SARAN yang diberikan Dyas dan juga Pak Akbar beberapa hari lalu telah kusampaikan pada Ibu, Bapak, dan Maylisa ketika makan malam. Mereka bertiga serempak mendukungku dan berdoa yang terbaik agar aku mendapat jalan untuk mengapai cita-citaku.
"Boleh," kata Bapak setelah aku minta izin untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. "Kamu belajar aja yang bener, nggak usah pikirin biayanya. Itu urusan Bapak."
"Urusan aku juga," sambung Maylisa. "Kamu belajar aja yang bener."
Air mataku hampir tumpah melihat betapa besarnya dukungan keluargaku terhadap cita-citaku, tapi untungnya bisa kutahan. Seusai makan ketika hendak pergi ke kamar, Ibu menahanku.
"Neng, anak Ibu yang paling cantik. Tugasmu sekarang belajar sungguh-sungguh, Ibu doain kamu lolos tes. Nggak usah pedulikan tentang biayanya. Kalau Tuhan berkehendak, semua ada jalan.."
Air mataku tumpah dan langsung saja kutarik Ibu kedalam dekapanku sambil mengucapkan terimakasih karena sudah mau mendukungku. Setelah drama itu aku baru masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas kasur.
Kedua mataku menyipit ketika kubuka handphone dan mendapati beberapa notif missed call via whatsapp disana. Dari Samudra. Kali ini dia menghubungiku dengan nomer yang sama yang dia pakai terakhir kali menghubungiku beberapa minggu lalu. Aku tidak pernah menghapus nomer Samudra karena malas. Kukirim pesan pada Samudra, bertanya mengapa dia menelfonku sampai empat kali.
Sembari menunggu balasan Samudra, aku membereskan tempat tidurku. Setelah semua rapih, aku naik dan merebahkan tubuhku. Beberapa menit kemudian, Samudra menelfon.
"Halo, Al?"
"Halo."
Samudra berdeham. "Kamu lagi apa, Al?"
"Lagi rebahan aja," sahutku. "Kamu?"
"Sama. Kamu ngikutin ya?"
"Yang ada kamu tuh yang ngikutin aku."
Samudra tertawa pelan. "Dih engga. Kamu yang ngikutin aku Al."
"Kamu!"
"Alaska apa kabar?" tanya Samudra. "Samudra kangen nih."
"Kabar baik, kamu gimana?" kataku berusaha mengalihkan.
"Kalo Samudra lagi nggak baik-baik aja nih."
"Kenap—"
"Al?"
Perkataanku terhenti ketika mendengar Maylisa mengetuk pintu kamarku.
"Samudra tunggu ya, Kakakku manggil. Nanti kutelfon lagi ya."
"Oh oke Al."
Kumatikan telfon dengan Samudra lalu aku membuka pintu kamarku. Maylisa berdiri disana dan bertanya aku mengobrol dengan siapa. Samudra, kujawab. Maylisa hanya membulatkan mulut.
"Ada Athala di depan."
"Hah?" aku membukatkan mata. "Ngapain?"
"Mau ketemu kamu katanya."
"Aku nggak mau ah, suruh pulang aja."
Maylisa menghela napas. "Nggak enak, kasihan. Dia capek-capek pulang ngampus mampir kesini mau ketemu kamu."
"Tapi kan aku nggak minta dia kesini, May. Aku nggak mau ah, bilang aja aku udah tidur."
"Aku udah bilang kamu belum tidur, udah sana temuin sebentar aja. Cuma silaturahmi apa salahnya?"
Salahnya adalah dia pernah menyakitiku. Salahnya adalah dia pernah berkata dia tidak akan mengangguku lagi. Salahnya adalah dia pernah bersumpah dia tidak akan mau menjalin hubungan apapun denganku lagi, even just a friend.
Pada akhirnya aku mengalah karena Maylisa terus membujukku dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja dan meyakinkanku kalau dia akan standby di balik tembok, incase Athala macam-macam. Baiklah. Berbekal rasa sakit di hati, aku melangkah ke ruang tamu, memenui pacar pertamaku, Athala. Cerita lengkapnya akan kutulis di halaman selanjutnya.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Kelas
Teen FictionAku tidak pandai menulis namun malam ini aku akan mencobanya dengan sebaik mungkin. Karena aku akan menulis ceritaku bersama Samudra Biru Darmawan, laki-laki aneh yang secara tiba-tiba muncul dan mengubah hidupku seratus delapan puluh derajat. Ini a...