YenaPOV
Aku membuka mataku, dan langsung bisa merasakan tanganku yang terikat di atas.
"Sudah bangun rupanya gadis nakal?" aku mengalihkan kepalaku, di sana berdiri Jimin dengan lilitan handuk di pinggangnya sedang bersandar pada tembok. Tanganya terlipat di dadanya, rambutnya yang basah masih meneteskan air.
Tatapannya masih tajam dan keras seperti terakhir kali aku menatapnya.
Kepalaku mendangak menatap tanganku yang terikat di kepala ranjang. Sial, apa yang akan Jimin lakukan padaku?
Saat aku menunduk, selimut tebal sudah menutupi tubuhku hingga dada. Dan aku bisa merasakan tubuh polosku yang berada di balik selimut itu tanpa mengenakan sehelai pakaian apapun.
Aku sudah menduga Jimin akan menghukumku seperti ini, "Jimin, dengarkan penjelasanku dulu." aku berkata ketika Jimin sudah berjalan ke arahku. Sial sial sial, dia terlihat sangat marah dan siap untuk menghabisiku.
"Penjelasan?" Jimin tersenyum miring. "Seperti memberinya sentuhan panas dan bercinta dengannya?"
Aku menelan ludahku gugup saat Jimin mulai menaiki ranjang dan membuka selimut untuk ikut memasukkan tubuhnya disana.
Jimin membuka handuknya dan melemparnya keluar selimut, sekarang tubuh polos kami berada di dalam selimut dengan Jimin yang berada di atasku. "Bukankah aku sudah memberitahumu berkali-kali jika tubuhmu itu hanya milikku, hm?" Jimin mulai mengendus permukaan leherku membuatku merinding.
Tanganku yang terikat di atas kepalaku mencengkram erat kepala ranjang, menahan desahan yang ingin keluar dari mulutku.
"Hanya aku yang boleh menyentuhmu," Jimin mengecup tulang selangkaku dengan erotis. "dan kau hanya boleh melayaniku."
Aku menggigit bibirku pasrah, padahal Jimin hanya mengecup dan memberi tanda di sekitar leherku tapi kenapa aku sudah basah saja? Padahal dia belum melakukan apapun dengan bagian bawahnya.
"Yena kau dengar tidak?" seru Jimin dengan nada tinggi, aku mengangguk patah-patah. "Bagus, sekarang kau harus menerima konsekuensimu." Aku bisa melihat Jimin bersmrik lalu mengeluarkan kain panjang dari belakang tubuhnya.
Dasi, oh jangan barang itu sekarang. Jimin tidak main-main dengan hukumannya, setelah mengingat tanganku dan dia akan menggunakan dasi itu?!
"Rules, pertama—" tangan Jimin mulai terulur untuk melillitkan dasi itu di sekitar mataku. "Kau tidak boleh menyentuhku, hanya aku yang boleh memainkan tubuhmu." Dia mengikat dasi itu kencang di belakang kepalaku hingga aku yakin dasi itu tidak akan pernah bisa ku lepas meskipun dengan tanganku sendiri.
"Kedua—" aku bisa mendengar suara sibakan selimut, Jimin membuang selimut itu ke bawah ranjang. "kau hanya boleh merasakannya tanpa melihat. Aku tidak akan membuka dasi ini sebelum konsekuensimu selesai."
"Dan terakhir," Jimin mengelus paha bagian dalamku dengan gerakan perlahan membuat tubuhku meremang bukan main. Jantungku bergemuruh kencang. "Tidak ada desahan atau teriakan."
"Apa?! Bagaimana bisa aku tida— ahh!" Jimin memasukkan dua jarinya sekaligus ke dalamku.
"Kubilang tidak ada desahan, Yena." Dia kembali mengeluarkan jarinya lalu membuka kedua pahaku. "Aku akan menambah konsekuensimu jika kau mendesah atau berteriak."
Jimin mulai memasukkan barangnya ke dalamku, aku ingin berteriak karena nyeri dan sakit yang menjalar di seluruh tubuhku tapi Jimin sudah membungkam bibirku dengan bibirnya.
Aku menggigit bibirnya kencang saat Jimin semakin mendorong masuk dan menyentakkan barangnya itu, dia seperti ingin mengoyak dan menghancurkan intiku. Aku benar-benar tidak kuat dengan ini, tidak ada desahan, tanganku yang terikat di tambah aku yang tidak bisa melihat apapun.
Bagaimana caraku menyalurkan rasa sakitku jika seperti ini?!
Setelah ia berhasil memasukkan seluruhnya ke dalam intiku, Jimin mulai bergerak dengan gerakan perlahan.
Jimin melepaskan tautan bibir kami dan langsung menyerang leherku. Aku benar-benar menggigit bibirku dengan kencang agar tidak mengeluarkan desahan apapun. Sial, ini benar-benar sakit!
Semakin lama, Jimin semakin mempercepat gerakan pinggulnya untuk keluar masuk. Dia menyentakku beberapa kali, miliknya tenggelam sangat dalam di dalamku hingga punggungku terasa sangat nyeri.
"Nghh— J-jimin kumohon." Jimin memang tidak memperbolehkanku mendesah, tapi dia tidak melarangku untuk berbicara. "A-aku tidak— mphh!" Aku langsung menggigit bibirku saat Jimin menghentakkan miliknya dengan sangat kencang.
Aku tidak kuat, rasa perih dan nyeri menjalar di seluruh tubuhku. Apalagi dengan bagian bawahku yang mungkin sudah memerah karena saking kencangnya Jimin bergerak.
Tanganku yang terikat di atas kepalaku semakin sakit karena Jimin menyentakku dengan kencang hingga tubuhku bergetar hebat. Satu tetes air mata merembes ke dasi dan sepertinya Jimin menyadarinya.
Dia langsung menciumku, membiarkan lidahku untuk bermain dengan lidahnya. Menyalurkan rasa sakit dan nikmatku dengan bibir tebalnya itu.
"Mendesahlah."
Kata-kata itu seolah adalah hadiah yang paling istimewa yang kuterima, Jimin melepaskan tautan bibir kami dan aku langsung mendesah dengan kencang. Membiarkan tenggorokanku yang mulai serak karena terus mendesah dan berteriak.
Tapi sebagai gantinya Jimin berpuluh kali lipat lebih brutal dan kasar. Dia menarik barangnya itu hingga setengah keluar dari intiku dan menghentaknya dengan kencang hingga seluruh tubuhku ikut bergerak.
Dia terus melakukan hal sepert itu beberapa kali, miliknya yang keras dan penuh itu seperti akan menghancurkan bagian bawahku.
"J-Jimin! Terlalu dalam— A-akhh!" aku tidak tahu harus berteriak seperti apa lagi saat Jimin mempercepat gerakannya, menghujaniku dengan tusukan-tusukannya.
Sampai tubuhku bergetar hebat dan ingin mengeluarkan sesuatu yang sangat banyak, "J-jim, aku akan— u-uhm."
Jimin menghisap leherku, "Bersamaan, Yena." Ujarnya serak dan sepertinya Jimin juga akan orgasme, hentakan dan gerakannya semakin cepat.
"A-ahh, Jimin s-sakit! Sungguh!"
Satu kali hentakan, dua kali, sampai hentakan ketiga yang sangat keras. Kami keluar bersamaan, menyatukan cairan kami yang berada di dalam tubuhku sampai keluar melalui celah-celah pahaku.
Aku melenguh lelah, Jimin melepaskan ikatan yang berada di tanganku dan membuka dasi itu hingga sekarang aku bisa melihat wajah tampan Jimin yang bercucuran keringat. Tapi sialnya itu hanya menambah kesan seksinya.
Kami bertatapan tanpa bicara apapun, napasku memburu bukan main. Mataku yang sayu tidak kuat lagi menatap matanya yang tajam dan keras itu. Jimin memajukan kepalanya dan mencium keningku.
Dia beranjak ke sisiku tanpa melepaskan tautan kami yang berada di bawah sana, tangannya yang berotot menarik pinggangku hingga barangnya semakin masuk ke dalamku.
"Tidurlah, jika kau mengelak aku akan kembali menyerangmu." Ujarnya tajam dengan meletakkan kepalaku di dadanya yang bidang.
Aku tidak menjawab atau menolak, karena tubuhku benar-benar lemas dan tidak mempunyai sedikit tenaga pun untuk berbicara.
Mataku mulai menutup, meskipun rasanya sangat aneh tidur dengan barang Jimin yang masih berada di dalamku, rasanya begitu penuh dan ganjal, tapi sepertinya Jimin menyukainya karena bagian bawahku yang masih berkedut dengan kencang meremas miliknya akibat permainanya yang sangat erotis tadi.
tbc,
happy maljuummm semuaaa🌚🌚🌚🌚 ayoo komennyaa dibanjirkan, ga komen ga lanjutt🌚🌚🌚
KAMU SEDANG MEMBACA
Preplexity
Fanfiction[SUDAH DITERBITKAN | TERSEDIA DI SHOPEE] Park Jimin, laki-laki yang kukenal dengan ketampanan nya dan sifatnya yang hangat. namun dia mempunyai sisi gelap yang tidak kuketahui.