Bagian 45

417 53 10
                                    

SEHABIS makan bakso, aku dan Samudra membaringkan tubuh kami diatas kasur. No, jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu. Kami benar-benar hanya berbaring sambil berpandangan.

"Kok kamu senyum-senyum sendiri?" tanyaku ketika melihat sebuah senyum muncul diwajahnya yang lonjong.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Samudra justru tersenyum lebih lebar. Dia menyentuh dan mengelus pipiku kemudian mencubitnya pelan. Sebuah memori melintas dibenakku seperti sebuah film yang diputar. Memori dimana aku dan Samudra berpapasan di koridor sekolah dan dia akan memanggil namaku seperti bocah kelas 5 SD mengajak temannya bermain lalu mencubit kedua pipiku.

"Dulu kamu sering cubit pipi aku." kataku diikuti senyum yang tidak bisa kutahan lagi.

"Iya," kata Samudra. "Siapa coba yang berani kaya gitu ke kamu di sekolah? Aku doang kan."

"Iya lah, soalnya pada nggak berani.. udah kamu ancem."

"Aku nggak ancem mereka, cinta." kata Samudra. "Aku cuma bilang jangan ada yang menyakiti kamu."

Mendengar Samudra memanggilku dengan sebutan 'cinta', aku tidak tahan untuk tidak memeluknya. Kuraih lengan Samudra dan kubentangkan agar aku bisa menyelinap dan membaringkan kepalaku di dadanya.

Itu adalah kali pertama aku berbaring bersama laki-laki yang bukan keluargaku. And surprisingly, laki-laki itu adalah Samudra Biru Darmawan—orang yang dulu sangat kutakuti karena kesangarannya yang terlihat dari luar.

Aku tidak pernah membayangkan akan berada didekapan Samudra, tapi itulah yang terjadi. Samudra mendekapku dan menjadikan aku merasa nyaman, rasanya aku tidak perlu takut lagi akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan muncul dihidupku karena aku yakin dekapan Samudra akan selalu ada untuk menenangkanku.

"Dulu kamu sering ngajak aku foto studio bareng, kamu pake seragam dan aku pake kebaya." kataku setelah melihat foto keluarga Samudra yang terdiri dari Papanya yang mengenakan seragam, Mamanya yang mengenakan kebaya serta Samudra dan adik laki-lakinya mengenakan baju batik.

Dulu ketika Samudra masih berpacaran dengan Mawar II dan Mawar III, dia sering mengajakku foto studio. Samudra menyuruhku memakai kebaya sedangkan dia memakai seragam yang biasa dia kenakan untuk pergi ke kampus.

"Iya tapi kamu nggak pernah mau."

Aku mendongak dan melihat rahangnya yang keras. "Ya nggak mau lah, kamu pacarnya siapa tapi yang diajak foto siapa."

"Biarin, orang aku maunya foto sama kamu."

Aku memutar bola mata karena dia seperti tidak punya pikiran. "Emang buat apasih?"

"Buat aku pajang kayak gitu." jawab Samudra sambil menunjuk foto keluarganya di dinding yang barusan kulihat.

"Kenapa nggak ajak pacar kamu aja waktu itu?"

"Aku nggak mau, maunya kamu."

"Kenapa?"

"Gapapa. Aku maunya sama kamu aja." katanya. "Nanti pas aku wisuda kamu dateng, ya."

Aku mengangguk.

"Aku pengen kamu yang dateng, dulu aku sering minta pacar-pacarku dateng kalau nanti aku wisuda, tapi sebenernya aku mau kamu. Aku mau kamu yang ada disamping aku."

Aku mengerutkan dahi. "Kenapa gitu?"

"Ya aku maunya kamu." jawabnya. "Tapi kamu nggak peka."

"Kamu juga kan nggak jelas, hubungin aku kalau mau curhat doang. Selebihnya nggak pernah."

"Abis kamu nggak peka," kata Samudra membela diri.

"Kamu nggak jelas."

"Iya iya aku nggak jelas, maaf."

Tanpa alasan yang berarti, aku mengeratkan pelukanku di perut Samudra. Dia juga mulai mengusap bahuku pelan. Ah, Samudra.. apa kamu ingat masa-masa itu? Karena aku akan selalu mengingatnya bahkan setelah aku jadi abu nanti.

Berada didalam posisi seperti itu membuatku mengantuk. Kulirik jam dipergelangan tangaku, tidak terasa sudah hampir jam 10 malam. Waktu berjalan begitu cepat saat kau sedang merasa senang, dan sebaliknya waktu akan terasa lambat saat kau sedang sedih.

"Pulang yuk.. aku udah ngantuk."

"Bobo dulu aja disini," kata Samudra sambil mengeratkan pelukannya lalu mengusap-usap kepalaku pelan. "Nanti aku bangunin."

"Enggak ah.. aku mau pulang aja. Anterin aku ya?" aku mencoba lepas dari dekapan Samudra namun sulit.

"Iya nanti aku anterin.. sebentar lagi ya?"

Akhirnya aku mengalah dan kembali memeluknya.

"Nanti kamu pulang pake jaket ya, takut dingin." perintah Samudra mengingat hari itu aku hanya mengenakan kaus dengan outer kemeja yang sudah kulepas sejak aku duduk di balkon tadi sore.

"Aku nggak bawa jaket."

"Pake punya aku."

"Boleh?"

"Boleh sayang."

Sekarang Samudra tidak hanya mengusap kepalaku tapi juga pipiku. Aku memejamkan mata karena sentuhan lembutnya tapi tetap berusaha untuk tidak terlelap.

Beberapa saat kemudian aku bangun dan mengajak Samudra untuk mengantarku pulang karena mataku benar-benar sudah harus terpejam. Samudra melangkah menuju lemari dan mengambil beberapa helai jaket dan menawarkannya padaku.

"Kamu pilih aja mau pake yang mana."

"Yang ini," aku meraih sebuah sweater berwarna hitam milik Samudra yang kuingat sering dia pakai ketika SMA dulu. "Boleh?"

Samudra mengangguk. "Kamu lupa? Apa yang punyaku juga punya kamu."

Aku tersenyum lalu memakai jaketnya yang sudah pasti kebesaran ditubuhku. Samudra membantu aku melipat bagian bawah lengan agar tanganku tidak tenggelam.

Ketika kami turun kebawah, Ibu sedang menonton TV. Dia bertanya padaku mau kemana aku, kujawab aku mau pulang kerumah.

"Alaska pulang ke kosan?" tanya Ibu.

"Enggak Bu, ke Depok." jawabku sambil mencium tangan Ibu untuk pamit.

"Oh yaudah hati-hati ya," kata Ibu. "Kalau Samudra ngebut bilangin Ibu."

Aku tertawa. "Iya, Bu."

Samudra kembali dari kamar mandi lalu pamit pada Ibu karena ingin mengantarku pulang.

"Iya hati-hati jangan ngebut, bawa anak orang tuh."

"Ngebut aja ah.. biar seru!"

"Heh!" Ibu melotot. "Udah sana berangkat, udah malem. Nggak enak sama Mamahnya Alaska."

Setelah pamit sekali lagi pada Ibu, kami berdua melangkah keluar. Samudra langsung menyalakan motor dan mengeluarkannya dari halaman rumah sementara aku memakai kaus kaki serta sepatu lalu menyusul Samudra.

Samudra menawarkan untuk menyimpan tasku didalam box motor agar tidak ribet dan aku mengiyakan. Setelah menutup lagi pintu pagar rumahnya, dan setelah aku duduk manis di belakang Samudra, dia mulai menjalankan motornya.

Tadinya kupikir dia akan langsung membawaku pulang tetapi aku salah. Dia membawaku ke suatu tempat. Tempat yang sangat indah. Tempat yang sampai detik ini menjadi tempat favorit bagiku. Nanti kuceritakan lagi.[]

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang