Bab 61 - Kalian Pacaran?

19 6 19
                                    

Kenapa semua ini terjadi padanya? Kenapa ia harus pindah ke luar kota? Tidak diizinkan memiliki handphone dan gerak-geriknya selalu diawasi.

Setelah acara akad nikah sang adik, mereka memutuskan pindah rumah ke luar kota, meninggalkan berbagai jejak tanya di Jakarta, tepatnya orang-orang terdekat mereka.

Jennie mengembuskan napas, menatap jalanan di luar jendela mobil bosan. Dia merindukan kekasihnya, sedang apa, ya, dia? Apakah dia sedang memikirkannya atau justru mencarinya?

Gadis itu menoleh ke kanan dan mendapati sang papa yang fokus mengendarai. "Pah," sapanya yang hanya dilirik sekilas oleh Gibran.

"Pah, kita mau ke mana?" tanya Jennie menatap Gibran dengan kedua alis yang bertaut. Mungkinkah papanya hendak membawanya ke mall atau tempat makan? Makan mie bakso ditambah es teh manis boleh juga.

"Liat saja nanti," jawab Gibran singkat yang dibalas dengusan oleh Jennie.

"Ke rumah makan?" tanya Jennie mulai antusias, walaupun di lubuk hati kecilnya masih ada rasa kecewa untuk papanya itu.

Pertanyaan Jennie hanya angin lalu bagi Gibran yang membuat gadis itu tersenyum getir. "Apa, Papa, mau nelantarin Jennie ke jalananan? Kolong jembatan enak juga keknya, iyup kok."

Gibran menghela napas gusar. "Negatif aja terus!" cibirnya pelan yang masih didengar oleh putrinya itu.

Jennie berdecak. "Salahnya enggak mau ngasih tahu kita mau ke mana, kan? Enggak semua orang selalu bisa positive thingking."

Dan sepanjang jalan hanya diisi oleh keheningan saja yang membuat Jennie harus menghela napas jenuh berkali-kali. Demi apa pun, papanya sangat egois.

***

"Ray, jadi lo jomblo, ya, kan?" Asahi menyusul langkah Rayan yang berjalan di koridor hendak memasuki kelasnya.

Rayan menoleh dengan alis terangkat satu lalu membalas senyum Asahi. "Iya. Kenapa, As?" tanyanya dengan nada lembut.

Hal itu membuat kedua pipi Asahi bersemu merah. "Em, gu--gu--gue duluan!" ujarnya setengah gugup, di hati berbunga-bunga mengetahui ada lowongan untuknya. Kemudian dia berjalan lebih dulu memasuki kelas.

Rayan terkekeh. "Taulah gue ganteng, ramah, humoris lagi, ah!" gumamnya membanggakan diri. Dia menyisir rambut ke belakang.

Sesampainya di depan meja kursinya, cowok itu terdiam dan mengernyitkan dahi mendapati ada seorang gadis yang menempatinya. "Loh?"

Gadis yang mengenakan jepit rambut berwarna merah jambu itu mendongak tersenyum manis. "Selamat pagi, Ray!" sapanya ceria.

Rayan mendengkus, menatap gadis itu dingin. "Mau apa lo?" tanyanya jutek.

Gadis itu terkekeh, menopang pipi dengan tangan kanan dan tangan kiri terbaring di atas meja. "Saya mau liat kamu aja," katanya.

Rayan mengangkat satu alis, untuk apa gadis itu hendak melihatnya? Terdengar banyak bisikan beberapa siswa di dalam kelas yang sedang membicarakannya. Cowok itu menerbitkan senyum smirk.

Rayan membungkuk, menyejajarkan kepalanya dengan gadis itu hingga jaraknya begitu dekat sampai-sampai gadis itu terkejut.
Asahi yang berada tiga meja di belakang meja Rayan menegang, membayangkan posisi Nana adalah dirinya.

Ya, gadis itu adalah Nana, entah apa yang membuatnya datang berkunjung ke kelasnya.

Detak jantung Nana serasa berdisko, napasnya tercekat, wajahnya terasa panas saat merasa deru napas Rayan yang menerpa. Dia terpaku seakan tatapan Rayan mengunci setiap gerakannya.

"Udah puas, kan, liatin gue?" sindir Rayan kemudian berdiri tegak dan menarik Nana berdiri untuk menjauh dari mejanya. "Sekarang lo bisa pergi," usirnya seraya tersenyum palsu.

Nana terkesiap, ia terkekeh. "Aku kira kamu peka," ucapnya sedikit menyindir.

Rayan meletakkan tas di atas kursinya kemudian berlalu dari kelas. Sungguh, kehadiran Nana membuatnya selalu ingat akan amanah sang almarhum. Sial, wajah mereka mirip.

Saat Nana hendak menyusul Rayan, tangannya dicekal membuat gadis itu berhenti dan menoleh. Ia mendapati Asahi menatapnya penuh curiga.

"Kalian pacaran?" tanya Asahi tidak yakin.

Nana tersenyum, melepas cekalan lalu menjawab, "Belum." Kemudian gadis itu segera mengejar Rayan, mengabaikan raut kesal yang dipancarkan oleh Asahi.

"Belum? Itu artinya kalian mau pacaran?" gumam Asahi dengan alis bertaut jengkel. Dulu Jennie yang menjadi penghalang sekarang Nana juga? Kapan ia mendapatkan bagian?

***

"Ray! Rayan!"

Rahang cowok itu mengeras mendengar suara Nana, kedua tangan di sisi tubuhnya mengepal. Mau apa gadis itu selalu mengikutinya? Cowok itu berhenti mendadak dan dapat ia rasakan Nana menabrak punggungnya. Dia berbalik, menyorot Nana tidak suka.

"Mau lo apa, sih?" tanya Rayan sedikit membentak. Mereka kini berada di ruang perpustakaan pribadi khusus untuk yang ingin membaca buku paket dan mengerjakan tugas, kadang juga banyak yang menggunakannya sebagai tempat istirahat saat jam kosong.

Nana menyengir, meletakkan telunjuk kanan di bibir. "Jangan berisik, nanti penjaga perpus marahin kita loh."

Rayan mendengus, mengalihkan pandangan, bertolak pinggang, membasahi kerongkongan yang tiba-tiba kering. Dia menatap mata polos Nana. "Gue tahu lo pasti ada maunya, kan? Gue tahu gue ganteng, tapi enggak usah diekorin juga."

Nana memicingkan bibir sejenak. Lalu tersenyum. "Kasih tahu saya di mana Jennie pindah dong!"

Rayan mengangkat satu alis, hanya itu? "Buat apa? Bukannya lo udah ke rumah dia?" tanyanya.

"Ya, udah." Tatapan Nana mulai meredup karena kecewa. "Pas sampai sana, rumahnya sudah ditutup dan ada tanda kalau rumah itu dijual."

Rayan mengusap wajah frustasi, apakah dia akan memberitahukan di mana keberadaan Jennie? Rayan menoleh terkejut saat lengannya diayun-ayun oleh Nana, sentuhan ini ... Rayan langsung menghempaskan tangan Nana dari lengannya.

"Ibu punya pesen sama kamu. Jaga Jennie, dia adalah orang yang berjasa di hidupmu, Nak."

"Jangan sentuh gue!"

Nana menatap sedih. "Kenapa? Saya bukan kuman kok." Gadis itu mencoba melangkah mendekat, tetapi Rayan menatapnya penuh ancaman hingga membuatnya bergeming.

"Enggak! Jauh-jauh lo!" Napas Rayan memburu terlihat dari gerak dadanya yang naik-turun dengan irama yang cepat. Kedua alisnya menyatu. Hal itu membuat Nana mengernyitkan dahi kebingungan.

"Kamu kenapa, Ray?" Saat tangan Nana hendak meraihnya, saat itu juga Rayan menempisnya.

Pandangan Rayan saat melihat Nana begitu absurd, kadang gadis di depannya adalah Nana dan kadang terubah menjadi almarhum ibunya. Dia mengepalkan kedua tangan lalu memilih lari menjauh dari sana.

Meninggalkan Nana yang menanyakan gelagatnya dan juga tatapan khawatir gadis itu.

***

Kenapa, Rayan selalu inget ibu kandungnya ya? Kan kasian kalo gitu'')

Jangan lupa vote dan komen ya Sobat :'v

Lopyu...

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang