Bagian 49

156 21 2
                                    

SAMUDRA kembali ke kota tempat dia menempuh pendidikan dan kami saling bertukar kabar lewat whatsapp. Setiap malam sehabis aku kuliah, Samudra selalu menelfonku dan kami mengobrol sampai aku mengantuk bahkan kadang ketiduran.

"Nanti kalau aku udah lulus, kita foto bareng ya distudio. Aku pake seragamku, kamu pake kebaya..." katanya pada saat kami sedang telfonan disuatu malam.

"Iya," sahutku lalu teringat Samudra pernah beberapa kali mengajakku foto bersamanya bahkan sebelum aku resmi menjadi kekasihnya. Untuk alasan itu, aku tersenyum.

"Emang kapan lulusnya?" tanyaku.

"Hm...." Samudra bergumam bagai berpikir. "Secepatnya.. doain semoga aku cepet lulus."

"Aamiin. Nanti kalau kamu lulus, aku ditraktir nggak?"

"Pasti dong," katanya. " Makanya nanti kalau aku wisuda, kamu dateng sama Mama, Papa, dan adek-adek aku."

"InsyaAllah, kalau panjang umur."

"InsyaAllah panjang umur."

Aku tertawa. "Aamiin. Oh iya, kamu inget nggak? Dulu kamu sering ngajak aku foto studio kalau kamu udah lulus nanti? Padahal kan waktu itu kamu punya pacar."

"Inget dong," jawabnya. "Tau nggak kenapa aku ngajak kamu?"

"Kenapa?"

"Karena aku maunya kamu yang ada disamping aku nanti."

"Kenapa? Kenapa nggak ajak pacar kamu saat itu aja? Atau kamu ajak dia juga, ya?"

"Enggak. Aku cuma ngajak kamu."

"Kenapa aku?"

"Aku maunya kamu."

Aku tersenyum dan ingin percaya pada perkataan Samudra saat itu namun ada bagian dari dalam diriku yang menahannya. Aku takut dia hanya sedang gombal. Terlebih aku sangat tahu track record Samudra dalam urusan asmara seperti apa.

"Oh iya sebelum aku lupa, aku mau kasih tau kamu sesuatu."

"Apa?"

"Kamu inget kan aku mau ada acara kampus?"

"Iya. Yang kamu bohong ke aku itu kan?"

Samudra menghela napas mengetahui aku mengungkit kejadian beberapa waktu silam. "Iya itu. Nah tadi diumumin acaranya hari Sabtu ini."

Kulihat kalender didalam handphoneku, saat itu adalah hari Kamis yang berarti Samudra akan mengikuti kegiatan kampusnya 2 hari lagi.

"Lusa dong?"

"Iyaa."

"Nggak bohong lagi?"

"Kali ini aku beneran, nggak bohong. Nanti aku kirim surat edarannya ke kamu kalau kamu nggak percaya."

"Nggak usah. Aku percaya."

"Iya. Nanti aku nggak bisa telfon kamu selama seminggu. Jangan kangen."

Detik itu aku bertanya-tanya apa yang akan terjadi seminggu kedepan tanpa telfon dari Samuda Biru Darmawan mengigat aku sudah mulai terbiasa dengan perhatian serta leluconnya yang garing itu. Apakah aku akan merindukannya? Atau hidupku akan berjalan biasa saja seperti tidak ada apa-apa?

Hari Sabtu pun tiba, saat itu aku sedang bersiap ingin kerja ketika Samudran menelfon.

"Aku lagi siap-siap mau berangkat kerja." kataku menjawab pertanyaannya tentang apa yang sedang aku lakukan.

"Sama dong.." sahutnya bersamaan dengan suara gaduh diujung sana.

"Kamu lagi ngapain, sih?"

"Ini... Cari sepatu."

"Yaudah cari sepatu dulu, nanti telfon lagi."

"Udah..." katanya. "Udah ketemu."

Lalu hening karena aku sedang pakai lipstick dibibirku sementara Samudra mungkin sedang memakai sepatunya.

"Hallo?"

"Iya hallo?"

"Iya aku udah mau berangkat nih."

"Iya kamu hati-hati."

"Kamu juga ya, jangan lupa sarapan."

"Iya, Samudra."

"Yaudah ya, hpnya aku tinggal dikosan. Kamu hati-hati, kalau ada yang ganggu bilang aku."

"Iya iya."

"Oke. Dah, Alaska. Tunggu aku seminggu lagi ya, inget, jangan rindu.. rindu itu berat!"

Aku tertawa. "Itumah kata-kata Dilan.."

"Kata-kata Samudra juga."

"Kamu copas Dilan.." sahutku dengan sisa-sisa tawa.

"Dilan copas aku."

"Mana ada!"

Samudra tertawa. "Yaudah pokoknya jangan kangen."

"Enggak."

"Aku jalan dulu. Daah.. I love you cintaku."

Dan begitulah. Setelah telfon mati, Samudra mengirimkan pesan lagi seperti menghimbau agar aku selalu berhati-hati, jangan telat makan, dan jangan bolos kuliah. Ketika aku membalasnya, pesanku hanya ceklis satu, tidak terkirim. Jelas handphonenya sudah dimatikan dan dia sudah pergi. Ah, Samudra.. aku harap kamu baik-baik saja disana..

Dua hari setelahnya mulai muncul perasaan aneh didalam diriku. Semacam perasaan gelisah. Seperti ada yang hilang dalam hidupku. Tentu saja perasaan itu bernama rindu, rinduku terhadap Samudra Biru Darmawan.

Harus kuakui aku merindukannya saat itu. Rindu tawa renyahnya. Rindu lelucon tidak lucunya. Perhatiannya. Nyanyiannya yang senantiasa mengantarku tidur. Atau tingkah menyebalkannya  yang tidak jarang membuat aku jengkel. Aku rindu kamu, Samudra..

Hari itu aku memutuskan untuk memakai sweater milik Samudra untuk membuat ilusi bahwa Samudra ada didekatku. Lalu aku ada dititik dimana aku mulai mengirim pesan kepadanya lewat whatsapp meskipun pesan-pesan itu tidak akan terkirim dan terbaca oleh Samudra sampai dia kembali lagi kekos dan menyalakan handphonenya. Itu adalah caraku menyampaikan ekspresiku yang sedang rindu kepadanya.

Aku jadi semakin sedih karena hari itu aku bertengkar dengan Sacha. Masalahnya sepele tapi itu membuat aku dan Sacha saling adu mulut dan tidak pulang bersama sebagaimana semestinya kebiasaan kami. Aku akui saat itu aku memang salah, dan aku juga sudah berusaha meminta maaf padanya melalui telfon tapi sepertinya dia masih marah dan kesal padaku jadi yasudahlah aku akan membiarkannya marah padaku dulu.

Disaat seperti itu ingin rasanya berada didekat Samudra. Aku ingin menangis dihadapannya untuk kemudian dia tenangkan dengan caranya yang aku suka. Aku butuh Samudra, aku mau dia..

Malam itu aku menangis sambil mengirim pesan kepada Samudra bahwa aku resmi merindukan dan membutuhkannya. Aku sedih dan aku mau Samudra ada didekatku. Begitupun ketika aku senang, aku juga mau Samudra ada didekatku. Pada waktu itu aku menyadari bahwa keberadaan Samudra sangat berarti dalam hidupku dan aku berjanji aku tidak akan pernah menyakitinya.[]

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang