Bagian 43

1K 87 40
                                    

SAMUDRA mendudukan tubuhnya seperti semula. "Mana coba aku lihat fotonya?"

Aku memberikan handphoneku padanya. "Bagus ya? Aku dari dulu suka sama mata kamu tau, bagus banget mata kamu tuh."

Samudra terkekeh sambil mengembalikan handphoneku. "Suka sama matanya doang nih? Orangnya engga?"

"Iya matanya doang," kataku. "Orangnya engga!"

Samudra mencubit kedua pipiku pelan. "Kamu nih ya."

"Apa?"

"Engga."

Samudra membakar rokoknya lalu menyandarkan punggungnya ke belakang, melihat itu aku langsung mengikutinya untuk bersandar juga tapi ke bahunya. Entah dorongan apa yang ada didalam diriku tapi sore itu di atas balkon rumahnya, aku menyandarkan kepalaku di bahu Samudra.

"Capek.." bisikku pelan.

Samudra yang mendengar itu lantas menundukkan kepalanya untuk menatap mataku. "Kenapa?"

"Gapapa, capek aja."

"Sama aku juga." katanya setelah itu menarik rokoknya dalam-dalam.

Aku mengangkat kepalaku dari bahu Samudra dengan sedikit kecewa karena saat itu aku semata-mata hanya ingin mengeluh saja karena sedang lelah dengan pekerjaan dan kuliahku, bukan mau adu nasib dengannya. Kalian paham kan? Tapi kemudian aku sadar aku tidak bisa mengontrol apa yang orang lain katakan apalagi orangnya itu adalah Samudra.

"Sekarang apa yang kamu rasain?"

"Seneng bisa sama kamu," jawabnya penuh keyakinan. "Pikiran aku udah tenang, ngga ada beban."

"Emang dulu-dulu hidup kamu banyak beban?"

"Ya gitu deh," Samudra menekan rokoknya yang sudah pendek ke atas asbak lalu menoleh untuk menatap mataku. "Dan sekarang ngga ada beban lagi, aku udah tenang banget. Ngga perlu takut kamu kenapa-kenapa soalnya kamu udah sama aku."

"Emang dulu takut kenapa?"

"Ya takut sesuatu yang buruk terjadi ke kamu, takut ada yang ganggu kamu. Sekarang aku bisa jaga kamu sepenuhnya."

"Jaga dari apa?" tanyaku seraya meneguk susu kotak yang tadi dibeli Samudra untukku.

"Dari orang-orang jahat yang mau menyakiti hati kamu."

Aku diam, meletakkan kotak susu itu keatas meja. "Terus kalau kamu yang jahat ke aku gimana?"

Samudra menoleh dan menatap kedua mataku sambil tersenyum. "Kamu pikir aku bakal jahatin kamu, Al? Pendek banget pikiran kamu. Sejak pertama kali kenal kamu, aku selalu jagain kamu ya. Aku ngga pernah ada niat mau jahat ke kamu atau mau menyakiti hati kamu. Ngga ada."

"Bohong."

"Beneran, aku janji ngga akan nyakitin hati kamu Al. Aku janji ngga akan pernah ninggalin kamu. Aku udah bahagia banget bisa sama kamu kaya gini, masa aku sakitin kamunya? Ngga mungkin lah."

"Makasih ya.."

Samudra tersenyum lalu menarikku untuk bersandar lagi ke bahunya. Nyaman dan tentram sekali berada didekapannya, sekaligus aku merasa bahwa orang yang berada disampingku itu sudah kukenal sejak lama, lama sekali.

"Eh aku mau nanya dong, boleh?" tanyaku sambil mengubah posisiku untuk jadi duduk menghadapnya.

"Boleh dong. Tanya apa?"

"Tapi kamu harus jujur ya."

"Iya."

"Janji?" aku mengacugkan jari kelingking.

Samudra menyambut jariku dengan jari kelingkingnya. "Janji."

"Kemarin yang kamu bilang ada acara dikampus taunya ngga jadi, itu kamu kemana?"

Samudra mengambil minuman dari atas meja dan meneguknya, gugup. "Kan udah aku bilang ke Bandung beli hp."

"Katanya tadi janji mau jujur."

"Itu aku jujur."

"Bohong."

Hening. Samudra menatap mataku seakan menimbang apa yang harus dia katakan selanjutnya. "Kamu mau aku jujur?"

Aku mengangguk.

"Jadi sebenernya kemarin itu aku pulang ke rumah," jelasnya pelan. "Mawar III ngajak ketemu terus aku suruh dia ke rumah, akhirnya kita ngobrol disini."

"Oh."

"Tadinya aku mau ngasih tau kamu cuma aku takut kamu marah."

"Aku malah marah kalau kamu bohong ke aku."

"Maafin aku ya, aku cuma takut kamu marah. Kamu emang engga marah kalau aku ketemu Mawar III?"

Aku menggeleng, dalam hati tertawa. Buat apa aku marah? Itu urusannya bersama Mawar III, aku tidak berhak dan tidak mau ikut campur.

"Beneran?" Samudra menyentuh tanganku dan mengusapnya pelan. "Aku cuma ngobrol sebentar kok sama dia, habis itu aku pergi sama Bunda beli handphone."

"Yaudah oke."

"Kamu beneran nggak marah?"

"Beneran," kataku. "Terserah kamu mau apa, itu hidup kamu. Cuma aku nggak suka dibohongin."

"Iya maafin aku ya."

Aku mengangguk, Samudra senyum sumringah. Kami lanjut mengobrol tentang apapun, kebanyakan nostalgia saat kami masih sekolah dulu. Tidak pernah terbayang diotakku sebelumnya bahwa ada hari dimana aku duduk dengan jarak sedekat itu bersama Samudra, laki-laki yang dulu kutakuti karena reputasinya yang buruk. Kuakui itu adalah salah satu hari terbaik dalam hidupku.[]

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang