Aku melangkah mundur saat Jimin terus berjalan ke arahku dengan tatapan tajamnya, dia sepertinya benar-benar akan marah besar kali ini.
Tapi sekarang sepertinya aku tahu kenapa dia melarangku untuk masuk ke dalam ruangan bawah ini, ingatan-ingatan tentang apa yang Jimin katakan kembali teringat di kepalaku.
"Kau tidak akan menyangka apa yang berada di dalam pintu itu."
"Sesuatu yang akan membuatmu benci dengan kami bertiga."
Turntable itu, alunan musiknya... semua itu adalah milih Ayah. Hanya Ayah yang mempunyai turntable seperti itu di Korea. Bagaimana bisa Jimin mendapatkannya? Tidak mungkin kan jika Jimin....
Aku langsung menggelengkan kepalaku. Tidak, tidak mungkin Jimin melanggar perjanjian itu, Jimin tidak mungkin membunuh Ayah. Aku sudah menurutinya untuk menetap disini dan sebagai gantinya ia tidak akan membunuh Ayah. Ya, Jimin tidak mungkin melanggarnya.
Tapi... tapi kenapa ada turntable kesayangan Ayah disini? Ingatanku tiba-tiba kembali berputar saat hari dimana Jimin memasuki rumah dengan banyak bercak darah di tangannya. Dan juga, bukankah Taehyung hampir saja mengatakan jika ia baru saja dari ruangan bawah tanah?
"J-jimin kau—"
Saat aku kira Jimin akan menyerangku atau menerjangku, tapi tiba-tiba saja dia menarik tanganku dan membawaku ke dalam pelukannya. Aku terserentak terkejut dengan pergerakannya yang tiba-tiba, belum lagi kepalanya yang menceruak masuk ke dalam leherku.
"Aku tidak tahu jika kau akan bangun secepat itu, maaf karena meninggalkanmu sendiri di rumah saat kau bangun." Ujarnya lirih sambil dengan memperatkan pelukannya. "Aku merindukanmu Kang Yena."
Hanya karena perkataannya yang seperti ini saja aku sudah melupakan kecurigaanku padanya. Kepercayaanku pada Jimin kembali membesar, Jimin selalu menyelamatkanku dan memperhatikanku. Dia tidak mungkin melanggar perjanjiannya.
Tanganku balas mengusap rambut bagian belakangnya dengan lembut. "Terimakasih sudah menyelamatkanku." Ucapku pelan.
Kita masih dalam posisi seperti ini dalam waktu yang cukup lama sampai Jimin melepaskan pelukannya dan beralih memegang pundakku.
Tinggi kami yang terlampau cukup jauh membuatku harus benar-benar mendangak agar bisa menatap matanya yang sekarang berkaca-kaca. Aku yakin Jimin menahan tangisannya.
Jika seperti ini aku merasa seperti kehidupanku memang sudah berarti bagi Jimin, bukankah ia juga pernah mengatakannya jika aku adalah tanggung jawabnya?
Kita bertatapan cukup lama, lalu tiba-tiba Jimin mengangkat daguku dan sedetik kemudian dia menciumku dalam. Aku memang sedikit terkejut karena pergerakaannya yang tiba-tiba, tapi tanganku perlahan terangkat dan mengalung pada lehernya.
Ciuman Jimin sedikit menuntut dan agresif membuatku kewelahan bukan main, tapi aku tidak ada niat untuk mendorongnya atau memukulnya karena memang aku tahu jika dia membutuhkan ini.
Setelah puas bermain dengan bibirku, Jimin menarik kepalanya dan seketika aku langsung terkulai lemas di pelukannya. Napasku memburu, ciuman Jimin seolah-olah menyedot seluruh tenagaku.
"Aku merindukanmu...." Ujarnya sembari mendekap tubuhku di pelukannya. Tangan berotot Jimin melilit tubuhku yang semakin terasa kecil jika berada di dekapannya. "Aku tidak akan membiarkanmu tidur lagi!"
Aku terkekeh pelan dengan memukul dadanya, kukira dia tidak akan bisa membual seperti ini dengan sikapnya yang dingin itu.
Setelah ku rasa tenagaku sudah kembali terkumpul, aku melepaskan diri dari pelukannya lalu menghadapnya. "Eum, tentang ruangan ini, apa yang kau—" omonganku terhanti karena tiba-tiba saja Jimin mengecup bibirku sekilas hingga kepalaku terdorong kebelakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Preplexity
Fanfiction[SUDAH DITERBITKAN | TERSEDIA DI SHOPEE] Park Jimin, laki-laki yang kukenal dengan ketampanan nya dan sifatnya yang hangat. namun dia mempunyai sisi gelap yang tidak kuketahui.