HALOOOO!! Selamat datang lagii!
Yukkk vote sebelum membaca cerita ini!
Selamat membaca, enjoooyyy!!!
🎈🎈🎈
Agrio mengusap bibir Havana yang baru saja menyelesaikan suapan terakhirnya. Ia tersenyum menatap gadis itu yang tampak bersemangat.
"Semangat banget," cibir Agrio.
Havana tertawa lalu mengangguk. "Akhirnya hari ini aku pulang!"
Agrio menghela napas. Kalau bukan karena Havana merengek ingin pulang dengan janji akan menjalani semua protokol kesehatan yang dipinta oleh dokternya, Agrio tidak akan mengizinkan gadis itu. Hanya saja Havana yang terus merengek membuat Agrio mengalah dan memilih bertanya pada orang tua gadis itu.
"Tapi jangan lupa-"
"Iya Agrio! Kamu udah ingetin itu empat kali," kesal Havana.
Agrio menghela napasnya lalu mengangguk. Ia membereskan bekas makanan Havana.
"Gri, gimana kalau kita jalan dulu sebelum kamu nganter aku pulang?"
Agrio memberhentikan aktivitasnya lalu menoleh pada Havana. Dengan tegas lelaki itu menggeleng.
"Gak. Langsung pulang,"
Havana memajukan bibirnya. "Kan aku bosen,"
Agrio menarik napasnya. "Havana, kamu belum sembuh. Jangan ngeyel ya,"
"Kayak aku bakal sembuh aja," balas Havana.
Agrio mengerut tidak suka. "Kita udah selalu ngomongin ini ya,"
Agrio membalikkan badannya. Takut kelepasan kalau berdebat dengan Havana.
"Oh ya Gri, besok kamu gak usah jenguk aku,"
Agrio hanya melirik sedikit. "Kenapa?" tanyanya sembari membuang plastik penutup makanan Havana.
"Kamu harus sekolah. Udah seminggu kamu bolos,"
Agrio mendecak lalu menggeleng. "Tapi kamu-"
"Agrio," potong Havana yang membuat Agrio menghela napasnya.
"Iya iya,"
Havana tersenyum senang. Ia memandangi punggung Agrio yang membelakanginya. Havana tersenyum miris. Ia sangat menyayangi laki-laki itu. Hanya Agrio yang dapat membuat Havana membuka hati dan menyerahkan hatinya yang keras untuk lelaki. Hanya Agrio yang dapat meruntuhkan pertahanan yang selama ini Havana buat untuk melindungi dirinya sendiri dari lelaki setelah melihat pengkhianatan Papanya.
Havana melarikan tangannya ke dadanya. Sakit itu masih sangat terasa membuat Havana meringis pelan. Havana berharap Agrio tidak mendengar ringisannya.
Sayangnya, ringisan Havana terdengar oleh Agrio. Lelaki itu langsung berbalik dan berlari menghampiri dirinya.
"Sakit? Aku panggil dokter ya?"
Havana menggeleng pelan. Air matanya sedikit turun karena menahan sakit. Agrio hanya bisa diam sembari memeluk gadis itu. Agrio merasa bodoh. Di saat seperti ini ia bahkan tidak bisa melakukan apapun untuk gadis itu selain memeluknya.
Agrio merasa menjadi lelaki yang paling lemah. Ia lemah dengan keadaan Havana yang terus seperti ini. Ia sangat tidak tega dengan keadaan gadis itu. Keadaan Havana hanya membuat Agrio merasa sakit hati dan gagal. Gagal menjadi lelaki yang dapat melindungi gadisnya itu.
"Eh? Kamu nangis?" Havana mengerutkan keningnya saat mendapati pundaknya yang kini terasa basah dan badan Agrio yang sedikit bergetar.
Havana diam lalu mengusap punggung lelaki itu. Matanya ikut berkaca-kaca namun sebisa mungkin ia tahan tangisannya itu. Havana tidak ingin Agrio terus merasa terepoti akan kehadirannya. Havana tersenyum masam. Bersamanya hanya membuat Agrio sedih dan terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGRIO
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Agrio, keturunan ke empat Surendra yang memiliki sifat yang berbeda dengan Papi, Opa, maupun pendahulu Surendra sebelumnya. Kalau dulu Opa dan Papinya adalah pemimpin geng yang brandal, kali ini Agrio ialah lelaki yang...