\30\

17.7K 1.7K 323
                                    

"Itu rencana bagus, Jim! Aku ingin mencobanya!" seruku padanya tapi Jimin tetap menarikku untuk masuk ke dalam kamar. "Jimin!" ujarku memanggilnya tapi Jimin tidak juga menjawabku dan sekarang dia malah mengunci pintu kamar tanpa menatapku sama sekali.

Aku berdecak pelan dan membiarkan Jimin untuk membawaku ke sofa, mendudukkanku di pangkuannya lagi. Tangannya langsung merengkuh pinggangku posesif untuk mendekat padanya. "Siapa yang membolehkanmu untuk menuruti omongan perempuan sinting itu, hah?" sahutnya sewot dengan tatapannya yang tajam menusukku.

Aku memutar kedua bola mataku, tanganku bertumpu pada dada Jimin, berniat untuk menggodanya. "Tapi Jim...," aku menyisir rambutku ke belakang dan membasahi bibirku.

"Jangan berusaha menggodaku," dia berkata sinis. "aku bisa saja mengikatmu dan benar-benar menghabisimu sampai benar-benar habis."

Mendengar itu tidak membuatku takut, aku malah semakin semangat menggodanya dengan memasukkan tanganku ke dalam kaosnya dan menemukan perutnya yang keras itu. "Tidak kah kau berpikir rencana itu akan seru jika kita berhasil?" aku mengelus perutnya yang atletis.

Ugh, Jimin terpancing hanya dengan sentuhan ini?

Tapi, sepertinya Jimin benar-benar menahan hormonnya dan terus ingin berbicara untuk meyakinkanku. "Lalu bagaimana jika itu gagal? Kau akan mati, begitu?"

"Tidak seperti itu," aku mengecup bibirnya sekilas. "siapa tahu aku bisa menjebak Min Yoongi itu." Balasku dengan mengalungkan lenganku di lehernya.

Jimin mengambil napasnya dan membenarkan letak dudukku di pangkuannya yang membuat tubuh kami semakin tidak ada jarak sedikitpun. "Yoongi itu tidak semudah yang kau bayangkan, Yena." Kepalanya mulai menceruak masuk ke dalam leherku dan tangannya mengelus paha bagian dalamku dengan gerakan pelan. "Menurutlah padaku."

"U-uhm...," rintihku saat jari Jimin mengelus bagian intiku. Dia bahkan sudah merobek celana dalamku dan membuangnya entah kemana. Sial, aku menyesal telah menggodanya.

Tubuhku panas dingin, dan Jimin seperti menikmatinya. "Apa kau pikir aku akan membiarkanmu pergi lagi setelah Seokjin menculikmu? Hm?"

"AKH!" dia memasukkan dua jarinya sekaligus tanpa peringatan apapun. "J-Jimin! itu sakit!" seruku tak terima, aku mengerang kencang, Jimin benar-benar memainkan jarinya dengan brutal.

Bibirnya itu juga terus mengecup dan menghisap bagian bawah leherku, hingga aku yakin jika kulitku akan membiru. "Apa susahnya menurutiku saja? Kau itu sudah berada di dalam pengawasanku, Yena. Aku menjagamu sampai hampir gila rasanya, dan kau ingin membahayakan dirimu sendiri?"

"AHH!"

Jimin semakin menancapkan jarinya itu ke dalamku di setiap ucapannya. Aku bisa menggila karena ini, tanganku bahkan mencakar leher bagian belakangnya karena jarinya yang brutal itu. Masa bodo jika Jimin akan kesakitan karena cakaranku, dia bahkan lebih ganas dengan jarinya.

Jari-jarinya seperti ingin mengoyak bagian bawahku. Jimin semakin mempercepat gerakan keluar masuk jarinya, sampai aku benar-benar ingin keluar dengan begitu banyak, tiba-tiba saja Jimin melepaskan jarinya begitu saja.

Aku melenguh, rasanya seperti kosong begitu saja. Jimin memang selalu sialan seperti biasanya, ia benar-benar mempermainkanku.

Tiba-tiba saja ia berdiri, membuat kakiku otomatis melingkar pada pinggangnya. Aku bisa merasakan punggungku yang menyentuh ranjang dan Jimin beranjak ke atasku. "Sekarang tidur." Ujarnya menatapku dari atas, ia menumpu kedua tangannya di sisi kepalaku. Jimin juga belum beranjak dari atasku dan terus menatapku dengan tatapan dinginnya, rambutnya tergantung.

Aku yang masih kesal dengan Jimin karena mempermainkanku hanya memutar kedua bola mataku malas. "Tidak mau, aku tidak mau tidur." Balasku menentangnya.

Preplexity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang