25. Maaf dari Amara

1K 141 9
                                    

“Ngapain lo kesini?” tanya Al sarkas.

“Biasa aja dong ngomongnya!” seru Rangga tersulut emosi namun Amara memegang lengan Rangga untuk membuat cowok itu lebih tenang.
Amara maju beberapa langkah dengan kepala menunduk. “Gue… gue dateng ke sini… pengen minta maaf,” ucapnya pelan.

“Gue nggak nyangka ya, Ra, lo bisa ngelakuin hal sepicik ini,” ucap Al yang membuat Rangga langsung maju dan mendorong tubuh Al hingga membentur dinding.

“Jaga omongan lo! Amara ke sini buat minta maaf! Nggak usah mancing emosi gue lo!!”
Amara mendekati Rangga lantas memegang tangannya. Menarik Rangga mundur. “Udah, Ngga.”

Amara menatap Al sayu. Matanya berkaca-kaca. “Al, gue dateng ke sini buat minta maaf.”

“Kenapa lo bisa ngelakuin hal ini, Ra? Kenapa lo sejahat ini?”

“Gue tau gue salah, maafin gue,” lirih Amara.

“Gue kecewa sama lo, Ra.”

Amara menunduk lesu. Air mata Amara menetes dan itu dilihat Rangga. Rangga tidak suka melihat Amara menangis. Rangga menggeram marah. Dia menarik paksa Amara mundur lantas memukul rahang Al membuat Amara dan Varsha memekik.

“Sadar nggak sih lo! Amara ngelakuin itu gara-gara lo! Lo yang udah berkali-kali nolak dia! Nyakitin dia! Amara kayak gini gara-gara lo!!” seru Rangga marah.

“Gue emang nggak suka liat lo deket sama Amara, tapi gue lebih nggak suka liat lo nyakitin Amara!” seru Rangga lagi.

“Amara dateng ke sini buat minta maaf! Tapi lo malah bersikap kayak gini seakan-akan lo manusia paling bener di sini! Sadar diri dong! Ini semua gara-gara lo!!”

Amara maju lantas memegang lengan Rangga lagi. Air matanya menetes. “Udah, Ngga.”
Rangga memundurkan langkahnya dengan mata yang masih menatap Al nyalang. Tangannya terkepal kuat.

Amara berjalan mendekati Varsha yang kini menatap langit-langit kamar.
“Sha, gue minta maaf.”

“Mending lo pergi dari sini.”

***


Amara itu keras kepala dan juga ambisius. Apa yang dia inginkan harus dia dapatkan. Seperti saat ini, meskipun Varsha menolak permintaan maafnya bahkan mengusirnya, bukan berarti Amara menyerah begitu saja. Amara tetap bertahan di depan ruang rawat Varsha. Dia duduk menunggu di sana sampai mendapatkan maaf dari Varsha.

“Mara, makan dulu, yuk! Kita ke luar dulu atau nggak ke kantin,” ajak Rangga yang dijawab gelengan oleh Amara.

“Ra, lo belum makan dari tadi siang.”

Amara menggeleng lagi. “Gue pengen dapetin maaf dari Varsha,” ucapnya pelan.

Rangga menghela napas pelan. Dia memeluk Amara lantas mengusap lembut lengannya.
“Jangan kayak gini, Ra. Varsha pasti nanti akan maafin lo. Lo harus makan. Gue nggak mau lo sakit. Kalo lo sakit, gimana lo bisa temuin Varsha lagi buat minta maaf?”

Amara terdiam beberapa saat memikirkan ucapan Rangga.

“Makan ya, gue beliin makanan ntar gue bawa ke sini.”

Amara mengangguk pelan. Rangga tersenyum lantas mengusap lembut puncak kepala Amara sebelum pergi meninggalkan gadis itu untuk membeli makanan. Setelah Rangga pergi, Amara hanya diam. Menatap lurus ke depan tanpa minat.

Di dalam ruang rawat Varsha, Al duduk menunggu Varsha yang kini telah memejamkan matanya setelah meminum obat. Tangan Al mengusap lembut rambut Varsha. Menyingkirkan untaian rambut Varsha yang menyentuh keningnya.

Tangan Al berhenti bergerak. Seketika, dia teringat Amara. Jika dipikir lagi, Al memang sumber kejadian ini. Jika saja Al tidak menolak Amara, Amara tidak akan melakukan hal senekat ini pada Varsha.

Al terdiam. Menghela napas pelan. Al cukup lama mengenal Amara. Lima tahun. Al mengerti bagaimana sikap Amara.

Dia bangkit dari tempatnya lantas berjalan keluar dari ruang rawat Varsha. Seperti dugaannya, Amara masih ada di tempat itu. Dia duduk sendirian dengan kepala nyender di dinding rumah sakit.

Al menutup pelan pintu ruangan itu lantas duduk di samping Amara membuat Amara menoleh padanya.

“Al,” panggil Amara pelan. “Al, gue minta maaf.”
Al meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Amara. “Sssttt. Nggak usah minta maaf lagi sama gue. Gue yang salah. Gue udah nyakitin lo.”

Amara menggeleng cepat membuat air mata yang sedari tadi berkumpul di pelupuk matanya menetes.

“Jangan nangis, Ra,” ucap Al.

Amara mengusap air matanya kasar.

“Gue yang salah di sini, Ra. Nggak seharusnya lo nyakitin Varsha, dia nggak tau apa-apa,” ucap Al sambil menatap Amara lekat.

Amara menggeleng pelan. “Iya gue tau gue salah makanya gue dateng ke sini. Gue bener-bener nyesel.”

Al tersenyum kecil. Dia menarik Amara ke dalam pelukannya. Amara juga dengan senang hati membalas pelukan Al. Dia tersenyum senang meskipun air matanya menetes.

Tanpa mereka sadari ada orang lain yang melihat mereka.

Rangga yang berdiri tidak jauh dari mereka dengan tangan yang membawa plastik berisi makanan untuk Amara. Tangannya terkepal kuat. Matanya menatap Al nyalang.

Rangga benci itu. Rangga benci ketika Al memeluk Amara.  Rangga benci ketika Amara tersenyum karena Al. Rangga benci ketika Amara dekat dengan Al tapi Rangga juga benci melihat Amara menangis karena jauh dari Al. Serumit itu masalah Rangga, tapi Amara justru memperumit hatinya.

Tidak hanya Rangga saja, Varsha juga melihat semua itu. Dia berdiri di ambang pintu dengan tangan yang memegang penyangga infus yang dia pakai. Air matanya mengalir melihat Al yang dengan tulus memeluk Amara.

***


Setelah Al memasuki ruang rawat Varsha lagi, Rangga segera mendekati Amara yang kini tersenyum walau masih ada bercak air mata di pipinya.

“Nih, Ra. Dimakan dulu,” ucap Rangga pelan.

Amara menerima plastik berisi makanan itu. Amara mengambil makanan yang ada di dalam plastik itu lantas memakannya lahap. Seakan lupa bahwa tadi dia sudah menolak untuk makan beberapa kali.

“Lo jadi nafsu makan gara-gara Al?” tanya Rangga yang kini duduk di sebelah Amara.

“Lo liat? Iya. Gue seneng banget Al masih perhatian sama gue.”

“Meskipun Al udah nyakitin lo berkali-kali?”
Amara mengangguk semangat. “Apapun yang udah Al lakuin ke gue, gue tetep sayang sama dia.”

Rangga hanya bisa tersenyum kecut.

***


Al berjalan pelan memasuki ruang rawat Varsha. Matanya langsung tertuju pada Varsha yang terbaring di brankar dengan mata yang terbuka. Berbeda saat Al meninggalkannya.

“Sha, kok lo bangun? Kenapa?”

Varsha hanya diam. Dia menatap langit-langit kamarnya tanpa mau menoleh pada Al. Al meneliti wajah Varsha dan menemukan bercak air mata di pipi Varsha.

“Sha, lo abis nangis? Kenapa? Apanya yang sakit? Gue panggilin dokter ya.” Al beranjak berniat memanggil dokter namun urung karena suara Varsha.

“Hati kamu buat siapa sih, Al?” tanya Varsha pelan tanpa mengalihkan pandangannya untuk Al.

Al mengerutkan kening sebentar lantas segera sadar dengan ucapan Varsha. “Lo liat gue di luar sama Amara?” tanya Al memastikan.

“Kalo kamu emang mau temenin Amara, nggak papa. Aku bisa di sini sendirian kok, aku udah biasa sendiri,” lirih Varsha.

Al meraih tangan Varsha lantas menggenggamnya. “Gue cuma temuin dia sebentar. Gue ngerasa bersalah aja sama dia.”

“Ngerasa bersalah atau membenarkan tindakan Amara?” sinis Varsha.

“Sha, Amara nggak sepenuhnya salah untuk ini. Gue yang salah. Gue penyebab Amara ngelakuin semua ini. Gue minta maaf.”

“Maksud kamu Amara nggak salah?”

“Bukan gitu. Amara tetep salah. Tapi dia juga udah nyesel, dia udah minta maaf. Maafin dia ya?” pinta Al.

Varsha menoleh pada Al dengan mata berkaca-kaca. “Apa salah kalo gue nggak bisa maafin orang yang hampir bunuh gue?”

***


Varsha membuka matanya perlahan. Mengerjapkan mata bulat itu beberapa kali menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke retina matanya. Jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari namun Varsha sudah terbangun. Matanya menoleh ke bawah mendapati Al yang tidur dengan posisi duduk. Kepalanya di letakkan di brankar dengan kedua tangan yang dijadikan bantal. Kepalanya mengarah ke arah kaki Varsha membelakangi wajah Varsha.

Tangan Varsha bergerak mengusap lembut rambut Al. Varsha tersenyum kecil sambil terus melakukan hal itu. Ada rasa bahagia saat melihat Al yang menjaganya semalam di saat semua orang bahkan kedua orang tuanya tidak peduli dengannya. Tapi, hati Varsha terasa ngilu mengingat kejadian tadi malam. Al masih perhatian pada Amara.

“Hati kamu itu buat siapa sih, Al? Kadang aku mikir kamu udah sayang sama aku karena perhatian kamu ini tapi kadang aku ngerasa kalo kamu nggak punya rasa sama aku karena kamu masih perhatian sama Amara.”

***

Hai
Udah lupa ya sama cerita ini? Apa masih nunggu?

Maaf ya aku baru bisa update sekarang
Baru sempet soalnya

Maaf ya

See u

AlvarshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang