Bagian 33

1.2K 124 10
                                    

PUKUL 8 malam, aku sampai di rumah Samudra. Ya. Kalian tidak salah baca. Samudra membawaku ke rumahnya. Awalnya aku menolak tapi Samudra berkata hanya sebentar, mau ganti motor. Akupun pasrah dan mengikuti keinginannya.

Samudra mengenalkanku pada Bundanya, tapi sejak berkenalan hingga saat ini aku memanggil Bunda dengan sebutan Ibu. Aku tidak biasanya menyebut memanggil orangtua kenalanku dengan sebutan Bunda maka aku memanggil beliau Ibu saja sama seperti aku memanggil orangtuaku. Samudra berkali-kali menyuruhku untuk memanggil Bunda saja, seperti kebiasaan teman-teman serta semua mantan pacarnya. Namun aku tidak mau, aku lebih nyaman memanggil beliau Ibu.

Ibupun tidak keberatan dipanggil apapun olehku. "Senyaman kamu saja, mau panggil Kakak juga boleh. Ibu kan masih muda, temennya Samudra aja ada yang ngira Ibu itu Kakaknya Samudra kok." kata Ibu malam itu yang mana membuatku terkekeh pelan.

Awalnya aku membayangkan bahwa Ibu adalah wanita yang galak dan jutek, tapi setelah aku mengenalnya lebih jauh Ibu merupakah wanita yang baik hati dan tangguh. Aku menghormatinya sebagaimana aku menghomati Ibuku sendiri.

Setelah mengomeli Samudra karena telah pulang ke rumah dan pergi seharian, Ibu masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan aku dan Samudra di ruang tamu. Aku agak tidak enak hati karena Ibu memarahi Samudra, aku takut Ibu berpikir akulah penyebab Samudra nekat pulang hari itu.

"Mau makan apa, Al?" tanya Samudra seraya menuangkan air putih ke dalam gelas.

"Nggak usah."

"Kok nggak usah? Kan kamu belum makan."

"Udah kok tadi pagi," tolakku lagi. Aku ingin cepat-cepat pulang karena Samudra malam itu juga harus kembali lagi karena besok harinya masuk kuliah. Aku takut dia ketinggalan bis.

"Yakan tadi pagi.." Samudra berdiri lalu menyalakan rokoknya. "Aku beliin sate ya, tunggu sini."

Samudra kemudian keluar rumah membelikan sate untuk makan malam kami. Kebetulan rumah Samudra berada di pinggir jalan dan di deretan situ banyak penjual makanan, termasuk sate.

Beberapa menit kemudian Samudra datang dan langsung menyendok nasi untukku dan juga untuknya. Aku sempat memberikan nasi di piringku ke piringnya karena porsinya yang melebihi kemampuanku. Memangnya aku lelaki dikasih nasi sebanyak itu?

"Makan yang banyak Al, biar gendut lagi kaya dulu."

Aku menatapnya jengkel. "Emang dulu aku gendut banget ya?"

"Iya," Samudra tertawa lalu mencubit pipiku. "Tapi sekarang kamu udah kurusan."

"Bagus dong.."

"Ih jangan.." Samudra menaruh tiga tusuk sate ke atas piringku. "Gendut aja, aku lebih suka kamu gendut kaya dulu. Lucu."

Aku menggelengkan kepala. "Nggak!"

Samudra menaruh piring bekas kami makan ke tempat cuci piring kemudian kembali duduk di sebelahku. Sebenarnya sofa di samping kami masih sangat luas tapi Samudra lebih memilih duduk berdempetan denganku. Dasar modus!

"Mau pulang?"

"Iya mau."

"Aku ke kamar mandi dulu sebentar."

Samudra lalu memanggil Ibu untuk menemaniku mengobrol. Aku sangat canggung saat itu tapi untungnya Ibu merupakan wanita yang pintar bicara seakan tidak kehabisan bahan. Aku hanya menyimak dan sesekali memberi tanggapan seperti mengangguk, terkekeh, atau menjawab pertanyaan yang kadang diberi Ibu.

Pertanyaan basic, seperti dimana tempatku tinggal, apa kegiatanku, dan Ibu juga bertanya darimana tadi aku pergi bersama anaknya. Tidak lama, Samudra kembali dan meminta kunci motor Ibu untuk dipakai menghantarku pulang malam itu.

Ketika Samudra kembali duduk di sebelahku, aku bertanya apakah dia akan langsung kembali setelah menghantarku pulang?

"Iya nanti aku langsung balik, naik bis terakhir dari sini."

Aku hanya mengangguk dan bersiap memasukkan handphoneku ke dalam tas. Samudra juga bersiap dengan memakai kaus kaki. Sehabis memakai kaus kaki, Samudra berdiri lalu dengan cepat dia mengecup pipi kananku. Aku tersentak kaget! Kutatap wajah Samudra, ekspresinya biasa saja. Seperti tidak terjadi apapun barusan.

Dia mencium pipiku! Mencium pipiku! Bukan hanya mencubitnya seperti biasa. Hatiku berdebar lalu diam-diam kusentuh pipi kananku, sedikit basah akibat kecupannya itu. Aku ingin protes, tapi entah mengapa tidak bisa.

Ibu kembali menghampiri kami di ruang tamu dan memberi kunci motornya pada Samudra. Setelah itu aku pamit pada Ibu dan berangkat dari rumahnya menuju rumahku menggunakan motor Ibu dengan perasaan yang tak karuan.[]

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang