Bagian 41

1.2K 108 23
                                    

KETIKA bangun tidur dan memeriksa handphoneku, sudah ada banyak pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari Samudra. Dia berkata bahwa dia sudah siap untuk menjemputku dan memintaku segera mengirimkan lokasiku padanya lewat whatsapp mengingat dia tidak tahu dimana kostku berada. Saat ingin menulis balasan untuknya, Samudra menelfonku.

"Hallo? Hallo? Alaska?"

"Iya." sahutku dengan suara parau.

"Baru bangun?"

"Hm."

"Kebo banget sihhhh.." gerutunya. "Shareloc, aku otw sekarang."

Kumatikan telefonnya setelah berkata iya lalu kukirim lokasiku padanya. Samudra membalas: Oke otw sekarang. Dia juga menyuruhku besiap-siap dan aku menurutinya, tapi sebelum itu aku menelfon Ibu terlebih dahulu dan bercerita bahwa Samudra akan menjemputku pagi ini. Ibu tidak masalah tentu saja, dia hanya berpesan padaku agar berhati-hati.

Samudra kembali menelfonku dan berkata bahwa dia sudah sampai di depan gang kostku sementara aku belum seratus persen siap. Aku menyuruhnya untuk menunggu sebentar disitu dan dia setuju. Entah mengapa pagi itu hatiku berdegup tak karuan, aku sedikit nervous.

"Hey!" kucolek bahu Samudra yang tengah duduk memunggungiku sambil merokok di atas motor. Dia menoleh padaku dan tersenyum, membuat aku juga tersenyum padanya.

"Ayo naik. Aku anter kamu sampe tempat kerja ya.."

"Nggak usah ah, sampe stasiun aja."

"Kok gitu? Sampe tempat kerja aja."

"Enggak. Sampe stasiun aja, aku udah janjian sama temenku soalnya."

Samudra diam sambil menatap mataku dalam-dalam. Ah, those eyes. Those beautiful eyes. "Yaudah iya, ayo naik."

Aku diam.

Samudra mulai menyalakan motornya lalu menatapku heran karena aku tak kunjung naik ke atas morotnya. "Kok diem? Ayo.."

"Tuh," aku menunjuk sebatang rokok yang masih menyala di sela-sela jarinya. "Nggak mau naik ah kalo masih ngerokok."

Dia menatap rokok di tangannya, kemudian menatapku. "K—kenapa sih?"

"Bahaya. Nanti abunya kena orang-orang."

"Enggak kok. Ayo naik."

"Yaudah aku naik angkot aja,"

Ketika aku ingin berjalan, Samudra menahan tanganku. Dia menatapku sambil tersenyum lembut lalu membuang rokoknya yang masih panjang itu ke aspal.

"Udah dibuang," katanya. "Ayo naik."

Dengan itu aku naik ke atas motornya sambil tersenyum puas. Itu adalah ketiga kalinya aku naik motor dengan Samudra, lelaki yang kutakuti saat aku duduk dibangku SMA. Di jalan kami membicarakan banyak hal, aku sudah lupa. Tapi dapat kupastikan obrolan kami pagi itu merupakan obrolan yang ringan dan menyenangkan.

"Makasih ya." kataku setelah turun dan menyerahkan helm miliknya yang tadi kupakai. Kami sudah sampai di stasiun.

"Kok makasih? Emang aku tukang ojek?" desisnya bagai kediri sendiri.

"Abis ini mau kemana?"

"Pulang. Mau tidur lagi."

"Yaudah hati-hati ya."

"Kamu tuh yang hati-hati. Kalo ada yang ganggu, langsung telfon aku ya."

"Iya."

"Nanti pulangnya aku jemput dimana?"

"Nggak usah."

"Aku jemput, kan mau main ke rumah aku."

"Hah?" aku melotot bingung karena tidak ada perjanjian sebelumnya. "Kata siapa?"

"Kata aku."

"Enggak ah."

"Iya." katanya. "Aku kan pulang kesini mau ngajak kamu main."

Malas berdebat, akupun mengangguk dan menyuruhnya untuk menjemputku di stasiun terdekat dari rumahnya saja, tidak perlu ditempat kerja. Jaraknya jauh, takut dia lelah. "Tapi pulangnya jangan malem-malem ya. Aku pulang ke Depok soalnya."

"Iya siap."

"Dianterin kamu kan pulangnya?" tanyaku memastikan.

"Enggak, kamu naik kereta aja ya pulangnya?"

Aku menggembungkan pipiku dan menghembuskan napas dari sana.

"Yaiyalah dianterin, oneng." ujar Samudra sambil mencubit pipiku pelan. "Nanti kabarin aja kalo udah naik kereta."

"Iya, makasih ya."

Ketika aku berjalan, Samudra menyusulku dan langsung menggandeng tanganku untuk membantuku menyeberangi jalan menuju stasiun.

"Diseberangin segala," kataku sambil tersenyum. "Makasih ya."

"Nanti aja makasihnya di rumah."

"Kenapa gitu?"

"Pake cium."

Samudra nyengir dan itu membuatku ingin menggetok kepalanya menggunakan botol berisi satu liter air putih yang kubawa di tasku. Tapi tentu saja tidak kulakukan, aku hanya menonjok bahunya pelan.

"Udah ah, mau kerja!"

"Yaudah sana, semangat ya.."

"Iya."

Akupun masuk ke dalam stasiun dan menunggu kereta di peron. Saat itu kurasakan kehangatan di hatiku, aku senang. Kuakui aku senang. Sangat senang! Tapi aku tidak bisa menutupi perasaan takut yang secara bersamaan datang kedalam diriku. Perasaan takut akan membuatnya kecewa. Perasaan takut akan membuat hatinya terluka.[]

hallo.. longtime no seee!
apakabar kalian? semoga sehat selalu yaa hehe aamiiin sampai jumpa lagii 🧡

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang