Bab 77. a - Papa lebih tahu

6 4 11
                                    

Pagi ini meja makan dipenuhi delapan orang dan satu orang di keluarga itu baru saja tiba lalu mengambil duduk di sebelah Azra.

"Apakah kamu mau lanjut sekolah SMA?" Gibran memulai obrolan, matanya menatap putrinya yang sedang menyiduk nasi dan beberapa lauk-pauk.

Semua mata kini mengarah pada Jennie, menunggu jawaban gadis itu.

Sebelum menjawab Jennie mengambil garpu dan sendok terlebih dahulu lalu mulai melilitkan mie goreng. Pandangannya fokus pada mie seraya berkata, "Lanjut sekolah sama saja bunuh diri."

"Maksud kamu apa? Pendidikan itu perlu, Jen." Satu alis Gibran terangkat, seketika rahangnya mengeras.

Jennie melahap mie, matanya teralih ke depan, di mana ada musuh dalam selimut itu. "Pendidikan perlu, tapi nyawa Jennie enggak perlu, Pah?" Dia tersenyum miring.

Raden mendadak bingung ditatap seperti itu oleh Jennie. "Bukan begitu maksudnya, Jen. Lagipula, dengan kamu pergi ke sekolah bukan berarti kamu bakalan diincar-incar musuh, kan?"

"Hah! Musuh, kan? Iya, musuh ... siapa bilang Jennie enggak punya musuh?" Jennie semakin tajam menatap lawan bicaranya.

Raden bersikap tenang, mengalihkan pandangan ke piringnya.

"Lebih baik kamu segera mengambil keputusan ... mau lanjut SMA atau pesantren?" Gibran menengahi.

Rehan yang masih duduk di bangku SD belum terlalu mengerti apa-apa pun segan ingin meminta tolong Jennie mengambilkan saus sangking kuatnya ketegangan menguar.

Terdengar sendok beradu dengan piring disusul dengusan kasar dan deritan kursi ke belakang. Saat pelakunya hendak meninggalkan lokasi tangannya dicekal Fatimah.

"Mau ke mana, Jen?"

"Jawab pertanyaan papa Jennie!" bentak Gibran sukses mengagetkan penghuni rumah.

Jennie memejamkan mata, mengepalkan tangan untuk mengurangi emosinya. Dia mengembuskan napas, menatap sang papa tegas. "Kasih Jennie waktu--"

"Sampai kapan? Siapa yang mau menungg--"

"Yang sekolah siapa, Pah? Jenn--"

"Apa kamu mau nikah?" Tatapan Gibran nyalang, jelas suasana semakin mencekam saja.

Beberapa kursi berderit. Rehan dan Ramadhan memilih undur diri walau makanan di piring mereka belum habis dengan alasan sudah telat berangkat sekolah.

Jennie mendesah. "Kalau iya, Papa, mau apa?" Bukannya takut dengan tatapan nyalang sang papa, ia malah memancing singa itu menerkam. Sekilas ia menoleh ke Raden.

"Berani kamu sama papa!" Genggaman di sendok menguat, membuktikan si pemilik sedang menahan gejolak api di dadanya.

"Udahlah, Jennie enggak mau sekolah apa pun itu. Toh setinggi-tinggi apa pun pendidikan ujung-ujungnya juga ngurus suami. Lagipula, Papa, enggak tahu kalau ada musuh dalam selimut." Setelah mengatakan  itu Jennie memilih beranjak dari sana.

"Apa, sih, yang papa enggak tahu? Bahkan papa lebih tahu dari kamu, jangan sombong!" Pria ber-toxedo hitam itu melahap daging ayam potong berbentuk dadu dengan tenang membalas.

Jennie yang baru empat langkah langsung berhenti. Ia menoleh ke samping kanan. "Lebih tahu, ya?" Dia berbalik. "Terus? Kenapa si musuh itu masih diizinin masuk rumah?" Dagunya bergidik ke Raden, lalu salah satu sudut bibirnya tertarik.

Raden menegang, tetapi dengan pintar dia menyembunyikan hal ini. Alisnya berkerut sok tersinggung. "Kamu nuduh kakak kamu sendiri musuh?" tanyanya dengan nada kecewa. "Aku kira sauda--"

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang