Bagian 17

1.2K 151 15
                                    

"HEY, Alaska." kalimat pertama Athala ketika melihatku muncul dari balik tembok dan duduk di hadapannya. Aku hanya balas sedikit senyum.

"Apa kabar, Al?"

"Baik."

"Aku bawain brownis kesukaan kamu," Athala menyerahkan satu paper bag berukuran sedang kearahku. "Dimakan ya Al."

"Nggak perlu, kamu bawa pulang lagi aja. Buat Mama kamu aja." ujarku tanpa menatap matanya.

Athala menarik napas. "Mama udah kubeliin kok Al. Yaudah kalo kamu nggak mau makan, buat Ibu sama Bapak aja."

Aku diam, tidak merespon apa-apa. Menoleh padanya saja tidak. Aku sudah kelewat kesal. Mau apa dia masih berani kerumahku? Bukankah dia yang bilang pada Maylisa bahwa dia tidak akan kembali ke dalam kehidupanku lagi untuk selamanya?

"Al, boleh aku minta nomer whatsappmu?"

Untuk apa? Bukankah dia yang pertama memblokir seluruh akses percakapan online seperti whatsapp, line, bahkan akun instagramku juga diblokir olehnya. Seakan dia betul-betul 'membuangku'.

"Engga," jawabku datar. "Aku nggak pernah ada niatan mau jadikan kamu musuh, aku mau kita tetep temenan. Tapi kamu sebaliknya, kamu malah block semua media sosial aku. Sekarang kamu mau minta nomerku lagi? Maaf, jawabanku engga."

Athala diam lalu dengan suara parau dia berkata. "Iya maafin aku, Alaska."

"Mending kamu pulang. Aku capek mau tidur, besok ada kegiatan di sekolah."

Sebut aku kasar atau tidak sopan. Aku tidak peduli, aku tidak mau lama-lama berhadapan dengannya. Aku masih tidak terima diperlakukan seenaknya dengan Athala. Dia berjanji untuk selalu menyayangiku, selalu menjagaku, tapi nyatanya?

Jujur saja perasaanku padanya saat itu belum terlalu dalam, tapi aku tetap kesal diperlakukan seperti itu. Kalau tahu dia hanya akan mempermainkanku, untuk apa aku membuang-buang waktu untuknya? Malam itu dia pulang dengan wajah kecewa. Biarlah! Aku juga sudah cukup banyak kecewa dengannya.

Aku kembali ke kamar, mengunci pintu dan mematikan lampu. Kututupi kepalaku dengan bantal, moodku hancur berantakan. Tak lama handphoneku bergetar, ada telfon masuk dari Samudra. Mungkin dia heran mengapa aku tidak menelfonnya lagi.

"Halo.. halo? Al?"

"Iya."

"Oh, masih hidup."

"Masihlah." sahutku ketus karena masih terbawa emosi Athala.

Jeda beberapa detik sebelum Samudra melanjutkan. "Kamu lagi apa Al? Nggak tidur?"

"Nggak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Nggak ngantuk."

"Samudra juga nggak bisa tidur."

"Kenapa gitu?"

"Pusing. Lagi berantem sama cewek Samudra."

Aku tau Samudra.. aku tau.. kamu telfon aku kalau sedang ada masalah dengan pacarmu saja, kan? Ya kan, Samudra?

"Oh, kenapa?"

"Nggak tau, dia marah-marah terus. Pusing Samudra, apa yang Samudra lakuin dimata dia selalu salah."

Aku menarik napas panjang. "Yaudah sih namanya juga cewek. Nanti juga baikan lagi, kaya biasa."

"Hm.. iya sih. Tapi Samudra pusing aja gitu selalu disalahin. Padahal Samudra sayang banget sama dia."

"Yaudah sih nanti juga baikan lagi."

"Iya..." sahut Samudra. "Eh Al, besok sibuk nggak? Jalan yuk?"

Here we go again. Rumusnya selalu sama. Samudra menelfonku tiba-tiba, curhat tentang masalah hidupnya yang kebanyakan tentang percintaan, diakhiri dengan mengajakku jalan.

"Nggak bisa. Sibuk."

"Yah sibuk kenapa, Al?"

"Acara keluarga."

Samudra menghembuskan napas. "Hm yaudah deh Al."

"Udah ya, aku mau tidur. Capek."

"Yah kamu udah ngantuk ya Al? Padahal masih mau ngobrol, kangen."

Aku diam, aku takut kalau aku buka suara sedikit saja, air mataku akan keluar. Aku kesal. Ditambah lagi dengan Samudra yang menceritakan masalahnya padaku tanpa sekalipun bertanya tentang masalah apa yang sedang aku hadapi.

"Iya."

"Yaudah deh, selamat tidur Alaska. Mimpi indah ya.. eh jangan mimpi indah deh, mimpiin aku aja. Oke Al? Selamat tidur. Dah."

Bersamaan dengan telfon dimatikan olehnya, air mataku turun. You never asked me how my life is going, or what's on my mind, Samudra. Instead, you keep telling me yours. And at some point, it feels unfair.[]

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang