Bab 78.b - Ternyata Gamon

5 5 16
                                    

"Gibran itu mantan ibu." Harumi mengembuskan napas dalam, berat rasanya. Ia mengusap-usap figur foto anak perempuannya. "Ibu gamon sama dia." Suaranya mencicit, ia malu pada lelaki remaja di depannya ini yang merupakan anak kandungnya sendiri.

Dadang terkekeh. "Owalah, Lee kira, Ibu, musuh Om Gibran, makannya, Ibu, enggak mau punya menantu dari keluarganya, ternyata karena gamon? Ya ampun, Ibu." Cowok itu memutari kursi makan lalu memeluk leher ibunya dari belakang. Ah, dia rindu posisi seperti ini, kapan terakhir?

Harumi mengerucutkan bibir, merasa diejek anak sendiri seketika ia kesal ingin melemparkan tas selempangnya ke kepala sang anak sulung. "Kamu ini! Jangan bikin ibu tambah malu!"

Dadang tergelak. "Ibu, lucu, kangen banget. Tinggal sini aja, ya?" tanyanya dengan penuh harap.

Harumi mendesah setelah memerhatikan kondisi apartemen ini. Sempit, berantakan, berwarna kuning cerah pula, mana betah wanita itu di sini. "Mending kamu deh yang tinggal tempat, ibu. Rumah ibu masih layak dari apartemen kamu, Lee."

Dadang menimbang-nimbang. Lalu bagaimana dengan kafe-nya? Masa' iya dia harus bolak-balik Jakarta-Bandung hanya untuk kerja? Bahkan atasannya sudah mengingatkan untuk segera kembali bekerja menjadi ojol, karena tanpa Lee Know KW rasanya bisnis ojol itu tidak akan lancar.

"Kafe siapa yang ngurus, Ibu, kalau Lee ikut, Ibu?" tanya Dadang seraya melepas pelukan.

Harumi mendongak menatap anaknya. "Kamu ini! Kan, ada, Nana? Bukankah kamu akan menyerahkan tanggungjawab ini?"

"Tapi dia masih anak SMA, Ibu. Kasihan, apalagi kalau dia harus menginap di apartemen sendirian."

"Haduh, ya, sudahlah. Bukankah kamu sudah ditagih untuk kembali narik ojol?"

"Itu yang Lee pikirin. Lee enggak mau dipecat jadi ojol dan Lee enggak mau mengabaikan kafe juga. Untuk sementara ini, kafe perlu diperhatikan."

"Kamu beli rumah saja di dekat sini dibanding harus tinggal di apartemen yang kayak gini." Sekilas, Harumi bergidik ngeri, kemudian ia bangkit. Menatap anaknya dengan senyuman. "Kalau masalah biaya, tenang, ibu bekerja sebagai koki di sebuah restaurant ternama di Jakarta. Jadi, gimana?"

Dadang terdiam, ia melirik-lirik sang ibu bingung. "Ah, Ibu. Lee kangen banget sama, Ibu dan pengen dimasakin sama, Ibu, tapi Lee juga punya tanggungjawab di sini. Sejujurnya Lee pengen dimanja sama, Ibu, tapi Lee enggak bisa egois." Wajahnya menampilkan raut frustrasi.

Harumi mengelus puncak kepalanya lembut. "Maafin ibu, Nak. Ibu enggak bisa tinggal di sini, gini aja ... kamu bisa tinggal di sini--Bandung--tapi kamu beli rumah atau biar ibu yang belikan, jadi ibu bisa tinggal sama kamu. Bagaimana?"

Dadang menggeleng tidak setuju. "Masa' Ibu, sih, yang harus repot-repot ngeluarin uang padahal Lee udah kerja. Kalo masalah beli rumah, Lee emang belum mampu, tapi kalo dicicil Lee bisa."

Harumi menggeleng. "Jangan berurusan sama dept-collector. Ibu pengen kamu bisa tinggal di rumah biar istri kamu enak suatu hari nanti."

"Makannya, Bu, Lee mau kerja dulu sambilan nabung nanti kalau sudah cukup, Lee belikan rumah di Jakarta."

"Kenapa enggak di Bandung saja?"

"Mau fokus jadi ojol, Bu. Sekalian pengen punya usaha sendiri, yaitu toko baju. Insyaallah Lee sanggupi dalam waktu tiga tahun mendatang. Ibu masih belum merestui Lee sama Jennie, ya?"

Harumi menyampirkan tas selempangnya bersiap pergi. "Itu tergantung. Ibu bener-bener masih gamon, ibu takut malah kelepasan dan enggak bisa ngontrol perasaan sama besan sendiri. Itu masalah."

"Tiga tahun, Bu. Cukup enggak buat move on?"

Harumi melirik anaknya. "Move on perlu pengganti juga, masalahnya kemarin ibu dapet surat dari pengadilan, yaitu gugatan perceraian dari Mas Samsul. Ah, ibu harus ke pengadilan sekarang." Ia pun berjalan menuju ke luar ruangan dan berpamitan terlebih dahulu pada sang anak.

Kini Dadang duduk termenung di sofa ruang tamu. Kepalanya ingin pecah saat sekelabat ingatan tentangnya dan Jennie.

Kalau ibunya tak kunjung move on, bagaimana dengan Dadang? Bagaimana dengan janjinya pada Gibran? Janjinya pada Jennie? Bahkan ia sudah mulai mengumpulkan uang untuk membeli rumah untuknya dan Jennie suatu saat nanti.

Kenapa ia tidak mencari perempuan lain saja? Bukankah di dunia ini wanita tidak hanya Jennie seorang? Bukankah untuk menggaet wanita manapun ia masih mampu?

Karena Dadang mencintai Jennie.

Kenapa bisa ia mencintai Jennie sebegitu dalamnya? Bukankah ia pernah mencintai orang lain sebelum Jennie dan sekarang ia dapat berpindah hati dari yang dulu? Lalu untuk apa ia begitu khawatir bila tidak dapat move on?

Dadang memiringkan kepala ke kiri, ia menatap layar televisi yang tengah menayangkan film BoBoiBoy Galaxy.

Saat pertama melihat Jennie, ada perasaan aneh dalam dirinya. Satu kata yang dapat mewakilkan pada pandangan pertama adalah keren.

Cewek tomboy seperti Jennie bahkan masih terlihat manis di matanya. Ia sempat terpaku memandang tahi lalat Jennie di atas bibirnya dan salah fokus saat melihat Jennie tersenyum.

Intinya, kesan pertama ia bertemu dengan Jennie hampir-hampir mirip dengan bertemu mantan tunangannya.

"Kamu bisa naik motor enggak?" Gadis manis dengan topi bundar putih di kepalanya menghampiri seorang anak remaja di dekat gang pasar di parkiran motor yang tengah duduk seorang diri.

Anak laki-laki remaja itu terkejut mendapati seorang gadis berdiri menjulang di depannya. Untuk ukuran gadis, yang satu ini berbeda dari yang lain dan yang membuat anak laki-laki itu salah fokus ialah saat melihat senyumnya.

"Kalau kamu bisa bawa motor, tolong anterin saya, ya? Saya habis belanja, kebetulan sepeda saya hilang."

Saat pertama bertemu Jennie juga, gadis itu mengaku sepedanya hilang saat hendak pulang ke rumah sehabis belanja di pasar.

Mengingat mantan tunangannya membuat Dadang tersenyum miris. Jujur saja, entah mengapa, lewat Jennie, ia dapat merasakan mantan tunangannya ada di dalam diri kekasihnya itu.

Sempat ia mengira bahwa mantan tunangannya belum meninggal melainkan bereinkarnasi di tubuh Jennie. Ah, gila! Bagaimana ada reinkarnasi di dunia modern ini?

Dadang mengembuskan napas dalam. Ia mengambil handphone di atas nakas lalu menghubungi seseorang.

"Assalamualaikum, Ustadz."

"Wa'alaikumsalam, Arif."

"Bagaimana kondisi calon tunangan saya, Tadz?"

"Owh, Jennie, ya? Dia ... aduh, afwan, Jennie kabur dari pesantren."

Dadang mengernyitkan dahi. Sesaat ia hampir lupa caranya bernapas sangking terkejutnya. Jennie masih berulah?

"Tapi tenang, ya, Arif. Bapak Gibran dan guru-guru di sini sudah menemukannya, baru saja. Ternyata dia ada di Kafe Classic di Bandung."

Dadang berkedip, ha? Bukankah itu nama kafe-nya? Untuk apa Jennie ke kafenya? Dan kapan kafenya dikunjungi oleh Jennie?

***

Haiyo! Ngapain, ya, kira-kira Jennie ke kafe Lee? Hayo tebak!

Ada yang ngira enggak sih kalau ternyata alasan Harumi nolak adalah karena gamon sama Gibran?

Semoga suka!

See you~

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang