"Rayan! Tunggu!" Nana berlari dari koridor ruang guru untuk mengejar Rayan yang hendak memasuki kelasnya. Seketika teriakannya mengundang mata memandang.
Rayan berhenti, berdiri di ambang pintu kelas dan menatap Nana dengan kernyitan di dahi. "Hm?" gumamnya dengan satu alis terangkat saat Nana ada di depannya.
"Kamu tahu ke mana, Jennie? Sudah dua hari dia tidak masuk sekolah."
Rayan terdiam, mengalihkan pandangan ke segala arah agar menghindari berkontak mata dengan lawan bicara. Jujur dia mengetahui soal Jennie, hanya saja dia sangat berat hendak mengatakannya.
"Dia udah pergi." Hanya tiga kata yang dilontarkan Rayan, begitu padat dan jelas. Saat cowok itu hendak berbalik masuk ke kelas, lengannya dicekal.
"Pergi ke mana? Kok enggak ngabarin saya dulu?" Ada sedikit keterkejutan dan kekecewaan di mata Nana, gadis itu tidak menyangka hal ini.
Rayan melepaskan cekalan itu dengan kasar. "Gue enggak tahu. Mending lo tanya aja sendiri ke rumahnya sana!"
"Tapi saya enggak tahu rumahnya di mana."
"Abang lo tahu." Setelah mengatakan itu Rayan langsung memasuki kelasnya. Meninggalkan Nana yang berdiri dengan tatapan keheranan.
Beberapa siswa yang baru tiba mulai memasuki kelas itu dan sekilas menatap Nana yang berdiri seraya memerhatikan Rayan.
Kamu kenapa, sih, Ray? batin Nana kemudian pergi meninggalkan area kelas itu.
***
Gadis itu menatap kertas bertuliskan alamat rumah lalu menatap gerbang yang menjulang tinggi itu, dia mengernyitkan dahi menatap papan tulisan di tengah-tengah gerbang.
"Rumah ini dijual," gumam Nana membaca papan putih itu. Dia menatap kertas di genggaman lalu memerhatikan rumah itu secara seksama.
Alamatnya yang diberikan oleh akangnya tidak salah bukan? Kenapa rumah ini dijual? Ke mana pemiliknya?
"Nyariin siapa, Dik?" Nana menoleh ke belakang dan menemukan ibu-ibu dengan mengenakan daster bunga-bunga berwarna biru muda bertanya padanya.
"Em, pemilik rumah ini ke mana, ya, Bu?" tanya Nana.
"Owh, ini. Orangnya pindah ke luar kota. Rumah ini dijual. Kenapa? Mau beli rumah ini?" tanya ibu itu seraya tersenyum.
Nana menggeleng lesu. "Enggak, Bu. Saya cuma mau ngomong sama anak pemilik rumah ini, eh, malah udah pindah."
"Owalah. Udah pergi dua hari lalu, Dik."
"Kalau boleh tahu, ke mana, ya, Bu, pindahnya?" Nana berharap ibu itu mengetahuinya, tetapi respon gelengan dari ibu itu membuat Nana semakin lesu dan tertunduk kecewa. "Yasudah, makasih, ya, Bu?"
"Iya, Dik, sama-sama."
***
Dadang mengembuskan napas gusar, matanya bergulir menatap jam dinding dengan perasaan campur aduk. Pikirannya tidak tenang saat adiknya mengabarkan bahwa kekasihnya telah pergi ke luar kota bahkan nomornya tidak bisa dihubungi lagi.
Pria yang kini menginjak umur duapuluh tahun itu mengacak-acak rambut gelombangnya. Beristigfar guna menghilangkan kegundahan hati yang semakin menjadi.
Terdengar pintu berderit membuat pandangan Dadang menoleh ke pintu dan mendapati seorang cowok jakung menghampirinya.
"Assalamualaikum, Bos Arif," sapa cowok yang merupakan barista di kafe tersebut.
"Waalaikumsalam, Gas. Ada apa?" tanya Dadang atau orang-orang sekitar menyebutnya dengan nama Arif itu dengan wajah ditekuk.
Cowok yang bernama Bagas itu mengambil duduk di depannya lalu mengamati penampilan Dadang yang tampak kacau. "Sebenarnya, saya hendak mengatakan hal sepele saja, tapi karena takut Bos nanti tambah pikiran, mungkin lebih baik saya yang jadi pendengar," katanya.
Dadang menatap Bagas kemudian mengembuskan napas. "Kalo gitu enggak usah formal, santai aja," ucapnya yang dibalas anggukan oleh Bagas.
"Oke." Bagas melepas celemek abu-abunya kemudian melipatnya secara rapi dan meletakkan di atas meja. "Yaudah. Cerita aja, gue siap jadi pendengar lo."
Dadang menghempaskan punggung ke sandaran kursi kemudian menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih.
"Cewek gue pindah rumah. Ada kabar kalo pertunangannya sama si Ray batal karena adik mereka yang nikah."
Bagas mengangguk mengerti. "Terus?"
"Udah dua hari gue enggak ngobrol sama cewek gue. Kangen gue, Gas, kangen banget."
"Nomor hape dia lo punya enggak? Maksud gue, kali aja dia ganti nomor baru."
Dadang menghela napas berat, mengingat bagaimana waktu itu Jennie terpuruk akibat dua penghianat yang datang. "Kalo dia punya nomor baru pasti dia hubungi gue, secarakan dia punya nomor gue."
"Owh. Apa jangan-jangan dia enggak punya hape gitu? Siapa tahu dia enggak dibolehin main hape sama ayahnya."
Ucapan Bagas membuat Dadang berkelana ke malam dua hari lalu, di mana terakhir mereka mengobrol via telepon. Kini dia menyesal, seandainya dia tahu kekasihnya itu akan pergi pasti ia akan menerima tawaran Jennie untuk mengobrol hingga larut malam.
Jangan-jangan saat mereka sedang mengobrol Gibran memergoki lalu melarang keras Jennie mengobrol dengannya?
"Kayaknya lo bener, Gas. Mungkin ayahnya ngelarang kita ngobrol."
Bagas mengangguk. "Terus gimana?"
"Gue juga bingung. Apa gue ke Jakarta aja, ya? Terus gue tanyain orang-orang terdekat cewek gue?" Dadang menerawang jauh.
"Atau lo tanyain perihal itu ke adek lo aja, gimana?" tanya Bagas meminta pendapat yang diangguki oleh Dadang.
"Iya, juga, ya? Yaudahlah, besok gue suruh Nana nanyain cewek gue ke orang-orang sana."
"Gue yakin pasti bisa. Lo yang sabar, yak? Gue pamit duluan." Bagas berdiri, meminta izin untuk undur diri dan meninggalkan Dadang di ruangan super minimalis tersebut.
Dadang kini mulai bernostalgia ke beberapa bulan yang lalu, di mana ia pertama kali membonceng seorang gadis tomboy dengan membawa beberapa plastik belanjaan.
Lalu, di saat gadis itu dengan mudahnya memberikan nomor whatshaap-nya dan begitu ramah padanya. Hari berikutnya, gadis itu mau menjadi costumer tetapnya. Kemudian gadis itu mulai menarik perhatiannya, membuatnya selalu rindu untuk selalu menggodanya.
Hingga sebuah masalah kesalah-pahaman membuat hubungannya seperti bertepuk sebelah tangan. Ia tidak berhenti di sana, Dadang terus berjuang hingga akhirnya mendapatkan hati sang pujaan.
"Apa-apa? Telingaku enggak sehat nih, kayaknya ada yang masuk deh." Dadang memasukkan jari telunjuk ke telinga kiri seolah-olah sedang mencari sesuatu yang sekiranya dapat menghambat pendengaran.
Jennie memejamkan mata. "Jadi pacar gue! Mulai sekarang lo jadi pacar gue, titik!"
Dadang terkekeh mengangat saat itu yang menembak duluan adalah Jennie, memaksanya untuk menjadi pacar, lucu sekali mengingatnya dan saat itu hujan baru saja berhenti.
Dadang tidak akan melepas Jennie, tidak akan pernah. Dia akan berjuang untuk memiliki Jennie seutuhnya dan menemani di masa tuanya nanti.
Aamiinin dong!
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
HumorTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...