"Maksudmu dia menjadi Dokter di rumah sakit itu?"
Jungkook mengangguk dengan cepat, "Aku berani bertaruh dengan Playstationku jika itu adalah Min Yoongi."
Jimin mengerutkan keningnya, tangannya meremas bungkusan obat yang baru saja Jungkook berikan padanya. "Kenapa dia mengalihkan profesinya menjadi dokter? Bukankah dia masih dalam pencarian polisi?" ujarnya menatap Tehyung dan Jungkook yang berada di depannya.
Taehyung bahkan masih membuka mulutnya tak percaya dengan apa yang baru saja di katakan Jungkook.
"Kurasa dia mengganti identitasnya," Jungkook mengelus dagunya berusaha berpikir. "dan bukankah polisi hanya mengetahui namanya dan tidak mengetahui wajahnya?"
Taehyung tiba-tiba saja menggebrak meja membuat mereka terlonjak. "Yoongi... Yoongi menjadi dokter? Apa dia gila? Bagaimana pasien yang di rawat olehnya?!"
Jimin dan Jungkook menatapnya tak percaya.
"Bukan masalah itu, bodoh!" seru Jimin melemparnya memakai bantal sofa. "Yang harus kita khawatirkan sekarang adalah apa yang Min Yoongi itu rencanakan, dia bisa saja menjadi dokter karena sedang merancang rencana liciknya."
Mata Jungkook melirik Yena yang masih terbaring di ranjang, kulitnya yang semula pucat sudah mulai menghangat karena obat penangkal yang baru saja ia belikan tadi. "Tapi Hyung—" Jungkook kembali menatap Jimin. "Bagaimana jika Yoongi masih mengincar Ayah Yena Noona? Dan juga bukankah Yena Noona berhak tahu? Sampai kapan kita akan merahasiakan darinya?"
Jimin diam sebentar lalu menggeleng pelan, wajahnya memancarkan raut kebimbangan. "Aku belum siap untuk itu, apalagi dengan posisi kita yang semakin terancam. Semakin banyak musuh yang bermunculan. Aku tidak ingin mengambil resiko pada Ayahnya." Jawabnya lirih.
"Tapi, kau sudah memindahkannya kan?" Sahut Taehyung penasaran. "Maksudku, Ayahnya akan aman pada tinjauan kita bukan?"
Jimin mengangguk. "Aku sudah memindahkannya, Min Yoongi ataupun Kim Seokjin sialan itu tidak akan bisa menemukannya."
"Tapi Hyung—" Jungkook kembali bersuara. "Sepertinya Kim Seokjin lebih mengincar Yena Noona dari pada Ayahnya, lihat saja tingkahnya yang sampai bisa masuk ke dalam kamar. Dia pasti terobsesi padanya."
Tangan Jimin kembali terkepal, ia jadi mengingat jika foto Yena ada pada mading incaran mereka. Dan hal itu semakin membuatnya marah bukan main. "Tapi tetap saja Seokjin itu bersengkongkol dengan Namjoon. Namjoon pasti yang mengincar Ayahnya."
Taehyung mengangguk setuju. "Jika kau sudah memindahkannya, bukankah kita harus mengeceknya di tempat itu? Aku tidak ingin mengambil resiko jika Namjoon yang lebih dulu berada di sana." Sahut Taehyung khawatir.
Jimin menyisir rambutnya ke belakang memakai tangannya. "Namjoon tidak akan mengetahui tempat itu..." pandangannya beralih pada Yena. "Tapi kau benar, kita harus kesana untuk mengecek."
••
YenaPOV
Aku berusaha untuk membuka mataku meskipun berat. Seluruh tubuhku kaku, napasku yang semula memburu perlahan menjadi teratur.
Jari-jariku mulai tergerak dan terangkat memegang kepalaku yang masih sedikit pusing.
Peluru bius itu... berapa lama aku tertidur karena pengaruh bius itu?
Setelah mencoba untuk menggerakkan seluruh tubuhku, aku beranjak duduk di sisi ranjang. Kepalaku menunduk berusaha meredakan rasa pusing yang menjalar.
Aku mengangkat kepalaku, menyapu tatapanku pada setiap sudut kamar. Kenapa sepi sekali? Kemana tiga laki-laki yang biasanya ricuh di sekitarku?
Aku beranjak berdiri, meskipun kakiku belum berfungsi dengan benar. Aku tetap berjalan dengan menyangga tubuhku pada dinding.
Saat aku sampai di ruang tengah, aku tetap tidak bisa menemukan mereka di manapun. Aku beranjak ke dapur dan mengambil air putih dan roti untuk ku makan karena memang perutku benar-benar keroncongan.
Aku duduk di meja bar dengan memakan rotiku, masih dengan menatap sekitar dan berharap mendapatkan tanda-tanda keributan mereka.
Padahal aku berharap saat aku bangun ada Jimin yang berada di sisiku, atau setidaknya mereka bertiga ada di rumah.
"Bisa-bisanya mereka meninggalkanku sendiri di rumah." Ujarku monolog sambil dengan memakan roti ke-5 ku dengan kesal.
Mereka belum juga pulang saat aku selesai mandi, membereskan ruang tengah yang berantakan dan juga memberi makan Jennifer.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam saat aku benar-benar sudah jengah untuk melakukan sesuatu. Semuanya terasa membosankan dan rumah sangat tertasa sepi.
Lihat saja jika mereka pulang, aku akan mengomeli mereka karena meninggalkanku, bagaimana bisa mereka meninggalkanku saat aku sedang pingsan? Bagaimana jika laki-laki yang hampir membawaku kemarin kembali lagi kesini saat mereka tidak ada di rumah.
"Park Jimin... kau dimana?" gumamku beranjak berdiri dari sofa ruang tengah lalu membuka pintu kaca yang mengarah pada kolam renang.
Aku menghirup udara luar yang terasa menyegarkan, aku berdiri di sisi kolam renang sambil meregangkan tubuhku. Angin malam berhembus kencang, entah kenapa tapi sepertinya angin itu seperti mengarahkanku pada pintu bercorak merah yang sempat ingin aku masuki itu.
Kakiku perlahan mengarah kesana, tanganku sudah mendorong pintu itu hingga terbuka.
Hanya tangga setapak menuju ke bawah tanah dengan lampu-lampu yang tertempel di setiap anak tangga.
Aku menelan ludahku saat mendengar alunan musik dari bawah sana, kukira itu adalah kandang singa atau buaya yang di pelihara Jungkook. Tapi kenapa ada musik jika itu adalah kandang peliharaan?
Perasaan penasaranku semakin menjadi, ditambah alunan musik itu yang terdengar sangat familiar di telingaku. Ya, aku sering mendengar musik ini sebelum Jimin menculikku. Ini adalah musik favorit Ayah yang sering ia dengarkan saat berada di ruangannya.
Seketika aku langsung menuruni tangga itu, tidak memperdulikan rasa takutku jika ada sesuatu yang menyambutku di bawah sana.
Langkah kakiku langsung terhenti saat aku bisa merasakan telapak kakiku yang mulai merasakan lantai marmer yang dingin.
Aku membulatkan mataku tak percaya, pandanganku mengitari ruangan yang sama luasnya dengan kamar Jimin yang berada di lantai dua.
Ini bukan kandang atau gudang seperti apa yang berada di pikiranku sebelumnya, ini adalah ruangan seperti studio kamar mewah. Ada single bed dengan dinding kaca, dapur dan bar, billiard, playstation dan lain-lainnya yang di luar dugaanku.
Pandanganku teralih pada sumber suara dengan alunan music yang berada di tengah-tengah ruangan. Mataku mengedip tak percaya, di atas meja terdapat turntable dengan kaset piringan hitam yang berputar di dalamnya.
Aku mendekat kearah meja itu, "I-ini... bukankah ini milik Ayah?" gumamku tak percaya mengelus benda antik yang masih mengeluarkan alunan musik itu.
"Yena!"
Aku terperanjat lalu berbalik, mataku membelak saat melihat Jimin berdiri di atas anak tangga terbawah dengan kemeja hitamnya yang lusuh itu.
Tatapannya tajam, dua pistol masih tergantung di sisi celananya.
Aku melupakan fakta jika Jimin pernah melarangku untuk ke sini, dia sepertinya akan marah besar setelah ini dan aku akan habis olehnya.
tbc,
KAMU SEDANG MEMBACA
Preplexity
Fanfiction[SUDAH DITERBITKAN | TERSEDIA DI SHOPEE] Park Jimin, laki-laki yang kukenal dengan ketampanan nya dan sifatnya yang hangat. namun dia mempunyai sisi gelap yang tidak kuketahui.