36. Siapa Shania?

876 118 27
                                        

Semalaman menangis membuat Varsha tidak bisa menyetir mobil. Alhasil, hari ini dia berangkat sekolah dengan menggunakan taksi. Varsha sebenarnya ingin bolos namun itu hanya akan menambah kesedihan dan kesepiannya.

Sembari menunggu bel masuk berbunyi, Varsha duduk di anak tangga di depan kelasnya yang mengarah pada lapangan basket yang tengah digunakan untuk bermain. Di sekelilingnya, banyak juga orang yang sedang menonton pertandingan tersebut membuat suara gaduh di sekitar Varsha.

Varsha sendiri hanya duduk diam menatap lurus ke depan. Tidak ada keceriaan di wajahnya. Tempat ini ramai, tapi hati aku kosong.

“Varsha!”

Varsha menoleh ke samping menuju ke sumber suara. Seperti dugaannya, Al berdiri beberapa meter di sana. Bukannya mendekati Al seperti biasanya, Varsha justru berlari menghindar dari Al. Varsha hanya masih merasa kecewa dengan Al. Boleh, kan, jika dia menjauh sebentar untuk menenangkan hatinya?

Dengan cepat, Al menyusul Varsha. Al mencekal pergelangan tangan Varsha membuat langkah Varsha harus berhenti.  Varsha masih menghadap ke depan membelakangi Al yang masih memegang tangannya.

“Sha, gue mau jelasin semuanya,” lirih Al.

“Kenapa kemarin nggak dateng?” tanya Varsha tanpa membalikkan badan. “Empat jam, Al, aku nunggu kamu sendirian di sana.”

Varsha menggigit bibirnya. Berusaha keras agar air matanya tidak tumpah.

“Maaf. Gue… lupa. Gue kemarin harus jemput Shania di bandara.”

Jadi, Shania lebih penting daripada aku?

Ingin sekali Varsha mengucapkan kalimat itu tapi kalimat itu tertahan di tenggorokannya. Lidahnya tidak sanggup mengatakan kalimat itu dan hatinya juga tidak sanggup menerima jika jawabannya adalah iya.

Dengan pelan, Al membaikkan tubuh Varsha menjadi menghadapnya. Tidak ada senyum lebar yang Varsha tunjukkan setiap kali melihatnya. Tidak ada celotehan Varsha setiap kali berada di dekatnya. Yang ada hanya wajah murung dan terluka. Bahkan, pancaran mata Varsha juga meredup.

Al meraih kedua tangan Varsha. “Sha, maaf,” lirih Al.

“Sebegitu berartinya Shania buat kamu sampai kamu lupain aku,” lirih Varsha.

Dan Al mengangguk pelan. “Shania sangat berarti, Sha. Gue sayang sama Shania.”

Varsha mendongakkan kepalanya. Menatap ke langit berawan pagi ini. Mencegah air mata yang sudah berada di pelupuk matanya jatuh. Itu sangat menyakitkan. Dada Varsha bahkan samapi terasa sesak mmendengarnya.

“Shania itu anak dari sahabat papa selama kuliah di London. Dulu Shania tinggal di sini juga, nggak jauh dari rumah gue. Sejak kecil, gue sama Shania udah deket. Gue udah anggap Shania kayak adek gue sendiri. Dan sampai sekarang, dia tetap adek gue. Adek yang gue sayang, sama kayak Khanza sama kayak El.”

Flashback on

Suasana di rumah Kenzo begitu ramai dengan banyak hiasan di ruang tamu. Al dan El baru saja merayakan ulang tahun mereka yang keenam. Kini bocah enam tahun itu tengah membuka kado yang diterimanya di depan pintu bersama dengan Kiara, Aiden, Azzam, dan Ares yang setia membantu mereka membuka kado-kado tersebut. Mereka berteriak heboh ketika melihat kado-kado yang didapatkan Al dan El.

Sedangkan para orang tua mereka tengah berbincang-bincang di sofa.

Raut wajah Al berubah sendu setelah membuka seluruh hadiah yang dia dapatkan. Tidak ada kado yang diinginkannya.

Al beranjak dari tempatnya menemui Kinzy. Sedangkan El sudah mulai bermain menggunakan mainan barunya bersama Kiara, Aiden, Azzam, dan Ares.

“Bunda,” panggil Al yang membuat Kinzy menoleh.

“Kenapa, Sayang? Udah dibuka semua kadonya? Gimana Al seneng?”

Dengan raut wajah lesu, Al menggeleng pelan. “Al nggak mau kado itu, Bunda,” lapor Al.

“Al maunya apa, ntar Papa beliin,” ucap Kenzo.

Al tersenyum senang sedangkan Kenzo mengambil minuman di meja lantas menenggaknya. Terlalu lama mengobrol membuat tenggorokannya kering.

“Al mau punya adek!” teriak Al girang.

UhukUhukUhuk

Jika Kenzo tersedak, semua orang dewasa yang ada di tempat itu tersenyum geli. Al sendiri masih menatap Kenzo penuh harap.

Kinzy mengusap tengkuknya yang tidak gatal lantas tersenyum lembut pada Al. Dia menarik Al lembut lantas membawa Al ke pangkuannya.

“Al, kadonya yang lain aja ya,” bujuk Kinzy lembut.Tangannya bergerak mengusap lembut rambut Al.

Al menggeleng kuat. Raut wajahnya kembali berubah sendu. “Al maunya punya adek.”

“Al kan udah punya adek, itu El. Dia kan adeknya Al,” ucap Kenzo.

Al menggeleng kuat. “Al maunya punya adek perempuan!”

“ENGGAAAKKKKKK!” teriak El dari tempatnya bermain. El berdiri dengan tangan yang berada di pinggang. Menatap sengit Al yang seeenak jidat meminta adik perempuan.

“El nggak mau punya adek pelempuan! Libet! Cengeng! Nyusahin! Kayak Kia!!”

AlvarshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang