Bagian 14

1.3K 160 25
                                    

WAKTU berjalan sangat cepat, tiba-tiba UAS di depan mata. Semester depan aku sudah menghadapi Ujian Sekolah, Ujian Praktek, dan Ujian Nasional. Sejak masuk kelas 12, pihak sekolahku sudah mewajibkan kami semua untuk ikut bimbingan belajar sepulang sekolah. Jadi akhir-akhir itu aku lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah.

"Al, ikut SNMPTN yuk bareng gue. Lo kan selalu masuk lima besar nih, pasti lo tembus." ajak Dyas saat kami sedang mengikuti bimbel Matematika siang itu.

"Nggak deh," aku mendongak. "Kayanya gue nggak akan lolos. Lagipula gue mau cari kerja dulu, Yas. Cari uang yang banyak, gue nggak mau ngerepotin keluarga gue lagi Yas."

"Iya sih..." kata Dyas. "Tapi kan kalo lo ada kemauan, rezeki pasti ngikutin kok. Lo bisa daftar beasiswa atau bidikmisi. Gue tau lo sebenernya pengen kan, Al?"

Kalau ditanya ingin atau tidak sudah pasti jawabanku ingin. Sangat ingin. Siapa juga yang tidak mau meneruskan pendidikannya sampai Perguruan Tinggi? Kukira itu adalah impian semua anak didunia ini.

"Iya sih gue tau. Nanti deh gue omongin dulu ke Ibu sama Bapak gue."

Obrolan aku dan Dyas berhenti karena Pak Arief menegur kami. Pukul 5 sore aku sampai di rumah. Ibu tidak ada, entah kemana. Maylisa juga belum pulang dari tempat kerjanya. Aku masuk ke kamar dan merebahkan diriku di atas kasur.

Lelah tubuhku seketika hilang setelah menyentuh kasur dan melihat keseliling kamarku. Ah.. aku jadi rindu kamarku di rumah itu, rumah yang kutinggali sejak dari bayi. Kuhabiskan sore itu dengan bersantai ria sembari membuka instagram. Satu pesan masuk lewat DM, dari Samudra. Dia memanggil namaku, dan bertanya sedang berada dimana aku saat itu.

Aku membalasnya dan kami saling bertukar pesan lewat DM, kemudian Samudra meminta nomer whatsappku. Seperti biasa, dia langsung menelfonku. Nomernya beda dengan yang terakhir kali dia gunakan untuk menelfonku.

"Alaskaaa.."

Samudra menyapaku seperti dia menyapaku saat masih sekolah dulu. Seperti anak kelas 5 SD memanggil teman sebayanya main.

"Iyaaa?"

"Kamu apa kabar, Al?"

"Gini-gini aja," jawabku. "Kamu?"

"Sama aku juga."

"Kamu gimana? Kuliah?"

"Engga, Al."

"Kerja?"

"Engga juga Al," Samudra tertawa. "Aku nganggur aja nih."

"Oooh gitu."

"Iya. Aku mau kuliahnya tahun depan aja, bareng kamu."

Aku mengernyit. "Kok gitu?"

"Iya barengan. Dan kalo bisa nanti kita satu kampus aja Al, supaya deket lagi kaya dulu."

Aku diam. Memilih kampus mana yang kuingin saja tidak berani.

"Al?" panggilnya. "Kok diem?"

"Hm? Gapapa kok."

"Al, besok main yuk?"

"Nggak bisa. Besok kan sekolah."

"Maksudnya pulang sekolah, Alaskaaaaaa.."

"Oh, nggak ah." lalu aku terpikirkan tentang pacarnya itu. "Nanti pacar kamu marah."

"Gapapa, aku lagi marahan sama dia Al. Dia juga nggak akan tau kalo kita jalan."

Wow. Aku tertegun saat itu. Jadi Samudra hanya akan menghubungiku ketika dia sedang bertengkar dengan pacarnya? Benar begitu, Samudra? Kamu hanya akan menghubungiku kalau kamu punya masalah dengan pacarmu?

"Nggak. Makasih." tolakku ketus terbawa emosi.

"Yah, yaudah deh. Kamu baik-baik ya Al, sekolah yang bener. Dikit lagi UN."

"Iya. Makasih."

"Udah ya Al, aku matiin telfonnya. Mamaku manggil nih."

"Iya."

"Oke. Bye."

Telfon dimatikan. Besoknya Samudra mengirim chat lewat whatsapp, menyemangatiku sekolah. Kubalas dengan mengucapkan terimakasih. Dua hari setelahnya Samudra memposting sebuah foto bersama pacarnya dengan caption romantis. Sudah baikan sepertinya. Dan kalian pasti sudah bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya.[]

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang