PADA saat itu bukan hanya Samudra yang mendekatiku, tapi ada Fikar. Teman sekelas Samudra yang meminta nomer whatsappku lewat Wandi. Fikar intens menghubungiku lewat whatsapp, dia bertanya sedang apa diriku, apakah aku sudah makan, menyuruhku untuk tidak begadang, dan banyak lagi.
Beda dengan Samudra, Fikar tidak pernah menyapaku langsung ketika berhadapan di sekolah. Malu, katanya. Padahal kalau dia menyapaku, aku akan meresponnya dengan senyum ramah sebagaimana aku merespon Samudra ketika dia menyapaku. Mereka berdua sangat berbeda, memang. Dan kalau boleh aku membandingkan dua laki-laki itu, kira-kira akan seperti ini:
Samudra. Hobi berkelahi, mabuk, terkesan tidak takut pada siapapun. Selalu kabur dijam istirahat pertama, membantah guru, tidur saat KBM, kasar ketika bicara kesemua orang di sekolah—kecuali aku. Intinya pada saat itu aku hanya memandang keburukan Samudra. Dan sungguh, kini aku menyesal.
Fikar. Anggota tim basket di sekolahku. Tidak ada catatan berkelahi, mabuk, atau bolos sekolah. Penampilannya tidak pernah melanggar aturan. Perkataannya padaku selalu lembut ketika ditelfon. Entah kalau bertemu langsung.
Tapi tidak ada niatanku untuk menjadikan salah satu dari mereka sebagai pacarku. Aku masih kelas 2 SMA. Mencari pasangan yang tepat bukan prioritasku saat itu. Aku masih mau memperbanyak kenangan bersama teman-temanku. Jadi aku tidak terlalu ambil pusing terhadap dua pilihan itu.
Beberapa hari setelah menjemputku di depan gang, Samudra masih intens menghubungiku. Dia juga sempat menanyakan apakah aku sudah punya pacar, kujawab belum karena Ibutidak mengizinkan. Sebenarnya Ibuku bukan tipe ibu-ibu super protective yang melarang anaknya berpacaran, aku berkata seperti itu agar mereka tidak banyak tanya mengapa aku belum punya pacar.
Suatu hari pada jam istirahat pertama, aku sedang duduk bersandar di dalam kelas, tiba-tiba Riko memanggilku. Dia berkata Samudra ingin bertemu denganku. Hatiku berdegub kencang. Ada apa? Safenly, Hana, dan Dyas sedang fokus mengobrol dengan beberapa teman sekelasku, mereka tidak sadar aku diam-diam pergi keluar kelas.
"Samudra.." aku menghampiri Samudra yang tengah duduk sambil memainkan handphone di tangannya. "Kenapa?"
Samudra mendongak lalu tersenyum. "Alaska udah makan?"
"Udah kok."
"Makan apa? Baru mau ngajak."
"Aku udah makan kok, makan bakso."
Samudra tersenyum sebelum melanjutkan. "Alaska lagi deket sama Fikar ya?"
Aku membulatkan mata. "Hm? Engga kok."
"Samudra liat kok chat-an kalian berdua," katanya. "Gapapa kok kalo Alaska lagi deket sama Fikar. Samudra yang mundur."
"Engga kok, lagian aku kan udah pernah bilang nggak boleh pacaran sama Ibu." bantahku.
Entah mengapa saat itu aku ingin sekali meyakinkan Samudra bahwa aku tidak ada apa-apa dengan Fikar. Aku hanya menganggap Fikar teman, sama seperti aku menganggap dirinya.
"Tapi kalo Samudra liat, Alaska akrab banget sama Fikar. Beda sama Samudra. Samudra liat kok." katanya dengan wajah sedikit kecewa. "Gapapa kok Samudra yang mundur."
Jujur saat itu aku menahan tawa. Apa katanya? Ingin mundur? Aku saja tidak mau memilih diantara mereka berdua. Aku menganggap mereka sama. Teman.
"Iya tapi aku nggak ada apa-apa kok sama dia," jelasku. "Aku anggap kalian sama, sebagai temen aku."
Samudra tersenyum lalu mencubit kedua pipiku. "Iya. Udah sana masuk kelas, belajar yang bener ya."
Aku mengangguk dan mengikuti kata Samudra masuk ke dalam kelas. Terhitung sejak saat itu, Samudra jarang menghubungiku. Dia hanya mengirimku pesan untuk bertanya apakah sudah pulang sekolah atau belum, selebihnya tidak ada. Pun Fikar, intensitasnya menghubungiku berkurang. Biarlah, aku tidak mau ambil pusing. Aku juga tidak keberatan bila mereka tidak menghubungiku lagi. Life goes on with or without them.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Kelas
Teen FictionAku tidak pandai menulis namun malam ini aku akan mencobanya dengan sebaik mungkin. Karena aku akan menulis ceritaku bersama Samudra Biru Darmawan, laki-laki aneh yang secara tiba-tiba muncul dan mengubah hidupku seratus delapan puluh derajat. Ini a...