Bagian 29

1K 116 21
                                    

AKU tidur dengan nyenyak dan ketika bangun keesokan harinya pukul 8 pagi, aku mendapati pesan dari Samudra yang dikirim pukul 3 pagi. Dia berkata sudah sampai di rumah.. oh, syukurlah. Lalu kubalas dengan bertanya sedang dimana dia saat itu juga. Dan Samudra langsung menelfonku.

"Al, kamu lagi libur ya? Jalan-jalan pagi yuk." katanya langsung to the point.

"Iya libur nih. Jalan-jalan kemana?"

"Kamu maunya kemana?"

"Gatau," jawabku sambil tekekeh.

Samudra berpikir sebentar. "Muter-muter Jakarta aja yuk, aku bosen nih."

"Kamu emang dimana? Udah ketemu sama pacar kamu?"

"Udah aku putusin." jawabnya santai seakan putus cinta baginya adalah hal biasa.

"Terus?"

"Ya, udah putus." katanya. "Kamu dimana? Siap-siap, aku jemput."

Aku terkesiap, haruskah aku menerima ajakannya? Tapikan aku sudah berjanji untuk mau menemuinya kalau dia mengajakku? Tapi... aku masih ragu. Bagaimana kalau dia hanya main-main? "Aku udah pindah tau, ngga tinggal di rumah lama lagi."

"Terus dimana?"

"Depok."

"Oh deket itu. Yuk?"

"Kemana?"

"Aku lagi pengen ngopi sih, nanti kamu shareloc aja lewat chat."

Telfon dimatikan, aku bingung harus bagaimana. Pada akhirnya aku lanjut tidur lagi sampai jam 11, ketika bangun sudah banyak chat masuk dan panggilan tak terjawab dari Samudra. Lalu aku bertanya padanya sedang ada dimana melalui chat.

Aku mau otw nih, kamu ada helm ga?

Gaada. Apa mau ketemu di stasiun aja? balasku padahal saat itu aku belum mengiyakan ajakan Samudra.

Aku ada helm 2 oon. Aku nanti bawa helm 2. Kamu shareloc aja, aku langsung otw.

Aku tertawa membaca chat Samudra, dia baru saja mengataiku bodoh. Yaudah oke pinter, balasku seraya mengirim lokasi dimana aku berada saat itu.

Tunggu, gasampe 1 jam. Oke?

Oke.

Dengan bekal deg-degakan di dada, aku keluar kamar dan bercerita sekaligus meminta izin pada Ibi. Sebenarnya Ibu sudah tahu tentang Samudra karena aku sempat beberapa kali cerita, bahwa ada kakak kelasku di SMA yang sering menghubunginku tapi kemudian dia hilang lagi seperti ditelan bumi. Ibu mengizinkanku pergi dengan syarat Samudra harus menjemput di rumah dan harus bertemu Ibu terlebih dahulu. Aku mengiyakan dan kembali ke kamarku untuk siap-siap.

Satu jam kemudian, Samudra menelfonku. Sudah sampai dihampir sampai rumahku  katanya. Akupun mengarahkan dia agar menghampiri rumahku.

"Rumah cat krem, pagernya hitam..." terdengar suara motornya yang halus. "Iya nih udah sampe, sepiii."

"Aku masih di kamar, tunggu sebentar."

Aku menarik napas panjang, lalu sekali lagi melihat ke cermin. Tidak ada yang aneh dengan penampilanku. Oke, aku siap bertemu dengan Samudra. Aku bilang pada Ibu yang sedang bersantai di ruang tamu, bahwa Samudra sudah datang. Ibu berdiri dan mengikutiku keluar rumah.

Ketika membuka pagar, yang kulihat pertama kali adalah seorang laki-laki yang tengah duduk di atas motornya sambil menghisap rokok. Saat melihatku, Samudra menatapku datar tanpa senyum kemudian dia membuang rokoknya ke aspal.

"Woi ngapain lu?" kataku mencairkan suasana.

Samudra tidak bergeming, dia turun dari motornya lalu menghampiri dan mencium tangan Ibu.

"Samudra ya?" tanya Ibu basa-basi.

"Iya Bu," jawab Samudra. "Izin main sama Alaska ya Ibu.."

Ibu tersenyum. "Mau main kemana?"

"Ngga tau nih, paling muter-muter aja Bu."

"Yaudah hati-hati ya," pesan Ibu.

Samudra mengangguk dan ketika Ibu menawarkan apakah dia mau masuk ke dalam dulu atau tidak, Samudra menolak. Mau langsung jalan saja katanya, takut kesorean.

"Nih pake helm." kata Samudra sambil memberiku helm merah yang dia bawa. Aku langsung memakainya. "Ayo naik."

Akupun naik motornya dengan perpegangan pada kedua bahu Samudra. Ketika aku sudah duduk manis diatas motornya, Samudra tidak langsung jalan melainkan menoleh padaku.

Samudra memasang pengait pada helm yang kupakai. "Pake helm yang bener dong.."

"Iya iya."

Motor jalan perlahan meninggalkan pekarangan rumahku. "Mau kemana?"

"Ngga tau," jawabku. "Nonton film aja?"

"Jangan ah, ke puncak aja ya?"

"Jauh ah capek, besok kerja."

"Ini udah deket kok dari sini.. oke?"

Tidak ada gunanya berdebat dengan Samudra, toh dia yang mengendarai motor maka dia punya kendali penuh untuk menentukan kemana kami siang itu. Disepanjang perjalanan, kami membicarakan tentang kehidupan kami masing-masing setelah lulus SMA. Tapi lebih didominasi oleh aku yang terus berkata 'hah' atau 'apa' karena suara Samudra terendam helmnya yang full face dan juga angin.

Mau tau perasaanku saat itu bagaimana? Tidak karuan. Disatu sisi aku senang bertemu langsung dengan Samudra, disisi lain aku cemas karena takut Samudra akan menghilang lagi setelah kami bertemu, dan tiba-tiba muncul di instagram dengan foto perempuan baru. Seperti kebiasaannya. But whatever happen tomorrow, we had today.[]

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang