50

680 93 17
                                    

Hampir satu jam Varsha duduk di bawah guyuran air hujan yang turun semakin deras. Varsha tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya. Varsha tidak tahu lagi harus berbuat apa. Hatinya terasa begitu sakit.

Sejak lama Varsha merindukan ibunya, tadi Varsha bisa bertemu lagi dengan ibunya tapi bukannya bahagia, Varsha justru sakit mengetahui ibunya tidak pernah mengharapkan kehadirannya. Rasanya begitu menyakitkan.

Varsha mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Varsha tidak sanggup menghadapi semua ini sendiri. Varsha butuh Al. Cuma Al.

***


Di tempat lain,  Al sedang menemani Shania melihat-lihat album foto mereka berdua. Saat sedang membantu Khanza mencari boneka pandanya yang hilang, Shania tanpa sengaja menemukan sebuah album foto. Saat melihat isi album foto itu adalah fotonya dan Al, Shania langsung mengajak Al melihat album foto itu bersama-sama sambil mengingat kembali masa lalu indah mereka.

Al menoleh ke jendela, menatap air hujan yang turun deras membasahi halaman rumahnya. Al menghela napas pelan. Al kepikiran Varsha. Varsha sedang apa? Apa dia di rumah sendirian? Apa dia kesepian? Atau takut? Al ingin sekali menemui Varsha.

Ponsel Al yang berada di atas meja berdering membuat atensi Al berpindah pada ponsel itu. Saat hendak mengambil ponselnya, Shania lebih dulu mengambil ponsel Al.

“Kak Al, Kak Al kan janji pagi ini mau nemenin Shania di rumah,” ucap Shania. Wajah Shania terlihat lesu. Terlihat jelas dia tidak suka ada yang menghubungi Al.

“Aku cuma mau angkat telepon aja, Shan. Takutnya penting. Aku nggak akan kemana-mana.”

Shania menggeleng. “Enggak. Pasti Kak Al pergi kalau terima teleponnya. Aku nggak mau kamu pergi. Sebentar aja temenin aku. Entar juga agak siangan kamu boleh pergi. Aku janji nggak akan ganggu.”

Shania mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. Wajahnya memelas membujuk Al untuk menuruti keinginannya.

Al menghela napas pelan. Melihat wajah Shania seperti itu, Al tidak sanggup untuk menolak. Jadi, Al hanya bisa mengangguk pelan membuat Shania tersenyum senang lalu memeluk Al bahagia.

“Makasih, Kak Al,” ucap Shania ceria.

Melihat Shania tersenyum bahagia seperti itu, Al tidak kuasa untuk tidak ikut tersenyum.

“Mmm hpnya aku silent aja ya, Kak, biar enggak ada lagi yang ganggu.”

“Iya.”

Shania tersenyum senang. Dia membuka ponsel Al untuk mengubah dering ponselnya menjadi silent, sebelum itu Shania melihat nomor yang baru saja menelpon Al. Varsha.
Kamu nggak bisa ganggu Al hari ini, Varsha, ucap Shania dalam hati.

***


Ponsel Varsha terjatuh. Berkali-kali Varsha mencoba menghubungi Al tapi tidak kunjung mendapat jawaban. Air mata Varsha mengalir semakin deras, tubuhnya terasa lemah. Varsha membutuhkan Al sekarang. Varsha membutuhkan seseorang untuk menemaninya saat ini, membantunya melewati semua ini.

Varsha tidak tahu lagi harus menghubungi siapa selain Al. Varsha tidak punya siapa-siapa lagi. Daddynya tidak ada di sini. Meskipun Varsha menghubunginya, Varha tidak yakin daddynya mau pulang untuk menemaninya. Jangankan untuk pulang, untuk menjawab teleponnya saja Varsha tidak yakin. Daddynya terlalu sibuk.

Di sisi lain, Rangga yang hendak pulang ke rumah setelah menemui teman-temannya menghentikan laju motornya saat melihat Varsha yang terduduk lemah di tepi jalan yang dilewatinya. Rangga turun dari motor, lalu berlari mendekati Varsha.

“Sha?”

Varsha mendongak untuk menatap Rangga. Melihat mata Varsha yang sembab, Rangga berjongkok di depan Varsha.
“Sha, lo kenapa? Lo nangis?”

Varsha tidak dapat lagi menahan kesedihannya, air matanya tumpah seketika. Rangga yang tidak tega melihat Varsha menangis langsung memeluk untuk menenangkannya.

“Sha, ada apa? Lo kenapa?” tanya Rangga. Rangga bingung melihat Varsha seperti ini. Rangga tidak tahu harus berbuat apa.

Varsha hanya menangis di bahu Rangga. Dia tidak bisa cerita dan tidak berniat untuk cerita pada Rangga. Varsha tidak terbiasa menceritakan masalahnya pada sembarang orang, Varsha tidak terlalu percaya dengan orang lain. Varsha hanya mau cerita pada Al. Hanya pada Al.

Setelah beberapa saat, Rangga mengajak Varsha untuk berteduh agar Varhsa tidak terlalu lama kehujanan. Namun, setelah berteduh pun, Varsha masih enggan membuka mulut. Dia juga masih menangis dalam diam dengan tatapan kosong.

Rangga mengacak rambutnya frustrasi. Rangga benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

“Sha, jangan kayak ginilah. Gue bingung harus ngapain sekarang. Kasih tahu gue apa yang harus gue lakuin. Gue bingung, sumpah.”

“Gue mau Al,” ucap Varsha lirih.

Dengan sigap, Rangga mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Al. Sama seperti Varsha, telepon Rangga juga tidak dijawab karena ponsel Al masih dalam mode silent. Berkali-kali Rangga mencobanya tapi nihil.

“Bangsat! Pacar lo nangis, lo malah nggak bisa dihubungi! Pacar macam apa sih lo?!” umpat Rangga kesal.

Rangga menoleh pada Varsha yang masih belum mengubah ekspresinya.

“Sha, Al nggak jawab telepon gue. Lo mau gue anter ke rumahnya Al aja?”

Varsha menggeleng pelan. “Gue mau pulang.”

“Okee. Gue anter lo pulang.”

***


Rangga menatap melas Varsha yang berdiri di depannya dengan mata sayu dan sembab. Rangga tidak tega meninggalkan Varsha di rumah, terlebih yang Rangga tahu Varsha tinggal sendirian.

“Sha, lo beneran nggak papa?” tanya Rangga khawatir.

Varsha menggeleng pelan. “Lo pulang aja, gue nggak papa. Thanks ya.” Varsha menampilkan senyuman yang dengan susah payah dia tampilkan.

“Gue balik dulu. Kalo ada apa-apa telepon gue aja.”

Varsha mengangguk.

Rangga menaiki motor, memakai helm, lalu menyalakan motornya. Rangga menoleh sekali lagi pada Varsha yang masih berdiri di sampingnya untuk mengantar Rangga pergi. Rangga menghela napas pelan. Dia benar-benar tidak tega meninggalkan Varsha tapi Rangga harus pulang. Sedari tadi Amara berkali-kali menghubungi dan memintanya untuk pulang.

Varsha tersenyum kecil untuk meyakinkan Rangga bahwa dia tidak apa-apa walau dalam hati Varsha benar-benar hancur. Varsha hanya tidak mau merepotkan Rangga lagi.

Setelah melihat senyuman Varsha, Rangga merasa lebih tenang, dia yakin Varsha tidak apa-apa dan tidak akan melakukan apapun yang merugikan dirinya sendiri. Rangga menarik gas motornya, lalu melaju meninggalkan Varsha yang hanya bisa menatap Rangga dari belakang. Air matanya kembali menetes.

Varsha menghapus air mata yang menetes di pipinya.

“Sha, lo nggak boleh cengeng, lo harus kuat. Selama ini juga lo hidup tanpa mommy, jadi enggak ada bedanya dulu sama sekarang. Lo kuat Varsha,” ucap Varsha pelan untuk menguatkan dirinya sendiri.

Apalagi yang bisa Varsha lakukan selain menguatkan dirinya sendiri? Tidak ada orang yang mau dan bisa menguatkannya saat ini.

Varsha berbalik badan, lalu berjalan pelan menuju pintu rumahnya. Saat hendak menaiki teras rumah, Varsha baru menyadari ada sebuah mobil sedan putih yang terparkir di depan rumahnya.

Varsha tersenyum senang. Ada secercah harapan dan kebahagiaan yang muncul di benak Varsha.

“Daddy.”

***

See u

AlvarshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang