\15\ : Kim Seokjin

19.6K 2K 246
                                    

Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar, masih memikirkan keadaan mereka di luar sana. Bagaimana jika Jungkook atau Taehyung terluka? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Jimin?

Meskipun Jimin mengatakan jika mereka tidak akan kenapa-kenapa, tapi tetap saja aku tidak akan berhenti khawatir jika belum melihat mereka secara langsung.

Aku berusaha menenangkan pikiranku, meskipun setelahnya aku kembali waswas. Ini sudah hampir 40 menit mereka berada di luar dan belum juga kembali. Jimin berbohong, dia bilang akan kembali dengan cepat, tapi nyatanya hari sudah mulai gelap dan belum juga ada tanda-tanda mereka kembali.

Andai saja jika kamar ini tidak kedap suara, mungkin aku sudah bisa mendengar letusan-letusan pistol atau teriakan-teriakan mereka untuk menyimpulkan apakah mereka sudah selesai atau sebaliknya.

Aku menggigit jariku bingung, ide gila untuk keluar dan melihat mereka, muncul begitu saja di pikiranku. Tapi aku sudah berjanji untuk tidak keluar pada Jimin, bagaimana jika Jimin marah padaku? Tapi berdiam diri disini dan tidak tahu keadaan di luar juga sangat menyiksaku.

Baiklah, aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Bagaimanapun resikonya nanti, yang terpenting aku harus keluar dan melihat keadaan mereka terlebih dahulu.

Perlahan kakiku mulai berjalan kearah pintu kamar, tanganku terangkat pada knop pintu. Tapi belum sempat menekannya, dari arah belakang ada benturan keras lalu di susul pecahan kaca yang sontak membuatku berjongkok dan menutup telingaku.

Mataku tertutup rapat, tidak ada keberanian untuk berdiri ataupun membuka mataku. Aku tahu sekarang posisiku berada dalam bahaya.

Sekarang aku bisa mendengar langkah kaki yang mulai mendekatiku. "Kang Yena?" itu bukan suara Jimin, Jungkook ataupun Taehyung. Itu suara laki-laki lain. Sial, jantungku sudah ingin copot rasanya. Bagaimana jika itu adalah pembunuh bayaran yang akan membunuhku?

Aku menelan ludahku saat langkah kaki itu semakin dekat, tiba-tiba saja pundakku di sentuh. Aku langsung menepisnya dan berdiri dengan cepat.

Tapi seketika kakiku lumpuh. Bukan, bukan lumpuh karena pengaruh sesuatu. Tapi karena memang tubuhku tidak bisa diajak bekerja sama. Tatapanku bertemu dengan tatapan laki-laki di depanku.

Astaga, apa aku sedang melihat idol sekarang? Dia benar-benar tampan, tidak, bukan tampan. Dia sempurna!

"Hey, kau Kang Yena kan?"

Aku langsung menggelengkan kepalaku menyadarkan, kakiku bergerak mundur hingga punggungku menyentuh pintu yang berada di belakangku. "S-siapa kau?" tanyaku parau, laki-laki tampan itu mendekat kearahku. Aku langsung melotot kearahnya. "Ja-jangan berani melangkahkan kakimu lagi!"

Dia berhenti, "Wow, kau terlihat jauh agresif dari penampilanmu." Dia menyeringai dengan bibirnya yang tebal dan merah itu. "Dan juga kau terlihat jauh lebih cantik saat dilihat langsung."

Masa bodo dengan pujiannya itu, dia pikir aku akan luluh hanya dengan kata-kata sialannya itu?

Mataku melirik kearah sisi celananya, dua pistol tergantung gagah disana. Aku menelan ludahku susah payah, dia pasti salah satu dari yang menyerang rumah ini. Lagi pula kenapa dia harus menjadi mafia sementara wajah tampannya itu bisa menjadikannya sebagai idol?

"Jimin benar-benar beruntung mendapatkanmu lebih dulu, pantas saja dia tidak ingin melepaskanmu." Astaga, aku baru saja memikirkan Jimin sekarang! "Ngomong-ngomong soal Jimin, dia hampir sekarat di bawah sana. Lebih baik kau ikut saja denganku dari pada harus mengurus tiga mayat laki-laki kebanggaanmu itu."

Tanganku terkepal, kenapa laki-laki tampan selalu banyak bicara? Begitu pun Taehyung dan laki-laki di depanku ini memang sejenis. Sama-sama tampan dan banyak bicara. Aku diam, menatapnya tajam. Aku ingin kabur, aku ingin menghampiri Jimin sekarang. Aku ingin melihat keadaannya. Laki-laki tampan ini pasti berbohong. Jimin tidak mungkin sekarat, dia handal dalam hal apapun.

"Jadi, kau ingin ikut denganku dengan cara menyerahkan diri atau harus kuculik dulu?"

Sial, sial, sial. Jimin mengunci pintu kamar dari luar, sebetulnya sedari tadi aku mencoba menggapai knop pintu saat laki-laki itu terus berbicara. Tapi saat aku menekan knopnya, tidak bisa terbuka. Jimin pasti menguncinya dari luar.

Park Jimin sialan, kau yang sekarang malah menempatkanku pada bahaya.

"Diam berarti—"
"Aku tidak akan pernah mau untuk ikut denganmu!" teriakku lantang, berusaha menyembunyikan suaraku yang bergetar.

Laki-laki itu mengambil napas sejenak. "Sudah kuduga jika kau akan seseulit ini. Baiklah, aku akan memberimu waktu untuk memilih, lima detik dari sekarang. Satu...."

Aku melihat keselilingku, berharap ada benda atau apapun yang bisa menyelamatkanku darinya.

"Dua...."

Tanganku masih berusaha untuk membuka pintu yang berada di belakangku. Meskipun mataku masih menatapnya dengan tatapan tajamku, tapi tanganku tetap bergetar di belakang sana.

"Tiga... ayolah girl, masa kau tidak mau ikut dengan laki-laki tampan sepertiku. Aku bahkan jauh lebih tampan dari Jiminmu itu."

"Tampan pantatku! Siapa yang mengatakan jika kau lebih tampan dari Jimin? Jelas sekali aku memilih menetap disini karena Jimin dan teman-temannya itu tampan." balasku di depannya, yah memang benar aku menetap disini karena itu adalah salah satu alasanku. Aku bisa melihat raut wajahnya yang merasa tersinggung. Jika hanya tampan yang dia banggakan, Taehyung juga bisa di sebut tampan. Bahkan ada tiga laki-laki tampan di sekitarku, kenapa aku harus memilih bersamanya?

"Baiklah terserah apa katamu, kau akan memakan kata-katamu sendiri. Lihat saja." Ujarnya lalu dia mengambil pistol yang berada di sisi celananya, seketika aku langsung membelakkan mataku terkejut, dan sepertinya dia menyadari keterkejutanku. "Ahh kau takut aku membunuhmu? Tenang saja, ini hanya pistol pembius, jadi kau hanya akan lumpuh dan tidak sadarkan diri selama mungkin beberapa hari."

Aku semakin memundurkan badanku dengan punggungku yang sudah menyentuh pintu. Berharap ada keajaiban yang menolongku. Dia semakin melangkahkan kakinya mendekat sambil memainkan pistol di tangannya, sekarang jarak kami hanya tinggal lima meter.

Aku menutup mataku rapat, namun tiba-tiba saja aku bisa mendengar bisikan dari luar pintu yang membuat perasaanku kembali senang. "Menjauhlah dari pintu ini. Aku akan mendobraknya dalam hitungan ke tiga." aku kembali membuka mataku, itu suara Jimin. Aku sebisa mungkin menahan senyumku, aku sudah menduganya. Jimin akan datang untuk menolongku.

Perlahan aku mulai bergeser ke sisi pintu, senyum laki-laki di depanku melebar. "Kau tetap tidak akan bisa menghindar dariku." Ujarnya yang sekarang sudah menodongkan pistolnya, jarinya sudah menekan pelatuknya dan siap melepaskan.

Kupikir aku tidak akan terkena pelurunya itu saat aku menghindar dengan cepat, tapi bersamaan dengan dobrakan pintu, pelatuknya di lepas hingga peluru kecil berbentuk suntikan tertancap tepat di lenganku.

Aku membelakkan mataku, obat bius itu sepertinya sudah mulai menyebar di seluruh tubuhku, sial kenapa cepat sekali bekerjannya? Mataku mulai berkunang-kunang, tanganku yang tidak terkena tancapan peluru bius terangkat untuk melepaskan peluru itu di lenganku dan membuangnya ke lantai.

Aku mengedipkan mataku, pusing hebat mulai masuk ke dalam kepalaku. Aku memegang kepalaku, nyeri. Rasanya benar-benar nyeri dan juga sakit. Hingga aku sudah mulai tumbang dan terduduk di lantai. Tapi sebelum kesadaranku mulai menghilang.

Aku bisa melihat Jimin memasuki kamar dan langsung menendang laki-laki itu. Setidaknya aku masih bisa melihat Jimin sebelum tidak sadarkan diri dan entah kapan aku akan terbangun.

tbc,

haloo its been a long timee huhu maafkan aku yang lupa ngasih kabar kalau aku kecelakaan di preplexity ini dan tiba2 ngilang. mungkin sebagian dari kalian gatau kalo aku hiatus beberapa hari ini karena aku baru aja kecelakaan sampai aku harus penyembuhan dulu dan bisa kembali  nulis.

dan makasih buat doa-doa kalian dan perhatian kalian ke aku selama aku hiatus ini. aku udah mandingan kok, meskipun masih ada beberapa obat dan luka yang masih harus aku minum dan disembuhin. aku bakal update lagi secepat mungkin.

a big love from me💜💜

Preplexity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang