\39\

11.7K 1.6K 352
                                    

Aku merasakan tangan Jimin menepuk pipiku dengan lembut, perlahan aku membuka mataku dengan malas dan langsung di hadiahi wajah tampannya yang berada tepat di hadapanku. Aku menggerutu pelan sambil dengan mendorong dadanya. "Aku masih mengantuk," ujarku dengan suara yang serak.

Bukannya menghindar dari hadapanku, Jimin malah menindihku dengan tubuhnya yang berat itu. "Bangun sekarang, aku ingin melihatmu." Balasnya yang bahkan aku sendiri tidak mengerti dengan maksudnya. Ia bisa melihatku sepuasnya saat aku tertidur, tapi kenapa aku harus bangun hanya untuk menuruti permintaannya yang aneh?

"Bangun, Yena. Bangun bangun bangun!" seketika aku langsung menggelengkan kepalaku karena Jimin yang menciumi seluruh bagian wajahku. Aku ingin mendorongnya dan menampar wajahnya, tapi Jimin lebih dulu mendekap tubuhku dan menahan kedua tanganku.

Aku mulai kesal dengan ini, mataku akhirnya terbuka dengan sempurna, namun Jimin malah mencium kedua mataku dengan bibirnya yang membuatku kembali menutup mataku. "Baiklah baiklah aku bangun!" seruku dengan sedikit emosi. Hal itu berhasil untuk membuat Jimin berhenti menciumku, namun seluruh tubuhku masih terkunci olehnya. "Lepaskan ini, Jimin." lanjutku dengan suara lirih yang benar-benar masih mengantuk.

"Jika ku lepaskan, kau pasti akan kembali tidur."

Aku memutar kedua bola mataku lalu menghela napas panjang. "Aku tidak akan tidur lagi, sekarang jauhkan tubuhmu dan lepaskan seluruh lilitanmu, Jim. Aku butuh bernapas!" seruku lagi-lagi yang malah menjadi emosi.

Hari baru saja di mulai dan matahari bahkan belum sepenuhnya terbit, tapi kenapa Jimin sudah membuatku emosi saja?!

Jimin tersenyum merekah, ia menciumku sekilas di bibirku lalu beranjak melepaskanku. Seketika aku langsung mengembuskan napas beratku dengan kencang karena sedari tadi Jimin terus menindih tubuhku dengan tubuhnya yang sangat berat.

Sekarang aku mencoba menyadarkan diriku terlebih dulu, aku beranjak untuk duduk dan bersandar pada punggung ranjang. Mataku terpejam sejenak, tiba-tiba saja terdengar suara air jatuh dari luar markas. Aku membuka mataku dan melihat kearah jendela, hujan deras tiba-tiba saja turun.

Aku tidak ingat jelas bulan apa ini, tapi sepertinya sudah mulai memasuki musim hujan. Ahh, seharusnya aku bisa tertidur dengan sangat nyenyak saat hujan seperti ini. Apalagi jika di balut selimut tebal dengan suara rintik hujan yang berada di luar. Benar-benar nikmat.

Tapi sayangnya aku harus berurusan dengan laki-laki gila di pagi hari ini yang sekarang sudah mulai meletakkan kepalanya di leherku dan mengangkat tubuhku pada pangkuannya dengan mudahnya.

Nyawaku belum sepenuhnya terkumpul untuk memberontak, lagi pula ini sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi untuk membuat tanda kepemilikannya di leherku. Jimin tidak akan tahan melihat leherku jika tanpa bercak merah buatannya.

Aku mendesah pelan saat Jimin menghisap dan menggigit dalam leherku. "Sakit, Jim. Pelanlah sedikit." Ujarku dengan tidak berdaya, seolah seluruh tenagaku yang baru saja ku kumpulkan tadi di sedot habis olehnya. Kepalaku mengadah dengan mata yang terpejam, merasakan sensasi yang begitu nikmat Jimin berikan.

Semakin dalam kepala Jimin masuk ke dalam leherku, semakin hebat juga bercak yang akan ia buat. Tanganku bahkan sampai meremas rambut bagian belakang Jimin, sepertinya laki-laki ini mulai terbawa suasana di pagi hari yang sangat dingin ini. Apalagi hujan deras yang berada di luar sana menambah kesan erotis sekaligus romantis di kamar ini.

Setelah Jimin puas dengan leherku, ia menarik kepalanya dengan tangan yang mendekap pinggangku agar menempel pada tubuhnya. Seketika aku langsung terkulai lemas pada pelukannya, Jimin benar-benar menyedot habis seluruh tenagaku pagi ini. Kepalaku bersandar pada pundaknya, napasku berderu bukan main.

Preplexity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang