HALOOO selamat datang kembali!
Siapin hati yang bakal sesek baca part ini hehe...
YUKKSS vote dulu yuuu...
Selamat membaca, enjoooyyyyy!!!!
🎈🎈🎈
Agrio menangkup wajahnya frustasi di depan ruang rawat Havana. Setelah seperti orang kesetanan yang berteriak-teriak memanggil dokter saat mendapati Havana sudah jatuh tergeletak di belakangnya, Agrio langsung menemani Havana. Namun sayang, dokter melarang dirinya masuk dan pada akhirnya Havana hanya ditemani oleh Mamanya yang juga merupakan seorang dokter.
Agrio merasakan tepukan penenang di punggungnya. Maminya tak berhenti menenangkannya sedari tadi. Agrio sendiri tidak melakukan apapun selain berdoa di dalam hatinya. Bukan ini yang ia mau, bukan kehancuran Havana saat datang kesembuhan Agria.
Pintu ruang rawat Havana terbuka membuat Agrio langsung berdiri. Agrio menelan ludahnya susah payah ketika menatap Mamanya Havana yang hanya menangis dan menunduk.
"Tante," panggil Agrio pelan.
Agrio merasakan tangannya bergetar dengan sendirinya. Ia menggeleng pelan. Tak mau berspekulasi apapun.
"Gi-gimana Havana?" tanya Agrio pelan.
Mamanya Havana itu mendongak lalu mengusap air matanya. Wanita paruh baya itu tersenyum pelan.
"Duduk dulu ya," ucap wanita paruh baya itu.
Agrio menuntun Mamanya Havana untuk duduk. Setelah itu ia duduk di samping wanita paruh baya itu.
"Havana harus segera nemu pendonor Gri. Havana gak akan bisa bertahan lama dengan kondisi paru-paru seperti itu,"
Agrio terdiam. Dadanya langsung sesak. Kilas bayangan kenangan bahagia ia bersama Havana terlintas di benaknya. Agrio mengepalkan tangannya menahan sesak yang teramat sangat di dadanya.
"Soal lelaki yang donorin jantung buat kembaran kamu, dia gak bisa donorin paru-parunya ke Havana. Lelaki itu mengidap kanker paru-paru. Sudah syukur sel kankernya gak menyebar ke organ lain,"
Pertanyaan dalam otak Agrio seakan terjawab oleh jawaban Mamanya Havana. Mamanya Havana menarik napasnya.
"Tante... gak tau harus gimana. Cari pendonor untuk Havana dalam waktu dekat terasa... mustahil,"
Wanita itu mengusap air matanya. Agrio sendiri terdiam di tempatnya. "Mungkin ini karma buat Tante yang selama Havana hidup selalu Tante sia-siakan,"
Agrio menggeleng pelan. Dalam hatinya ia merutuk dirinya sendiri.
Lo pembawa sial Agrio!
Batinnya menyeruak berteriak. Agrio berdiri. Lelaki itu mengepalkan tangannya bahkan urat tangannya terlihat dan urat-urat disekitar kening serta leher nya mulai bermunculan. Tanda ia emosi.
Agrio pergi dari sana tanpa menghiraukan panggilan dari siapapun. Ia berjalan menuju salah satu pengawal yang berdiri di depan ruang rawat Havana. Ia menadahkan tangannya.
"Kunci mobil," ucap Agrio dingin.
Pengawalnya itu pucat lalu menatap Xavera yang menggeleng di belakang Agrio. Agrio menatap tajam pengawalnya itu.
"GUE BILANG KUNCI MOBIL! DENGER GAK LO?!"
Bentakkan Agrio membuat Xavera langsung menghampiri Agrio. "Sayang," panggil Ibu dari tiga anak itu.
Dengan takut pengawal itu memberikan kunci mobilnya yang langsung Agrio rampas dengan kasar. Agrio menatap Maminya.
"Agrio butuh waktu Mi,"
KAMU SEDANG MEMBACA
AGRIO
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Agrio, keturunan ke empat Surendra yang memiliki sifat yang berbeda dengan Papi, Opa, maupun pendahulu Surendra sebelumnya. Kalau dulu Opa dan Papinya adalah pemimpin geng yang brandal, kali ini Agrio ialah lelaki yang...