Bagian 11

1.4K 154 8
                                    

HIDUPKU berjalan seperti biasa setelah Samudra dan Fikar menjauh. Ada perasaan sepi ketika tidak ada lagi Samudra yang tiba-tiba menelfonku malam-malam. Tapi itu hanya perasaan sesaat, my life is doing perfectly fine without Samudra, or even Fikar.

Aku bangun pagi, berangkat sekolah, belajar, bermain dengan teman-temanku, pulang sekolah, tidur siang, membantu Ibu masak makan malam, dan tidur. Hidupku berjalan seperti biasa, normal.

Beberapa minggu setelah Samudra menjauh, Tante Sri datang, teman Ibuku dulu ketika duduk di bangku SMA. Tante Sri hampir setiap bulan selalu mendatangi rumahku. Biasanya dia datang sendiri tapi sore itu Tante Sri datang bersama anaknya. Seorang laki-laki bernama Athala. Umurnya ketika bertemu denganku 21 tahun, sedangkan disaat yang sama aku baru 16 tahun.

Ibuku dan Tante Sri bilang kalau aku dan Athala sebenarnya sudah saling mengenal sejak kecil. Athala juga mengingatku tapi jujur aku sama sekali tidak mengingatnya. Suatu sore Athala datang kerumahku seorang diri, Ibu sedang arisan sedangkan Bapak dan Maylisa belum pulang dari tempat mereka bekerja, jadi hanya ada aku di rumah yang menyambutnya.

"Diminum kak."

Aku meletakkan segelas teh hangat di atas meja, lalu ikut duduk di hadapan Athala. Penampilannya sangat rapih, kutebak dia habis pulang kerja.

"Makasih Al. Ini titipan buat Tante Yura." katanya sembari menyerahkan setoples kue keju padaku.

Aku menerimanya dan berterimakasih. Obrolan kami berlanjut dan aku jadi tahu kalau Athala ternyata bukan habis bekerja melainkan ingin berangkat ke kampusnya. Dia mengambil kelas karyawan karena masih harus bekerja disuatu pabrik. Pukul 5 sore, Athala pamit. Sebelum pergi, dia sempat meminta nomer whatsappku dan karena alasan tidak mau dibilang sombong, kuberi nomerku kepadanya.

Sejak saat itu Athala jadi sering datang ke rumahku. Kadang bersama Tante Sri, tapi lebih banyak dia datang sendiri. Dia sering mengajakku pergi dengannya, setelah beberapa kali kutolak, akhirnya aku mau dengan catatan dia harus izin pada Ibu terlebih dahulu.

Athala mengajakku menonton bioskop disalah satu mall yang jaraknya tidak jauh dari rumahku. Sebelum menghantarku pulang, dia mengajakku makan mie ayam dan saat itu juga dia menyatakan perasaannya padaku.

Aku tentu saja terkejut. Aku baru mengenalnya beberapa bulan belakangan. Memang selama aku mengenalnya, dia merupakan orang yang baik. Tidak macam-macam dan sangat menghargai aku sebagai perempuan. But that's way too fast. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Bingung. Untungnya dia mengerti.

Fokusku pada saat itu bukan untuk berpacaran. Aku hanya ingin menghabiskan waktuku bersama teman sebanyak-banyaknya. Menciptakan memori yang bisa kukenang ketika nanti aku tua. Aku tidak ambil pusing dengan masalah yang kuhadapi, yaitu Athala. Tapi satu minggu setelah dia menyatakan perasaannya, dia mendesakku untuk menjawab.

Karena aku tidak tega, akhirnya aku menerima Athala sebagai, um, pacarku. Sebenarnya aku hanya berkata bahwa kita bisa mencoba jalani hubungan ini bersama-sama. Kalau bahasa gaulnya, kita jalanin aja dulu. Kira-kira begitulah. Sejak saat itu Athala makin sering mendatangiku ke rumah dan jujur itu sedikit banyak menganggu kegiatanku di sekolah.

Beberapa bulan kemudian, Athala memutuskan hubungan diantara kami berdua. Entah alasannya apa. Mungkin dia tidak kuat dengan sikap cuekku saat itu, tapi tidak lama dari kami putus dia sudah mempunyai pacar baru lagi. Dia juga berkata bahwa dia tidak akan kembali lagi kedalam hidupku dan aku mengiyakan sekaligus mensyukurinya.

Kira-kira seperti itu kisah singkatku dengan Athala. Aku tidak mau membahasnya lebih jauh lagi, karena inti dari cerita yang kutulis malam ini bukan tentangnya melainkan tentang Samudra. Awalnyapun aku tidak mau membawa nama Athala dalam cerita ini, tapi setelah dipikir-pikir, dia mempunyai peran yang cukup penting di dalam cerita ini, yang masih ada sangkut pautnya dengan Samudra. Nanti akan kuceritakan.[]

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang