Bagian 34

1K 125 16
                                    

AKU tidak menyangka pertemuanku dengan Samudra sore itu merupakan gerbang menuju kebahagiaanku yang baru. Awalnya kukira pertemuan itu hanya sekedar pertemuan biasa antara dua teman lama yang sudah lama tidak berjumpa.

I did not expect much, I know exaclty his record with girls. Firasatku mengatakan setelah pertemuan kami itu, Samudra pasti akan dapat pacar baru lalu memposting foto kemesraan mereka di akun instagramnya dan melupakanku seperti biasa.

"Al, kamu kurusan ya."

Samudra membuka obrolan di tengah perjalanan kami menuju rumahku di Depok.

"Masa sih? Bagus deh kalo gitu."

"Engga ah, aku lebih suka pas kamu SMA. Gendut gitu."

Mataku melirik ke kaca spion, ternyata Samudra sedang menatapku dengan tatapan tajamnya tapi sambil tersenyum.

"Iya dulu aku gendut banget ya?"

Samudra mengangguk. "Dulu setiap ketemu, aku selalu cubit pipi kamu kan."

"Iya kamu tuh.."

"Siapa coba di sekolah yang berani cubit pipi kamu?" tanya Samudra. "Ngga ada kan? Cuma aku."

Aku terkekeh pelan.

"Kamu kenapa? Banyak pikiran ya makanya kurus?"

"Iya." jawabku cepat. "Dan kecapekan juga, kerja sambil kuliah."

Samudra diam cukup lama. "Al, kamu bisa cerita apapun ke aku. Jangan sungkan ya."

"Makasih."

"Al, inget ya. Aku sayang kamu, lebih dari siapapun. Ya meskipun dulu aku sering berpaling, ninggalin kamu. Tapi akhirnya aku balik ke kamu lagi.." kata Samudra sambil menengok ke belakang. "Aku bodoh ya, kenapa ngga sadar dari dulu aja? Kenapa baru sekarang?"

Aku memajukan kepala dan menyandarkan pipiku ke bahu sebelah kirinya. Nyaman. "Pas kamu pacaran sama mantan-mantan kamu, kamu pernah mikirin aku ngga?"

"Sering." jawabnya lantang.

"Mikirin apa?"

"Banyak. Kamu lagi apa. Lagi dimana. Sama siapa."

"Terus?"

Samudra tersenyum. "Terus terus mulu nanti nabrak."

"Makasih ya.." bisikku pelan.

"Buat?"

"Makasih aja."

Malam semakin larut dan udara semakin dingin. Aku menarik ujung kaus yang Samudra pakai dan menggenggamnya untuk pegangan karena Samudra mulai mengebut.

"Aku sayang kamu Al."

"Aku tuh nyebelin," sahutku. "Kamu ngga akan kuat menghadapi aku."

"Iya emang. Nyebelin banget."

Aku cemberut. "Tuh kaaaan."

"Tapi senyebelin-nyebelinnya kamu, kamu tau kan di sekolah kita dulu yang aku sayang dan aku jaga ya cuma kamu seorang."

Aku tertawa geli dan reflek menepuk bahunya.

"Al, serius. Aku udah ngga mau cari cewek lain lagi yang belum tentu jelas kedepannya gimana. Aku mau stay disini aja, sama kamu."

"Alah besok juga balikan lo sama mantan lo."

Samudra tersenyum. "Engga Al. Aku udah ngga mau. Maunya sama kamu."

"Iya."

Samudra melirikku melalui kaca spion. "Iya apa?"

"Ngga tau."

"Yeh ngga jelas."

"Loh aku kan emang ngga jelas."

"Iya sih," kata Samudra. "Tapi gapapa, aku tetep sayang. Dari dulu malah."

"Kenapa kok bisa?"

"Ngga tau. Emang kalo orang sayang harus ada alesannya ya?"

Aku mengangguk. "Iya harus."

"Terus kalo misalnya nih aku sayang kamu karena kamu cantik, nah nanti kalo kamu udah tua terus cantiknya hilang, aku ngga sayang kamu lagi gitu?"

"Ih bukaaan gitu," kataku. "Maksud aku pasti ada alesannya lah kenapa kamu sayang aku. Ngga mungkin pas pertama liat langsung mikir oh gue sayang sama nih cewek. Yakan?"

Samudra menggelengkan kepala. "Ngga ah. Aku sama kamu kayak gitu kok, pertama kali lihat kamu, aku langsung sayang. Sampe sekarang, dan seterusnya."

Perkataan Samudra malam itu sangat tulus, seperti dia bicara dari dalam lubuk hatinya. Sebagian dalam diriku ingin mempercayai semua pengakuan Samudra, tapi sebagiannya lagi enggan. Aku masih takut. Again, I know exactly his record with girls.

Pukul 10 kami sampai di rumahku. Aku segera mengajaknya masuk ke dalam, lalu kami disambut oleh Ibu yang belum tidur karena menungguku pulang.

"Maaf Ibu pulangnya kemaleman." kata Samudra setelah mencium tangan Ibuku.

Ibu tersenyum memaklumi dan menyuruhku membuat teh hangat untuk Samudra. Aku pergi ke dapur sementara Samudra mengobrol dengan Ibu di ruang tamu.

Sayup-sayup kudengar Samudra bercerita kemana saja kami pergi sore hingga malam itu dan Ibu mendengarkan dengan antusias sambil sesekali bertanya pertanyaan basic seperti dimana rumah Samudra, kegiatannya sehari-hari, dan lain-lain.

"Dulu Alaska takut sama Samudra, Bu."

Ketika aku kembali dari dapur, topik obrolan mereka telah berganti.

"Oh ya? Kenapa bisa gitu?" tanya Ibu, padalah dia tau alasan mengapa aku takut pada Samudra dulu.

"Dulu kamu suka mabok." selaku lebih dulu.

Samudra mengangguk setuju. "Dulu Samudra sering mabok Bu, berantem juga. Makanya Alaska takut sama Samudra."

"Oooh," Ibu mengangguk. "Tapi sekarang sudah ngga gitu lagi kan Samudra?"

"Udah ngga Bu, bosen."

"Bagus.." Ibu tersenyum. "Kasihan orangtua kamu, jauhilah yang seperti itu."

"Iya Ibu."

Tidak lama, Samudra pamit karena harus kembali ke perantauan. Sebelum Samudra menyalakan motor, aku berpesan agar dia segera memberitahuku ketika nanti sampai di rumah.

Setelah motornya tidak terlihat lagi, aku baru masuk ke dalam rumah. Ibu mengajakku bicara sebentar tentang perjalananku bersama Samudra, lalu menyuruhku tidur karena besok aku harus kembali bekerja.

Di dalam kamar aku mengulang kembali kejadian sore itu bersama Samudra. Cara dia menatapku, cara dia bicara denganku, cara dia tertawa. Semuanya sama, lembut. Tidak seperti saat dia berbicara pada teman-temannya saat sekolah dulu.

Diam-diam aku tersenyum, Tuhan jelas punya maksud tertentu mempertemukan diriku lagi dengan Samudra setelah sekian kali dia berusaha mengajakku bertemu.

Maka, malam itu aku bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Malam itu aku bertekad untuk membuka hatiku sedikit demi sedikit untuknya. Malam itu aku bertekad untuk berusaha menyayangi Samudra sebagaimana dia menyayangiku.[]


Samudra just turned 21st last week. wish him a wonderful life, shall we?

Kakak KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang