pembunuh berantai

934 121 9
                                    

Cerita ini hanya berdasarkan imajinasi
Kau boleh mengoreksi dengan hati-hati
Jangan mencaci mencari mati
Tangan author lebih tajam dari pisaunya
Otaknya lebih berbahaya dari bisa
Lidahnya lebih mematikan dari sianida
Jangan memancing problematika
Kalau tidak mau hukum rimba bertahta

Hmmm, Becanda:)

_Arcanus_


_____

Brakk

Pria tua itu menggebrak meja karena kesal. Matanya menatap tajam seorang remaja di depannya ini. Terlihat bagaimana tangan keriput itu mengepal kuat menahan emosinya.

"Anak itu sudah memancing kita untuk bertindak. Berhenti bersembunyi dan segera selesaikan tugas kamu," Makinya kembali menggebrak meja.

Remaja di depannya hanya diam menatap kosong ke bawah. "Saya nggak sebodoh itu langsung keluar hanya karena diberi umpan cacing," dia mengangkat wajahnya, dengan berani menatap lawan bicaranya dan tersenyum meremehkan.

Pria tua itu mengeram karena kesal. Dia tidak suka raut mengejek itu.

"Biarkan dia sendiri datang menyerahkan nyawanya. Permainan saya lebih berharga daripada seribu nyawa anak buah anda." Remaja tersebut melirik beberapa mayat yang tergeletak di sampingnya.

"Apa Kamu bodoh? Dengan dia datang ke sini itu sama artinya kita menyerahkan nyawa dengan sukarela. Dia nggak mungkin bertindak sendiri." Pria tua itu menampik tak terima.

Remaja itu menatap tajam si pria tua. "Jangan menyebut saya bodoh, Lord. Atau anda sudah bosan hidup? Anda mau saya mematahkan tulang-tulang rapuh mu itu?"

"Jaga sikap mu, dasar bocah kurang ajar!" Geramnya menunjuk wajah remaja itu.

"Berhenti membuang tenaga mu. Simpan itu untuk berperang melawan malaikat maut nanti. Tak lama lagi dia akan datang." Pria tua itu semakin geram mendengar nada mengejek remaja tak beradab itu, yang secara tidak langsung memperingatkan umurnya.

"Apa maksud mu, kamu mendo'akan saya mati?" 

Remaja itu mengelus telinganya yang berdengung sesaat akibat teriakan si pria tua. "Berhenti berteriak atau aku akan mempermudah tugas malaikat maut sekarang,"

"Anak ini memang betul-betul kurang ajar!" Si pria tua kembali berteriak saat remaja itu nyelonong pergi tanpa permisi.

"Dasar cucu laknat!" Umpatnya menghempaskan tubuh ke kursi dan memijit pelipisnya, merasa pening dengan kelakuan tak berakhlak cucunya itu.

Dia menatap frustasi melihat mayat-mayat disekitarnya yang sengaja dijejerkan. Ada sekitar 5 orang anak buahnya yang sudah mati terbunuh dalam satu malam oleh pelaku yang sama. Cara mereka terbunuh juga tak jauh berbeda dengan beberapa luka tusukan di tubuh. Dia sungguh kesal dengan ini semua. Cucunya juga sama tak bisa diandalkan.

"Halo," dia menjawab panggilan dari kliennya yang ke sekian dengan nada malas. Dia sudah tahu kalau kliennya ini pasti akan marah-marah juga karena pesanan mereka gagal dikirim.

"................................."

"Maaf,  kami mengalami kendala tadi malam. Kurir kami dibantai oleh orang tak dikenal, jadi pengirimannya sedikit tertunda."

".............................."

"Baiklah, akan kami kirimkan secepatnya."

Tak ada yang terdengar lagi, panggilan diputuskan sepihak. Pria tua itu benar-benar pusing. Bisnisnya sedang kacau. Dia tak berhenti mengutuk orang yang telah menghabisi para anak buahnya. Belum lagi cucunya semakin beringas memberontak. Dia hanya ingin hidup damai diusianya yang sudah tak muda ini, tapi sepertinya tidak bisa. Selama beberapa orang itu masih hidup, dia tidak akan pernah bisa tenang. Keluarga yang telah merenggut nyawa anak, menantu, dan cucunya. Mereka yang kini juga mengancam bisnisnya.

Arcanus (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang