Bab 46 - Penghianat tetap penghianat

22 15 9
                                    

"Apakah hanya dengan harta dan tahta tanpa cinta dapat membuat, Jennie, bahagia, Pah?"

Bukan Jennie yang mengatakan itu melainkan Fatimah.

Kalau dipikir-pikir, hubungan dua insan
yang hanya dipersatukan melalui materi tidak akan bertahan lama. Maka diperlukan yang namanya saling mencintai.

Namun, jika hanya saling mencintai tanpa adanya materi maka hubungan itu juga tidak akan bertahan lama. Jadi semuanya harus seimbang, jika kekurangannya hanya pada materi pasti ada cara untuk menyeimbangkan suatu hubungan.

"Bun! Jangan ikut campur!" kata Gibran tegas.

Fatimah yang baru saja pulang kerja dan berdiri di ambang pintu itu pun masuk. "Tentu saja bunda harus ikut campur, Pah!"

Raden dan Clara yang menyaksikan keluarga Jennie mulai bertengkar pun saling pandang lalu mereka tersenyum miring.

"Ikut, Papah!" Gibran menarik Fatimah menuju kamar karena tidak ingin bertengkar di depan tamunya.

Fatimah yang ditarik pun hanya pasrah saja, dia tersenyum menatap Jennie seolah mengatakan bahwa ia akan mendukung putrinya itu.

Jennie mengepalkan kedua tangan. "Pah, udah cukup! Jangan bertengkar!" Gadis itu mengejar orang tuanya, dia tidak ingin Fatimah kenapa-kenapa.

"Bukan urusan kamu!" bentak Gibran kemudian bergegas menaiki tangga. "Jangan ikutin!"

Jennie berhenti di anakan tangga yang pertama, dia terisak, mengelap ingus dan air mata dengan kasar, dia berbalik badan dan menatap bengis Raden dan Clara.

Raden dan Clara yang duduk di ubin seketika berdiri. Mereka saling pandang lagi seolah sedang merencanakan sesuatu.

Jennie bertepuk tangan membuat Raden dan Clara mengernyitkan dahi. Jennie terus bertepuk tangan secara berirama sambil berjalan mendekati mereka.

"Wow, wow, wow! Gue salut sama kalian. Belum puas juga bikin gue menderita, ha? Sekarang orang tua gue jadi berantem gara-gara kalian! Harusnya kalian enggak datang! Harusnya kalian lenyap di tangan gue!" teriak Jennie murka.

Di ruang tamu hanya mereka bertiga, lalu di mana adik-adik Jennie?

Clara tersenyum, hal itu membuat Jennie semakin marah. "Jennie, Jennie, kasihan banget, sih, hidup lo?" katanya seraya berdecak kasihan.

Jennie mengeraskan rahang, tatapannya semakin tajam. Kepalan tangan sejak tadi sudah siap diluncurkan, hanya saja dia menunggu waktu yang tepat.

"Diem lo, Bang*at!" maki Jennie, "Gue enggak butuh kasihan dari lo, cih!"

"Tapi, ini belum seberapa, Jen. Masih main-main aja." Raden menimpali.

Jennie muak dengan perkataan mereka. Gadis itu mengambil benda yang berada di atas meja kemudian melempari benda itu ke arah mereka. Sungguh dia muak dengan semuanya.

"Pergi lo berdua! Set*n! Kam**et! Anj**g! Daj**l! Pergi!" teriaknya.

Lemparan Jennie yang membabi-buta membuat Raden dan Clara langsung berusaha menghindar, tetapi gagal karena salah satu benda yang dilempar Jennie tepat mengenai tangan Clara.

"Ssh, sia**n, lo, Jen! Awas!" kata Clara bengis, tangannya tertusuk pisau buah yang dilempar Jennie.

"Bodo amat! Gue mau lo pergi sebelum mati!" Jennie semakin membabi-buta membuat Raden dan Clara segera berlalu dari sana.

Setelahnya hening, barang terakhir yang terdampar di ambang pintu adalah handphone. Bahu gadis itu turun, dia jatuh terduduk, punggungnya menempel di belakang sofa.

Apa semua ini? Kenapa hari ini dirinya begitu kacau? Semenjak dirinya menyandang status kekasihnya Dadang, hidupnya tidak setenang biasanya, ah, lebih tepatnya sejak mengenal pria itu.

"Astagfirullahalazim, apakah ini teguran dari Allah bahwa keputusan yang gue ambil salah? Atau karena hubungan gue enggak direstuin makannya gue enggak bisa tenang?"

***

"Wih, rumah kita habis kena perang dunia," kata Reza saat baru menginjakkan kaki di ambang pintu dan melihat banyak barang berserakan, bahkan meja dan isinya telah berpindah posisi.

"Parah, sih, berantakan banget," sahut Roman.

Ramadhan berdecak prihatin. "Rumah kita hancur, sehancur hati mantan setelah gue putusin."

"Udah kayak kapal pecah," kata Rehan ikut berkomentar. "Bi Surti, ke mana, ya? Kok enggak diberesin?"

Reza menyipitkan mata dan mendapati di pojok ruangan dapur nampak seseorang sedang meringkuk ketakutan. Cowok itu langsung menghampiri.

Ketiga adiknya yang mengetahui ikut penasaran dan menghampiri.

"Bi Surti?" tanya Reza saat berada di depan wanita itu.

Wanita itu memang pembantu mereka, Surti. Dia tampak ketakutan sampai menangis sesenggukan.

Rehan berjongkok di depannya. "Kenapa, Bi? Kok takut gitu?"

Surti menatap mereka bergantian kemudian menjawab dengan sesenggukan. "Tad--tad--tadi ada tam--tam--tamu, terus, Non Jen--Jen--Jennie, marah-marah dan lang--lang--langsung menghajar tamunya."

"Siapa tamunya, Bi?" tanya Roman.

Surti menjawab dengan gelengan. "Saya takut, Non Jennie, sama Tuan Gibran sempat bertengkar. Saya sangat takut, Den ...," katanya.

Rehan memeluk Surti, cowok itu sudah menganggap Surti sebagai ibunya juga. "Ssst, udah jangan takut lagi, ya, Bi? Ada kita kok."

***

"Habis dari mana lo?"

Baru saja Reza menginjakkan kaki di ubin kamarnya, suara sang kakak mengagetkan. Dia memandang ke penjuru ruangan dan mendapati Jennie duduk di kursi belajarnya.

"Rumah, Nenek."

"Kok gue enggak diajak, ha?" Jennie menatap tajam.

Reza menggidikkan bahu. "Lo-nya enggak di rumah."

"Kan, lo bisa nunggu gue pulang sekolah."

"Enggak bisa, Nenek, yang nyuruh cepet ke sana soalnya mau berangkat haji."

"Huh! Serah! Kalo aja lo ngajak gue, gue enggak perlu repot-repot buang tenaga cuma buat ngurusin dua bang*at itu!" Jennie mengalihkan pandangan ke luar Jendela.

Reza menghampirinya kemudian duduk di meja belajar. "Ya, lo-nya, sih, yang enggak bisa ngontrol emosi, jadinya susah sendiri."

"Coba lo di posisi gue. Apa yang lo lakuin saat ada musuh lo yang berani-beraninya datang ke rumah lo? Yang dulunya mau bunuh lo terus dateng ke rumah yang katanya mau minta maaf buat memperbaiki keadaan padahal makin memperparah keadaan?" Jennie menatap adiknya ketus.

Reza meringis. "Iya, juga, ya? Gue pasti marah. Kalo cowok pasti gue hajar terus bilang gini, 'woy kuny*k! Ngapain lo masih berani dateng, ha? Mau mati lo?' gitu."

Jennie mengembuskan napas kemudian turun dari kursi.

"Mau ke mana, Kak?"

"Ngapel cowok."

***

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang