Hidden Chapter

8.9K 1K 141
                                    

Note: Chapter ini di ada di antara chapter 47 dan 48 yaaa.

...

YenaPOV

Aku terduduk di pojok ruangan sambil dengan memeluk lututku di depan dada, rasa takutku menguasaiku sekarang. Aku menggigil di dalam ruangan ber AC ini. Aku menutup mataku sejenak lalu kembali membukanya dan menatap kedua tanganku yang penuh dengan darah.

Seluruh tubuhku juga bau amis karena darah. Aku menyesali seluruh perbuatanku sekarang, aku menyesali semua yang ku lakukan, bermulai dari aku yang ingin sekali menyusul Jimin sampai-sampai membuat Jennifer menunjukkan jalan rahasia yang berada di bawah kandangnya.

Mengingat Jennifer, membuat mataku memanas, lalu perlahan air mataku turun pada pipiku. Aku bersalah dalam segala hal, aku bersalah atas kematian Jennifer. Aku tidak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi padaku. Aku tidak menyangka jika beberapa waktu lalu aku menyaksikan langsung kematian Kera Betina itu.

Tangisanku yang semula hanya isakan menjadi mengeras, aku tidak bisa menahan untuk tidak menangis. Aku bahkan menyembunyikan kepalaku dan semakin memeluk lulutku di depan dada.

Ucapan Jungkook seluruhnya adalah benar, Jennifer adalah Kera yang pintar dan kuat. Aku baru mengakuinya sekarang, Kera itu benar-benar pintar, ia bahkan merelakan tubuhnya yang besar tertembak oleh Namjoon hanya untuk melindungiku yang berada di belakangnya.

Jungkook benar-benar akan marah besar padaku. Jungkook akan membenciku, Taehyung juga tidak akan menerimaku lagi. Ia pasti cemas karena aku tiba-tiba menghilang.

Kenapa aku begitu bodoh karena kabur melewati jalan rahasia itu? Kenapa aku tidak menuruti Taehyung saja untuk tetap berada di markas? Aku ceroboh, aku sangat bodoh karena membahayakan seluruh orang-orang yang berada di sekitarku.

Jika saja saat itu aku dan Yuri tidak keluar markas untuk mengikuti Yoongi, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Mungkin Jimin masih berada di sisiku sekarang, mungkin aku, Jungkook, Taehyung dan juga Yuri masih berada di markas dan mengumpul di ruang tengah bersama.

Ingatanku tentang kenangan itu membuat tangisanku semakin mengencang. Napasku bahkan sampai tersendat karena saking kencangnya aku menangis.

Namun tiba-tiba saja aku mendengar dentuman yang sangat keras di sebelah ruanganku. Aku langsung saja terlonjak terkejut dan beranjak berdiri dengan khawatir karena takut-takut dinding yang berada di sebelahku akan roboh dan mengenai tubuhku yang terduduk di lantai.

Dentuman itu kembali terdengar tepat di sebelah ruanganku, seolah-olah seseorang sedang mendorong dinding itu dengan barang yang begitu besar dan kuat.

Jantungku berdetak dengan kencang, jika seseorang berusaha untuk merobohkan dinding ini, sepertinya akan sangat mustahil karena dinding yang berada di hadapanku ini terlihat sangat kuat dan sangat kokoh.

Dentuman itu tidak lagi terdengar, napasku memburu dan sedikit tersendat karena aku yang menangis dengan kencang tadi. Tiba-tiba saja aku bisa mendengar suara yang sangat familiar di telingaku sedang memanggilku dengan berbisik.

"Kang Yena...," terdengar jelas jika itu adalah suara Yuri, aku bahkan sangat mengenal suaranya itu. Tapi aku tidak tahu itu hanyalah suaranya sungguhan atau hanya suara yang berada di dalam kepalaku karena aku merindukannya. "Yena bodoh, ini aku. Naiklah mendekati AC."

Seketika mataku membelak, otomatis kepalaku langsung mendangak untuk menatap AC yang ternyata berada di antara dua ruangan itu. Tembok yang berada di antara dua ruangan itu terpotong untuk meletakkan AC di antaranya.

"Cepat, Yena. Mereka akan datang sebentar lagi!" bisiknya lagi yang seketika langsung membuatku tersadar dari lamunanku. Itu benar-benar Yuri, ia berada di sebelah ruanganku.

Kepalaku langsung menatap ke segala sudut ruangan untuk mencari kursi, saat menyadari jika tidak ada kursi di ruangan ini. Akhirnya aku memilih untuk mendorong meja yang berada di sisi ranjang dan meletakkannya di bawah AC.

Tubuhku bergidik saat terkena sapuan angin yang turun dari AC itu. "Aku disini." Ujarku berbisik dan sedikit berjinjit untuk menggapai potongan dari tembok itu yang ternyata tidak tergapai oleh kepalaku.

Yuri juga sepertinya tidak sampai pada potongan dinding itu, kami berdua memang sangat pendek. Aku menyesal telah lahir sependek ini, kenapa aku tidak di beri tinggi seperti Namjoon saja?

"Baiklah, dengarkan aku. Aku tidak tahu bagaimana bisa kau sampai sini, tapi tangisanmu benar-benar kencang. Kau selalu saja cengeng seperti biasa." Aku baru saja ingin memprotes karena Yuri berbicara seperti itu, tapi ia lebih dulu berbicara dengan cepat. "Aku tadi melihat Namjoon penuh darah, dan dia sepertinya—"

"Itu karena Jen—"

"Jangan memotongku, Yena. Kau bisa bercerita nanti." Ujarnya memotong ucapanku, aku hanya menelan ludahku susah payah. Akhirnya aku kembali mendengarkannya. "Namjoon sepertinya sedang terluka parah, dan dia pasti membutuhkan pengobatan. Mereka tidak akan membawanya ke rumah sakit apalagi memanggil dokter untuk mengobatinya karena identitas mereka akan terbongkar."

Yuri diam sebentar, dan tiba-tiba saja dari potongan dinding itu terlempar sesuatu barang berbentuk sangat kecil yang mendarat di ranjang. Aku baru saja ingin mengambilnya tapi Yuri lebih dulu menahanku.

"Jangan beranjak dulu!" dia selalu saja tahu pergerakanku. "Dengar, itu adalah peluru bius yang aku ambil diam-diam dari saku Seokjin saat ia membawaku kemari. Jangan bertanya dulu tentang Seokjin, aku akan menceritakannya nanti." Ujarnya lagi saat aku baru saja ingin bertanya tentang Seokjin yang membuatku terkejut bukan main.

Bagaimana bisa Yuri tahu apa yang ingin ku lakukan sejak tadi?

"Mereka pasti akan membutuhkan bantuan salah satu dari kita karena mereka semua bodoh soal pengobatan. Tapi prediksiku kau yang akan di panggil untuk mengobati Namjoon karena Seokjin sedang sangat dendam padaku untuk sekarang, ia tahu jika aku adalah mafia wanita dan ia pasti tidak akan membiarkanku untuk menyentuh Namjoon."

Aku mengangguk-angguk mengerti. "Lalu apa yang harus ku lakukan dengan peluru bius itu?" tanyaku masih dengan menatap dua benda kecil yang berada di atas ranjang itu.

"Kau harus membawanya saat keluar, letakkan di sakumu dan jangan sampai salah satu dari mereka menyadarinya." Yuri terdengar seperti mengambil napas sejenak. "Suntikkan satu peluru bius itu pada Namjoon saat kau sedang mengobatinya, hati-hati dan jangan sampai Namjoon menyadarinya. Kau harus tahu jika Namjoon sangat pintar dan yang paling cerdas di antara mereka."

Aku mengangguk menyetujuinya, aku memang menyadarinya jika Namjoon adalah yang paling pintar dan paling dewasa di antara teman-temannya.

Yuri kembali berbicara, kali ini suaranya menjadi lebih kecil. "Namjoon pasti akan tahu jika kau akan menyuntikkan bius itu, tidak ada seseorang yang bisa mengelabui Namjoon, dia mempunyai IQ di atas rata-rata." Yuri malah terdengar seperti sedang memujinya. "Pokoknya, jangan sampai Hoseok ataupun Seokjin mengetahuinya. Namjoon pasti akan sadar, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan karena dia sedang terluka parah."

Aku membuka mulutku ingin melontarkan pertanyaan, tapi Yuri lagi-lagi kembali berbicara. "Ah ya, aku memberimu dua peluru. Jika kau mempunyai banyak waktu, suntikkan peluru itu pada salah satu dari Seokjin atau Hoseok— tapi tentu saja aku lebih menyarankan Seokjin sialan itu. Tapi jika kau tidak mempunyai waktu atau kesempatan, jangan lakukan hal itu. Setidaknya salah satu dari mereka harus ada yang terbius, aku akan merencanakan sesuatu untuk kita kabur dari sini."

Rasanya sangat aneh mendengar nama Seokjin di sebut. Yang ku ketahui adalah jika ia sudah meninggal. Aku mengambil napas sejenak lalu membuka mulutku untuk bertanya pada Yuri tentang Min Yoongi, namun tiba-tiba saja terdengar langkah kaki yang tergesa dari luar.

Seketika aku langsung turun dari meja dan mendorong meja itu kembali ke tempat semula dengan cepat. Tanganku langsung mengambil dua peluru kecil yang berada di atas ranjang itu dan memasukkannya ke dalam saku bajuku sebelum pintu terbuka dan menampilkan Hoseok dengan napas yang memburu.

"Kang Yena, ikut aku."

tbc,

yang bingung knp aku tiba2 update ini, mianeee hueee aku lupa buat ngepublish chapter ini yang harusnya ada diantara chapter 47 sama 48:(( aku juga baru sadar sekarang ueue:(

Preplexity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang