\19\

21.5K 1.8K 348
                                    

Aku menarik napas panjang sebelum memegang knop pintu kamar dan membukanya. Aku menggigit bibir bawahku saat melihat Jimin duduk di sofa hanya dengan celana jogger hitamnya yang melekat pada tubuhnya.

Shirtless selalu menjadi hobinya saat ini, entah untuk memamerkan perut sixpack nya itu padaku atau mempermudahkannya untuk langsung menyerangku.

Kepalanya terangkat saat aku menutup pintu di belakangku, dia menepuk pahanya. "Kemarilah." Ujarnya pelan tapi aku bisa mendengar suara dinginnya disana.

Aku berjalan kearahnya dengan gugup, saat aku sudah sampai di depannya. Jimin menarik lenganku sampai aku duduk di pangkuannya.

Kepalaku menunduk, tanganku bertautan di depan perut Jimin. Tidak ada keberanian untuk menatapnya.

Jimin melampirkan rambutku ke belakang telingaku hingga wajahku dapat terlihat olehnya. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya mengangkat daguku agar bertatapan dengannya.

Aku sedikit takut karena Jimin menatapku dengan tajam, tapi sepertinya Jimin menyadari ketakutanku dan dia menghangatkan tatapannya.

"Yena."

"A-aku baik-baik saja." Jawabku cepat, tatapan Jimin benar-benar mematikanku. Bagaimana bisa dia memiliki tatapan setajam itu?

"Apa kau kesakitan di suatu bagian?" tangannya menarik pinggangku hingga menempel pada tubuhnya yang shirtless. "Katakan padaku."

Tanganku beralih pada pundaknya. Perlahan kepalaku menggeleng, "Aku baik-baik saja."

Aku bisa melihat Jimin menghela napas panjang lalu ia meletakkan kepalanya di pundakku. "Syukurlah." Balasnya terdengar lirih. "Aku akan benar-benar membunuhnya jika sampai kau kesakitan." Lanjutnya lalu hidungnya mulai mengendus leherku.

Aku menggigit bibirku dalam, menahan desahan yang akan membuat Jimin semakin liar. Jimin memberi kecupan-kecupan ringan di leherku membuatku merinding bukan main.

Apalagi dengan keadaannya yang shirtless, menambah kesan erotis di antara kami.

"Aku sangat ingin menghabisimu malam ini," ia menjeda kalimatnya, lalu tiba-tiba Jimin berdiri membuatku langsung melingkarkan kakiku di pinggangnya. "Tapi aku tidak ingin mengambil risiko karena kau baru saja sadar."

Aku bisa merasakan punggungku menyentuh ranjang, Jimin mengecupku bibirku sekilas lalu beralih ke sisiku. Dia menarik pinggangku lalu mendekap tubuhku, meletakkan kepalaku di dadanya.

"Tidurlah, aku ingin kau melayaniku besok."

••

Aku mengeringkan rambutku yang basah memakai handuk sambil dengan menatap pemandangan hutan di pagi hari lewat jendela kamar, tapi tiba-tiba saja dari arah belakang ada yang menarik handuk itu. Aku berbalik dan mendapati Jimin sudah mencuci mukanya meskipun masih dengan celana jogger dan tubuhnya yang shirtless.

"Siapa yang menyuruhmu untuk beranjak dari ranjang dan mandi?" ujarnya ketus, aku memang yang lebih dulu bangun darinya dan memilih untuk mandi terlebih dahulu.

Aku berusaha mengambil handuk itu tapi Jimin malah menjauhkannya dariku. "Jimin, kembalikan. Aku ingin mengeringkan rambutku." Balasnya memohon.

Jimin mengangkat alisnya lalu tiba-tiba saja dia menarik lenganku untuk duduk di sofa kamar dan dia duduk di meja yang berada tepat di depanku, tangannya terulur untuk meletakkan handuk itu di rambutku dan mulai menggosokkannya.

"Aku ingin kau melayaniku hari ini," dia menatapku sebentar lalu kembali fokus pada rambutku. "Tapi kenapa aku yang malah melayanimu sekarang?" lanjutnya terdengar tidak terima.

Preplexity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang