36

19.2K 1.6K 185
                                    

HALOOO selamat datang di AGRIO!

YUKKK vote dulu, sudah?

Selamat membaca, enjoooyy!!!

🎈🎈🎈

Havana duduk terdiam di kursi rodanya. Sengaja ia meminta bantuan Melinda agar dapat menghirup udara segar di taman rumah sakit ini, sendirian. Ya, Havana membutuhkan waktu sendirian untuk berpikir ulang.

Permintaan Agria mengejutkannya. Sangat. Sampai ia mati pun, ia akan menolak maksud Agria untuk mendonorkan paru-paru gadis itu pada Havana. Havana tidak ingin berutang budi, apalagi pada keluarga Agrio.

Sejauh ini saja Havana sudah merasa banyak berhutang pada keluarga lelaki itu. Penjagaan, pengawasan, serta kasih sayang yang selama ini Havana dapatkan sudah ia rasa menjadi sebuah hutang besar.

Havana tersenyum tipis menatap seorang balita yang tertawa di gendongan Ibunya. Ia menatap dengan haru.

Kenapa di saat ia sudah mendapat keluarga yang lengkap, Tuhan kembali mengujinya dengan kesehatannya?

Havana tidak mengerti kesalahan apa yang ia perbuat di masa lalu sehingga hidupnya selalu sedramatis ini. Saat Havana kekurangan sesuatu, dan ketika ia mendapatkan sesuatu itu, sesuatu yang lain malah menghilang seolah Havana memang tidak diizinkan untuk hidup dengan lengkap.

"Pasien di sini?"

Havana menoleh. Pandangannya menatap seorang remaja laki-laki yang duduk dengan selang infus, serta oksigen tertempel di hidungnya kini duduk di samping kursi rodanya. Havana menatap lelaki itu yang pucat.

Havana mengangguk. "Lo juga?"

Lelaki itu menatap Havana aneh. "Kelihatannya?"

Havana diam. Ia mengalihkan tatapannya menjadi menatap lurus ke depan. Kembali menatap seorang balita yang bermain bersama orang tuanya.

"Lo... kelihatan baik-baik aja untuk ukuran pasien,"

Havana menoleh saat mendengar suara lelaki itu. Ia mendengus.

"Lo cuma liat luarnya," balas Havana.

Lelaki itu mengangguk mengerti. Ia menjulurkan tangannya pada Havana membuat Havana menatap lelaki itu dengan bingung.

"Grava, lo?"

Havana diam. Ia menghela napasnya lalu membalas juluran tangan itu. "Havana," balasnya singkat.

Lelaki itu mengangguk. "Harus gue panggil apa? Hava? Vana? Ana? Ha-"

"Havana cukup," potong Havana yang mulai jengah karena keberisikan Grava.

Grava terkekeh lalu mengangguk. "Oke Havana, lo pasien lama?"

Havana menggeleng. Ia melirik pada Grava. Jika dilihat dari kondisi lelaki itu, berarti lelaki itu lebih lama menjadi pasien dibanding dirinya.

"Biasa aja ngeliatnya," kekeh Grava.

Grava menyenderkan tubuhnya di senderan kursi dan bersidekap. Ia menatap Havana dengan penuh minat.

"Lo pasti sembuh. Tuhan gak adil banget kalau cewek secantik lo dikasih penyakit yang gak bisa disembuhin,"

Kening Havana berkerut mendengar ucapan lebay Grava.

"Norak lo," balas Havana pelan. Namun gadis itu juga sedikit terkekeh mendengar ucapan Grava.

"Tuh, ketawa lo aja ngademin. Kalaupun gak bisa sembuh, tandanya Tuhan pingin cepet ketemu salah satu ciptaan terbaiknya,"

Tawa Havana terhenti. Ia mengerjap menatap Grava dan diam.

"Kayak gue nih,"

Havana menatap Grava yang menunjuk selang infus dan oksigennya penuh dengan senyuman. Lelaki itu terkekeh pelan.

AGRIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang