Bab 34 - Perasaan yang Salah

6 3 0
                                    

"Assalamualaikum ...."

Salam Dadang hanya menjadi angin lalu. Pria itu baru saja sampai di teras rumah minimalis itu. Dadang menghela napas kemudian mengetuk pintu.

"Assalamualaikum ...."

Ceklek!

"Waalaikumsalam." Akhirnya, salam Dadang dibalas oleh seorang perempuan dengan pakaian anggunnya, tanpa senyum sama sekali. "Habis dari mana? Kita khawatir nunggu, Akang, pulang tahu enggak? Nenek, tadi sempet kumat lagi ... untung ada tetangga yang mau nolongin, Nana."

Dadang terkekeh mendapati omelan sang adik, pria itu mengacak rambut Nana. "Gemes akang sama kamu," katanya dan mengabaikan raut kesal adiknya. Pria itu menerobos masuk dan berjalan menuju kamar sang nenek.

Nana memajukan bibir kesal, mencibir kakaknya sambil menutup pintu. Gadis itu berbalik badan dan menyusul sang kakak.

Dadang duduk perlahan di tepi kiri kasur yang ditiduri oleh seorang wanita tua. Wanita itu memakai infus dan terdapat sapu tangan terlipat membentuk kompres di dahinya. Wajah wanita itu keriput dan nampak sekali tulang pipinya.

Dadang menerbitkan senyum, meraih tangan sang nenek yang bebas infus itu kemudian menyalaminya. "Assalamualaikum, Nek," lirihnya.

Sang nenek membuka kelopak mata dengan perlahan, saat matanya bertabrakan dengan mata berkaca-kaca Dadang, dia tersenyum. "Le--Lee ...," lirihnya sambil mengangkat tangan yang gemetar itu untuk menyentuh pipi kanan Dadang.

Mendengar suara neneknya yang berat dan penuh serak, Dadang meneteskan air mata, apalagi melihat pergerakan tangan sang nenek yang gemetar. "Maafin orang tua, Lee, ya, Nek? Maafin mereka ...," ucapnya parau.

Sang nenek menggeleng berat, tenggorokannya tercekat. Matanya ikut berkaca-kaca. "Udah ... nenek ... maafin ... dari dulu ...," jawabnya sambil mengelus halus pipi cucunya.

Isak Dadang lolos seketika, dia segera merengkuh nenek kesayangannya itu, dia sangat merindukan nenek yang dulu--yang masih sehat dan bahasa gaulnya--sungguh dia berharap neneknya cepat sembuh.

Nana ikut bergabung, dia baru datang dengan membawa segelas teh dan ditaruhnya di atas meja kayu samping tempat tidur. Gadis itu memeluk nenek dan kakaknya.

"Cepet sembuh, Nek. Enggak bosen apa rebahan mulu? Nana, kesepian di rumah, enggak ada yang diajak debat lagi akhir-akhir ini," keluh Nana. Dulu nenek dan dirinya sering beradu mulut hanya karena hal sepele, begitulah interaksi antara mereka. Namun, karena nenek tidak bisa diajak adu mulut lagi--dan memang tidak mungkin bisa--hidup Nana menjadi tak berwarna.

Mereka mengurai pelukan, Nana mengambil teh di atas meja sedangkan Dadang merapikan selimut yang dikenakan nenek karena kusut akibat ulahnya tadi.

"Minum tehnya, Nek." Nana duduk di tepi kasur yang lain kemudian menyodorkan segelas teh tadi, Dadang membantu neneknya setengah duduk agar mudah meminumnya.

Selesai beberapa tegukan dan tinggal sisa setengah, nenek menyudahinya. Segera Nana meletakkan kembali gelas tadi.

"Ah, pait," keluh nenek dengan suara seraknya.

Nana manyun. "Salah lagi? Tadi pagi, Nana, buatkan yang manis katanya kemanisan, sekarang pait ngeluh. Mau, Nenek, apa, sih? Salah terus perasaan."

Nenek menatap datar Nana. "Nyerocos manjang macam tali kutang lu," balasnya dengan bahasa gaul, biasalah.

"Untung sakit dan untung, Nenek-Nenek," gumam Nana, sedikit jengkel, frustasi, kesal dan bahagia. Sedikit lho.

"Untung nenek enggak denger," cibir sang nenek dengan senyum lebar, menampakkan gigi yang tersisa--maksudnya empat gigi depan yang atas-bawah dan dua gigi gerahang sebelah kiri, atas-bawah. Maklum, sudah tua.

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang