Bagian 2

3.2K 273 5
                                    

SAAT beberapa teman sekelasku berkumpul di tengah dan berbincang ketika ada jam kosong, aku lebih memilih membaca novel yang kubawa. Memang aku ikut berkumpul diantara mereka, namun aku tidak ikut bicara. Mataku fokus ke buku yang ada di hadapanku.

"Al," teman sekelasku Wandi menghampiriku. "Ada yang minta nomer whatsapp lo tuh."

Aku melipat novelku. "Siapa?"

"Anak kelas sebelah."

Kelas sebelah kan kelas 12, yang mana merupakan kelas Samudra.

"Siapa? Suruh minta langsung aja."

"Nggak mau orangnya. Takut. Boleh nggak gue kasih?"

Sudah pasti bukan Samudra. Dari tampilannya yang urakan serta gaya jalannya yang sembrono, dia jelas bukan tipe laki-laki yang tidak berani meminta nomer whatsapp seorang perempuan.

"Jangan ah," jawabku. "Suruh minta sendiri aja."

Wandi mengangguk dan kembali melangkah keluar kelas. Karena bosan mendengarkan teman-temanku yang mulai bercerita tentang kejadian mistis yang pernah mereka alami, aku beranjak keluar kelas. Tadinya aku mau meneruskan membaca sambil duduk di depan kelas, tapi tiba-tiba aku haus. Air minum yang kubawa dibotol juga sudah habis. Maka kulangkahkan kakiku ke kantin.

Untuk mencapai kantin, aku harus melewati kelas 12 IPS dulu. Mau tahu apa yang terjadi ketika aku lewat? Dari dalam kelas, beberapa laki-laki meneriaki namaku. Aku kaget. Ada apa ini?

"Alaska!"

"Alaska!"

"Al, ada yang mau kenalan nih katanya."

Aku tidak menoleh sedikitpun. Aku takut. Dengan cepat, aku melangkah kedepan. Tidak mungkin kan aku kembali lagi ke kelas. Itu hanya membuatku terlihat ketakutan.

"Al.." Wandi keluar dari pintu kelas 12 IPS dan menghampiriku. Lalu dia menunjuk seorang laki-laki yang tengah berdiri di depan pintu sambil mengobrol dengan temannya. "Itu yang mau kenalan. Nitip salam katanya."

Bukan Samudra. Entah siapa. Pakaiannya tidak melanggar peraturan. Namun aku tidak dapat melihat wajahnya, buram. Maklum, mataku minus dua.

"Yaudah, salam balik."

"Alaskaaa!" salah satu laki-laki yang ada di depan kelas 12 IPS memanggilku. "Fikar nih.. mau kenalan katanya."

Aku hanya tersenyum menanggapi mereka. Laki-laki yang tadi ditunjuk Wandipun sepeetinya juga tersenyum. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mereka tetap meneriaki namanya sambil tertawa.

Untungnya Safenly dan Hana segera datang untuk menyelamatkanku. Dia langsung menarikku seraya berkata pada Wandi dan beberapa murid kelas 12 IPS untuk tidak lagi menggangguku.

"Lo tuh ya," Safenly menatapku geram. "Kebiasaan banget sih keluar kelas nggak bilang-bilang. Digodain kan jadinya."

"Gue cuma mau beli minum, Saf."

Safenly geleng-geleng kepala. Sahabatku yang satu itu memang sangat protektif padaku. Takut aku di apa-apakan oleh laki-laki berengsek, katanya.

"Alaskaaa."

Di sekolah ini siapa lagi yang menyapaku seperti anak kelas 5 SD sedang mengajak temannya bermain? Hanya Samudra.. Dia menghalangi langkahku.

"Iya?"

Untuk kesekian kalinya, Samudra mencubit kedua pipiku sambil tersenyum riang. Aku hanya bisa diam. Tidak bisa berbuat apa-apa.

"Apaansih Samudra!" Safenly membentaknya. Dia dan Samudera sering nongkrong bersama di samping sekolah, makanya mereka saling mengenal.

"Apaansih Fen," sahut Samudra dengan wajah songongnya. "Cewek gue nih."

Safenly memukul bahu Samudera dengan LKS yang dia genggam. "Ngimpi! Awas lo kalo macem-macem sama temen gue, gue gibeng."

Safenly menarik lenganku dan menyuruhku jangan menoleh. Siapa juga yang mau menoleh? Aku takut. Pertama, dia mencubit kedua pipiku tanpa rasa bersalah. Kedua, dia berkata bahwa aku ini ceweknya. Huh. Dasar cowok aneh! Aku harus menghindarinya sebisa mungkin. Harus![]

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang