Bab 73 - Mendapat Restu Tanpa Diduga

20 7 22
                                    

"Za, lo mau nyari Kak Jennie?" tanya Azra katika mendapati Reza memakai jaket kulit hitam itu. "Ikut boleh enggak?"

Reza menggeleng seraya menyisir rambut ke belakang, matanya fokus memandang diri ke cermin rias berbentuk lingkaran itu. Setelah selesai melakukan itu lantas menghadap ke sang istri yang tadi berdiri di samping kirinya.

Cowok itu memegang kedua bahu Azra, menatap matanya lamat-lamat. Wanita itu memancarkan kecemasan di matanya. "Jangan khawatirin gue, gue bisa jaga diri, oke?" ucapnya berusaha menghibur sang istri.

Azra menggeleng. "Bukan itu, ish! Gue tuh mau ikut! Kenapa enggak boleh? Gue bingung di rumah ini mau ngapain coba?"

"Nonton youtube kek."

"Ish! Bosenlah!"

"Main game?"

"Ngebosenin juga!"

"Ngajak Ramadhan, Roman apa Rehan ngobrol kek."

"Tadi udah, tapi mereka cuma nyengir terus, canggung tahu."

Reza mendengkus, memijit pelipis sebentar lalu memusatkan pandangan lagi ke Azra. "Jadi? Biasanya lo ngapain?"

"Ke apartemen cowoklah, main ludo!"

Reza mengangkat satu alis. "Sekarang enggak boleh!"

"Ya, makannya ikut!"

"Enggak boleh, jauh tahu, nanti lo ngerepotin gue!"

"Sama istri sendiri juga!"

"Emangnya lo mau diem aja naik di atas motor? Emangnya lo mau enggak bersuara? Hm?" Reza mendekatkan wajah hingga ujung hidung mereka hampir bersentuhan.

"Ya, enggak mau! Kalo gue diem aja, bisa-bisa mampus gue! Yaudahlah! Jauh-jauhan sana, pergi cari, awas kalo lo pulang enggak bawa Kak Jennie, ya!" Azra mendorong dada Reza lumayan kuat hingga jarak di antara mereka tercipta.

Reza terkekeh, memasukkan tangan ke saku jaket. "Pasti bawa kok."

"Bawa apa?"

Reza mendekatkan bibir ke telinga kanan Azra lalu berbisik, "Bawa janda."

Mata Azra membola, kedua tangannya terkepal, segera melepas sendal bulu-bulunya kemudian melempar ke arah Reza yang sudah lari duluan seraya tertawa keras. "Reza bang**!" makinya. 

***

Mobil Gibran terparkir di depan sebuah kafe yang katanya kafe itu baru beroperasi beberapa hari lalu setelah sekian lama tutup. Gibran dan Fatimah masih mengamati kafe itu dari dalam mobil, mereka diberikan alamat oleh Nana ke kafe ini.

"Ini, kan, Pah, kafenya? Bagus juga ya? Lumayan ramai juga," ucap Fatimah seraya mengunggingkan senyum tanpa mengalihkan pandangan dari kafe dengan nuansa klasik itu.

Gibran melepas sabuk pengaman kemudian keluar mobil diikuti Fatimah. Pria itu berjalan beriringan bersama sang istri dan memasuki kafe.

Suasana yang pertama terasa adalah adem. Klasik, tapi nyaman. Di setiap sudutnya tersedia bunga plastik berukuran besar dan tinggi. Warnanya putih dan cream, senada dengan warna dindingnya.

Alunan musik juga ada di sini, musiknya asik juga menarik.

"Bagus juga," ucap Gibran setelah puas mengamati barang-barang di kafe itu.

"Permisi? Ada yang bisa kami bantu?"

Gibran menoleh dan mendapati seorang pria memakai celemek karyawan itu tersenyum padanya. Gibran berdehem lalu bertanya, "Bos kamu mana?"

Karyawan itu mengernyitkan dahi. "Maaf, ada kepentingan apakah Tuan dengan Bos kami?" tanyanya berusaha sopan.

"Kepentingan yang sangat penting!" ucap Gibran penuh tekanan membuat karyawan itu mengangguk.

"Mari saya tunjukkan tempatnya," ujar karyawan itu, menuntun Gibran dan Fatimah menuju lantai atas.

Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di tujuan. Di sana, karyawan itu masuk lebih dulu ke ruang pribadi Dadang kemudian mengatakan kedatangan dua pasutri itu lalu kembali keluar dan menyilahkan Gibran juga Fatimah untuk masuk.

Pria itu tersenyum ramah, ia berdiri, ia tidak pernah menyangka calon mertuanya--mustahil--datang mengunjunginya. "Assalamualaikum, Om," sapanya ramah lalu bergantian menatap Fatimah. "Tante."

Fatimah balas tersenyum ramah. "Wah, kamu sudah sukses, ya? Masih punya keinginan buat nikahin anak bunda?" tanyanya dengan mata berbinar.

Gibran menggeleng kecil, ia berjalan mendekat lalu dengan gagah mengangkat dagu. "Maksud saya datang ke sini untuk mencari Jennie."

Dadang mengernyitkan dahi, tetapi tidak berselang lama ia terkekeh saat mengingat kejadian pagi ini. "Jennie sudah di perjalanan pulang, Om."

Gibran mengangkat satu alis. "Dari mana kamu tahu?" tanyanya heran, berbanding terbalik dengan Fatimah yang langsung berucap syukur.

"Tadi Jennie ke sini, curhat sama saya, terus ngajak nikah segala, ha ha ha, anak, Om, lucu, ya? Saya suruh dia pulang habis sarapan tadi pagi. Saya boleh, kan, Om, jadi suaminya?"

"Boleh kok boleh banget, Nak!" jawab Fatimah mendahului Gibran lalu menyikut lengan suaminya. "Iya, kan, Pah?" tanyanya sedikit menuntut yang hanya dibalas dengusan oleh suaminya itu.

"Boleh, asalkan kamu bisa lebih sukses dari Pak Jokowi."

Dadang dan Fatimah terkejut. Fatimah melontarkan perkataan protes dan Dadang yang kini menampilkan wajah murung.

"Nikahin aja Jennie sama Pak Jokowi, Om."

Gibran terkekeh seraya melangkah mendekat kemudian menepuk bahu kiri Dadang. "Bercanda saya. Saya berubah pikiran, kamu boleh nikahin anak saya, tapi setelah anak saya lulus pesantren, paham? Untuk sekarang jangan dekati dulu anak saya, ya?"

Apakah Gibran sedang bercanda? Ini serius? Dadang memegang dada kiri, gemuruhnya terasa, pertanda ia bahagia. Pria itu mengamit tangan kanan Gibran lalu menciumnya berkali-kali.

"Terimakasih, Om, makasih banyak ... saya terhura, Om." Sungguh Dadang tidak pernah menyangka ini akan terjadi di hidupnya. "Saya paham, Om. Tenang, Om, saya orangnya setia, saya janji, setelah Jennie lulus pesantren saya langsung nikahi."

"Semangat yang patut diancungi jempol!"

Fatimah mengamit handphone-nya yang berdenting sejak tadi lalu membaca nama kontak yang tertera di layar, dari Reza.

"Pah, telepon dari rumah," kata Fatimah mengalihkan atensi Gibran dan Dadang. Kemudian Fatimah mengangkat panggilan tersebut.

"Assalamualaikum, Bund, Pah, Kak Jennie udah pulang sama Kak Raden."

Mendengar kata itu membuat Fatimah dan Gibran tersenyum senang, tetapi mereka tidak menyadari raut yang ditampilkan oleh Dadang di sana. Bahkan saat pasutri itu pamit undur diri, raut Dadang semakin sulit diartikan.

Raden pulang sama Jennie? Bukannya mereka ... dan kenapa orang tua Jennie biasa-biasa saja anaknya bersama si penjahat itu?

***
Hallo, sorry baru up^^ 🙏

Semoga suka, pantengin terus, ya? He he he, mungkin akan lama up lagi, soalnya aku udah sekolah. InsyaAllah aku usahain up setiap minggu ya?

Semangat!

See you~

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang