Bagian 42

846 82 30
                                    

KETIKA jam istirahat, aku makan siang bersama Sacha dan bercerita bahwa tadi pagi Samudra menjemput dan menghantarku ke Stasiun.

"Oh," katanya setelah meneguk es kopi yang dia pesan. "Lo udah jadian sama dia?"

"Engga."

"Deket doang?"

"Ngga tahu," aku mengangkat bahu dan menghela napas. "Jalanin aja."

Banyak yang kupertimbangkan saat itu mengenai hubunganku bersama Samudra. Pertama, aku takut apa yang kualami sebelumnya bersama Athala terulang, bahwa aku tidak benar-benar 'ada' dihubungan itu yang menyebabkan Athala akhirnya mundur dari kehidupanku. Kedua, selama aku mengenal dirinya, dia sudah berganti pasangan sebanyak tiga kali. Itu juga yang kuketahui, entah berapa banyak lagi yang belum kuketahui. Ketiga, dari segi apapun aku dan Samudra jelas berbeda.

Samudra, jika kamu baca ini. Aku ingin kamu tahu bahwa saat awal-awal kita menjalin hubungan itu, aku sangat takut tidak bisa membalas perasaan kamu sepenuhnya, aku sangat takut megecewakan kamu, aku sangat takut menyakiti hatimu. Kalau kamu ingin tahu, tidak ada niat sedikitpun untuk aku melukai hati kamu. Tidak ada.

Pukul lima sore aku sudah berada di dalam kereta untuk pulang bersama Sacha dan satu rekan kerjaku yang lain, Roni namanya. Dan saat itulah aku berkata bahwa sore itu aku akan turun di stasiun yang berbeda karena Samudra akan menjemputku.

"Wah mulai bucin ya lo," kata Roni meledekku.

"Karma dari gue Ron, kemarin-kemarin kan dia ngatain gue bucin, sekarang gantian dia yang bucin." sahut Sacha.

Aku hanya tertawa saja dan mengambil handphoneku untuk mengabari Samudra bahwa kereta yang kunaiki akan segera berangkat. Samudra balas oke dan berkata dia akan segera berangkat juga untuk menjemputku padahal jarak dari stasiun tempatku naik kereta dan stasiun terdekat rumah Samudra itu sekitar duapuluh lima menit.

Ketika sudah mau sampai, aku mengabari Samudra lagi, sesuai yang dia minta. Aku mengirim pesan lewat WhatsApp.

Aku udah mau sampe.

Iya aku udah sampe.

Oke, aku pakai baju item ya mas. Kukirim pesan itu sambil tersenyum dalam hati.

Baik mbak, saya udah di depan parkiran ya. Balasnya mengikuti permainanku yang menganggapnya sebagai driver ojek online.

Haha. Tunggu ya mas, masnya baik deh ntar aku kasih bintang 5.

Gausah mbak, 2 aja cukup. Kan kaya slogan 2 anak lebih baik.

Hahaha. Yaudah tunggu ya mas.

Baik mbak. Tapi saya nggak bawa helm mbak, gapapa kan?

Iya gapapa mas.

Kumasukkan handphoneku kembali kedalam tas dan pamit pada Sacha dan Roni karena kereta kami hampir tiba di stasiun. Mereka berdua meledekku dan hanya kurespon dengan tertawa.

Aku menyandarkan diri ke tembok di area masuk stasiun tempat kuturun lalu mataku mencari dimana keberadaan Samudra tapi nihil. Aku tidak menemukan dia dimana-mana, mungkin karena mataku yang rabun jauh jadi apa yang kulihat blur.

Aku mengirim pesan lagi pada Samudra, bertanya dimana dia berada.

Tadi kamu ngelewatin aku tapi kamu galiat aku Al. Katanya.

Yaudah sini.

Samudra kemudian mengirim foto diriku yang tengah bersandar sambil memegang handphone, dia memfotoku dari tempatnya berada.

Kamu ketutup orang, katanya.

Sini ga!!!

Iya.

Tidak lama Samudra menghampiriku dengan motornya lalu cengengesan memandangku.

"Tadi kamu jalan persis di depan aku tahu."

"Ya mana aku tahu, lagian kamu nggak panggil aku."

Samudra tertawa. "Iya sengaja, yaudah yuk naik."

Aku naik ke atas motornya dan Samudra segera mengemudikannya.

"Mau makan apa?"

"Nanti aja gampang." jawabku.

"Yaudah ke rumah dulu ya?"

"Iya."

Kami sampai di rumah Samudra tapi tidak langsung masuk melainkan pergi ke warung yang ada di dekat rumahnya untuk membeli rokok.

"Mau apa?" tanya Samudra sambil membuka kulkas showcase milik warung.

"Itu aja." jawabku sambil menunjuk susu kotak rasa stroberi.

"Apa lagi?"

"Udah."

Samudra mengambil satu botol minuman berasa lalu membayarnya bersama sebungkus rokok serta susu kotak milikku. Ketika kami ingin melangkah kembali ke rumahnya, seseorang memanggil nama Samudra.

"Samudra.." lelaki itu menghampiri dan menjabat tangan Samudra. "Kemana aja lo?"

"Gue kan sekolah."

"Oh," lelaki itu melirikku sekilas lalu kembali menatap Samudra. "Nanti malem kumpul lah, anak-anak rame."

"Siap nanti ya gue nyusul."

Setelah obrolan basa-basi yang singkat, lelaki itu pamit pada Samudra dan kami meneruskan langkah ke rumahnya. Sepi. Tidak ada siapa-siapa di dalam rumahnya.

"Bunda kamu mana?"

"Nggak tahu tuh." Samudra menutup pintu rumahnya dan berdiri di sampingku. "Yuk ke atas."

Kamipun naik ke lantai atas rumah Samudra untuk duduk di balkon rumahnya. Terdapat beberapa sofa disana dan kami duduk berdampingan di salahsatunya yang menghadap ke tanaman-tanaman milik Ibu—Bundanya Samudra.

Lalu tanpa aba-aba Samudra merebahkan kepalanya diatas pahaku. Aku mencoba untuk menolaknya namun Samudra menahan kepalanya sendiri agar tetap pada posisi itu.

"Eh diem dulu," aku buru-buru meraih handphone dari dalam tas dan membuka aplikasi kamera lalu mengarahkannya ke wajah Samudra. "Aku fotoin mata kamu ya, aku suka banget sama mata kamu."

Samudra mengangguk dan sesuai instruksiku, dia membuka matanya dan menatap kearah kamera. Dan itulah dia, foto pertama Samudra yang kupunya. Foto kedua matanya yang sangat indah. Foto yang hingga detik ini masih tersimpan di galeri handphoneku. Ah, Samudra. Masih adakah kenangan itu di dalam ingatanmu? Sebagaimana kenangan itu selamanya tertanam di dalam ingatanku. Selamanya, bahkan ketika ragaku sudah bersatu dengan tanah nanti.[]

hallo hallo, kalian apa kabar?
semoga belum bosen ya baca cerita ini karena masih jauh banget dari ending hehe. dan semoga kalian sehat selalu dimanapun kalian berada! 🤗

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang