengajuan kemarin ternyata ditolak." Jelas Arum. Ia berjalan menuju tepi rooftop sembari melepas tas selendangnya yang menjadi identitas khasnya.

Perempuan itu duduk bersila di dekat tepi rooftop, memberikan Abipraya kegelisahan dan kekhawatiran yang lain. "Tapi tidak apa-apa. Saya cukup tenang dan yakin bisa membereskan masalah keuangan ini. Saya sudah kerja dan punya penghasilan dari Mbak Inka. Saya sudah diberikan keringanan juga untuk jumlah cicilannya, Pak Abi."

"Rum." Ucap Abipraya yang masih berdiri di sana memperhatikan seluruh gerak-gerik Arum.

"Pak Abi sudah makan? Saya masih punya nasi padang satu bungkus. Belum saya makan, belum basi karena baru beli." Tutur Arum yang bicaranya pelan-pelan dan tenang, tanpa terburu-buru. "Kalau Pak Abi mau, saya siapkan nasi padangnya."

Hati pria itu menghangat ketika Arum memberinya sedikit perhatian. Namun, lagi-lagi ia mencoba untuk menyanggah perasaan itu. "Arum, kenapa kamu duduk di sana?"

Arum menahan diri sejenak untuk menyapukan debu di celananya. "Kenapa, Pak Abi?"

Abipraya berjalan lambat-lambat mendekati tepi rooftop. Lututnya melemas mengintip ke bawah. "Geserlah sedikit, Rum. Ini terlalu berbahaya. Apa kamu tidak takut?" Tanya Abipraya khawatir.

Arum memerhatikan wajah Abipraya dengan lekat. Abipraya meringis melihat pemandangan yang ada di bawah mereka. "Saya sudah makan. Terima kasih, Rum. Silakan kamu makan dulu."

Arum mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Jemarinya mengungkap lembar per lembar dengan perlahan dan penuh keyakinan. Jari telunjuknya berhenti pada halaman yang ia tandai menggunakan secarik kertas. Bukan kertas yang umumnya dipakai sebagai bookmark, tapi kertas yang benar-benar sebuah sobekan kertas dengan tepian khas di mana serat-serat kertas tersebut bisa terlihat.

"Saya senang sekali duduk di sini. Saya merasa... besar." Arum mengusap buku itu dengan lembut.

"Saya merasa berkuasa atas gedung-gedung itu, mobil-mobil itu, pohon-pohon, bahkan orang-orang. Setidaknya, berada di sini sedikitnya membantu saya untuk merasa memiliki... memberi ilusi bahwa saya tidak sekecil yang saya pikirkan." Sambungnya.

Save Your Tears, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang