Aku membuka mataku dengan perlahan, merasakan sinar matahari yang mengenai wajahku sekaligus merasakan seluruh sendi tubuhku yang sakit di seluruhan. Kepalaku menengok kebelakang dengan pelan, menatap Jimin yang tepat berada di belakangku. Tangannya yang berotot itu melilit pinggangku dengan erat, seolah tidak membiarkanku untuk pergi darinya sedikit pun.
Meskipun tubuh kami sama-sama terbalut selimut dan aku membelakanginya, tapi aku bisa merasakan punggungku yang bergesekan dengan dada dan perut atletisnya. Setalah berminggu-minggu Jimin pergi, kenapa aku merasa jika otot-ototnya semakin membesar saja?
Dengan otot-ototnya yang semakin membesar itu tentu saja ia terlihat sangat tampan dan jantan. Tapi, otot-ototnya itu juga yang akan semakin membuatku sangat lemah di bawah taklukannya. Jimin akan semakin kuat dan semakin mudah mendominasiku.
Seperti semalam, ia benar-benar menghabisiku. Sampai benar-benar habis, tidak tersisa.
Persis seperti Yuri, leherku tidak di beri celah olehnya. Tandanya berada di setiap sisi kulitku. Aku memang menginginkan hal ini, tapi tidak separah ini.
Mungkin jika aku tidak memohon pada Jimin untuk berhenti menghabisiku di kamar mandi, mungkin sampai sekarang ia tetap akan menghabisiku. Laki-laki itu tidak kenal lelah sama sekali. Dimana letak kelelahannya? Atau malah bercinta denganku adalah hal yang membuat lelahnya hilang?
Aku menghela napas panjang, tidak ada keberanian sedikit pun untuk menggerakkan tubuhnya. Bukan karena aku takut Jimin terbangun, tapi karena seluruh tubuhku pasti akan sakit dan retak begitu saja. Seperti kumpulan kaca yang rentan, begitulah tubuhku sekarang.
Aku jadi tahu apa yang di rasakan Yuri beberapa minggu terakhir ini.
"Kau sudah bangun?" suara serak dari arah belakangku seketika langsung membuat mataku membelak. Aku ingin menengokkan kembali kepalaku untuk menatapnya, tapi Jimin malah mencium lembut leherku, menahan kepalaku untuk tidak berbalik. "Kau akan kesakitan, biarkan pada posisi ini sementara."
Hatiku langsung terenyuh begitu saja, ada apa ini? kenapa tiba-tiba saja dia begitu lembut seperti ini?
"Aku akan kembali menghabisimu setelah ini, jadi biarkan dengan posisi seperti ini dulu."
Sial, seharusnya aku sadar ucapan 'sementara yang Jimin maksud. Dia tidak mungkin langsung melepaskanku begitu saja. Beruntung aku masih sangat merindukannya sekarang, jadi semoga saja aku tidak begitu kesal saat ia menghabisiku lagi setelah ini.
...
Aku membuka mataku, kali ini aku tidak lagi berada di ranjang. Tapi berada di kamar mandi, di bath up dan berada di pangkuan Jimin yang sudah menampakkan senyumnya padaku. Aku mencoba berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku.
Suaraku habis, serak dan kering menjalar pada tenggorokanku. Semua ini di karenakan aku berteriak selama seharian penuh hari ini.
Jimin tidak main dengan kata-katanya, ia benar-benar menghabisiku lagi. Ia mengajakku bermain di setiap tempat yang menjadi favoritnya, bahkan lantai dan sofa kamar menjadi andalannya untuk bermain dan mencari posisi nyamannya untuk menghabisiku.
Sekarang aku tidak berdaya, bahkan untuk berbicara saja rasanya sangat lelah dan sakit. Akhirnya aku memilih untuk kembali bersandar pada Jimin dan meletakkan kepalaku di lehernya. Air yang menenggelamkan tubuhku dan Jimin bergerak dengan tenang.
Setidaknya hal ini membuatku fresh dan mengurangi rasa sakit di tubuhku, meskipun benda kesayangannya itu masih menancap sangat dalam pada diriku dan tangan Jimin masih saja menggerayangi tubuhku dengan nakal. Tapi tidak apa, lebih baik seperti ini dari pada ia menghentakku dengan kencang seolah ingin membelah dua tubuhku.
Aku bahkan belum berbicara banyak padanya sejak pertemuan kami kembali setelah berminggu-minggu, tapi Jimin lebih dulu membuatku tidak bisa berbicara sekaligus tidak bisa berjalan dan bergerak leluasa.
Laki-laki ini benar-benar psikopat, jika ada kata yang melebihi psikopat. Mungkin Jimin bisa masuk ke dalam kata itu dan menjadi daftar nomor satu nya. Saat ini aku sangat ingin memukul dan memakinya, tapi hal itu tentu saja akan sangat mustahil melihat keadaanku yang seperti ini.
Tangan Jimin mulai mengelus punggungku, gerakannya sangat pelan dan berirama. Ia lalu memiringkan rambut panjangku yang basah, lalu kepalanya maju untuk mencium bahu mulusku.
Gerakan Jimin yang seperti itu masih saja membuatku merinding, padahal ia sudah sangat sering melakukannya. "Kang Yena...," suaranya yang serak mulai bersuara, bibirnya itu masih berada di bahuku dan sekarang mulai meniup telingaku.
Aku melenguh pelan, kepalaku semakin tenggelam pada lehernya. Mencoba memberi kode pada Jimin agar ia tidak membuat gerakan yang terlalu berlebihan. Dan sepertinya Jimin menyadari hal itu, ia langsung menarik kepalanya kembali.
Tapi tangannya belum juga berhenti untuk menggerayangi tubuhku. "Selama aku tidak ada, apa saja yang sudah kau lakukan dengan Taehyung?" ujarnya, aku bisa mendengar suaranya yang terdengar dingin sekaligus tegas.
Mataku yang semula terpejam seketika langsung terbuka begitu saja. Sial, kenapa dalam keadaan yang seperti ini Jimin harus membahas hal itu?
Tanganku perlahan mengalung pada lehernya dari depan, mengelus belakang rambutnya lalu menggeleng pelan. Memberitahunya jika aku tidak melakukan hal apapun pada Taehyung selama ini.
Lagi pula aku memang tidak melakukan hal aneh dengan Taehyung, kegiatan kita hanya bermain game dan bertengkar. Hanya itu, tidak lebih. Terkecuali dengan kata-kata randomnya yang terakhir kali ia katakan.
"Apa kau begitu senang saat aku kembali, atau kau malah senang jika aku tidak kembali?" Jimin kembali bertanya, aku tidak tahu apa motifnya bertanya hal seperti itu pada saat-saat seperti ini. Tapi aku tahu jika Jimin sangat ingin pertanyaannya di jawab dengan cepat.
Aku mengambil napas di lehernya, berusaha mengumpulkan kekuatanku untuk berbicara dan menjawab pertanyaannya. "Aku senang—" lirihku pelan lalu kembali menarik napas, sungguh, berbicara pada posisi seperti ini sangat membutuhkan tenaga yang banyak. "k-kau kembali." Lanjutku dengan sisa-sisa tenagaku.
Jimin terdiam sebentar, sepertinya dia sangat puas dengan jawabanku tadi. Dan hal itu membuatku lega karena Jimin tidak akan bertanya-tanya lagi.
Namun ternyata, Jimin memang tidak bertanya-tanya lagi yang akan membuat tenagaku habis dengan manjawab pertanyaannya. Tapi ia malah mengatakan hal yang membuatku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa terkejut sekaligus syok ku.
"Gadis pintar, kalau begitu aku akan membawakan kepala Seokjin padamu sebagai hadiah."
tbc,
KAMU SEDANG MEMBACA
Preplexity
Fanfiction[SUDAH DITERBITKAN | TERSEDIA DI SHOPEE] Park Jimin, laki-laki yang kukenal dengan ketampanan nya dan sifatnya yang hangat. namun dia mempunyai sisi gelap yang tidak kuketahui.